Foto: Rozaq Nur Hidayat/LPM Kentingan

MEMAHAMI PLURALITAS MASYARAKAT DARI SISI JURNALISME

Sabtu (10/07), LPM Intuisi ISI Surakarta berkolaborasi dengan Monumen Pers Nasional mengadakan webinar melalui Zoom Meeting dan streaming YouTube. Diselenggarakannya acara tersebut berkaitan dengan Pekan Intuisi yang mengusung tema “Pelestarian Budaya melalui Ruang Digital”. Webinar ini dihadiri oleh 138 peserta dengan cakupan peserta yang beragam, mulai dari perwakilan LPM se-Surakarta, khalayak umum dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Jakarta, hingga Sumatra.

Widodo Hastjaryo selaku Kepala Monumen Pers Nasional melalui sambutannya mengimbau mahasiswa yang tergabung dalam lembaga pers untuk tidak mudah menyebarkan berita hoaks dan mengandung unsur SARA. Menurutnya, LPM harus bisa menjadi penyebar berita yang sesuai dengan program pemerintah dalam rangka mendukung upaya penghentian penyebaran Covid-19 di Indonesia. Sementara itu, Oka Sugawa selaku Pemimpin Umum LPM Intuisi mengajak para hadirin untuk sejenak mengheningkan cipta sebagai wujud doa agar pandemi di Indonesia segera berakhir.

Acara kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh pembicara pertama yakni Tantowi Anwari selaku Manajer SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman). Beliau menyatakan bahwa dewasa ini, isu diskriminasi di Indonesia masih terus berjalan. Mayoritas masyarakat bukannya memusatkan perhatian pada penyelesaian pandemi, justru berfokus pada isu SARA dan mencemaskan hal seperti integrasi, harmoni, dan toleransi di masyarakat yang merupakan buah dari perdebatan mengenai Covid-19. Arus informasi berjalan sangat cepat sehingga rentan adanya informasi hoaks yang berkeliaran, bahkan di antara media mainstream yang mudah diakses oleh banyak orang.

Menurut pria yang akrab disapa Thowik, jurnalisme keberagaman muncul untuk menyuarakan suara kaum minoritas yang terepresi dan lemah. Pasca-reformasi muncul banyak sekali pemberitaan yang menyudutkan kelompok minoritas agama dan keyakinan. Kelompok ini tidak dapat secara bebas memberikan pendapat karena yang dapat memberikan pendapat hanyalah kaum mayoritas saja. Oleh karena itu, hadirlah jurnalisme keberagaman sebagai jurnalisme damai yang berfokus pada konflik dan resolusi konflik. Jurnalisme keberagaman memiliki semangat untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai prinsip toleransi dan pemenuhan hak asasi manusia secara setara.

Media seharusnya lebih terfokus pada isu daripada mengulik masalah pribadi yang dapat semakin mendiskriminasi kelompok minoritas. Hal ini dikarenakan media memiliki kekuatan untuk mengubah seseorang yang tidak berdosa menjadi menyimpang dan bersalah di mata publik. “Netral saja tidak cukup dalam jurnalisme keberagaman. Memihak pada korban dan kelompok rentan, harus cover all sides, harus menjadi ruang aman untuk semua sehingga ruh dari penindasan dan diskriminasi bisa terangkat,” ujar Thowik. Hal ini dimaksudkan untuk membuat media menjadi ruang inklusif untuk menyampaikan pendapat.

Senada dengan pernyataan tersebut, Mariyana Ricky selaku anggota AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) sekaligus jurnalis Harian Solopos juga mengutarakan bahwa media berperan besar dalam mengupas informasi yang disampaikan lebih dalam. Kesalahan memilih narasumber dan angle pemberitaan dapat menjadi bias yang berbahaya apabila berita tersebut dikonsumsi masyarakat. “Media harus menanamkan pesan-pesan tertentu melalui informasi yang penyajiannya difilter terlebih dahulu,” pungkasnya.

Salah satu contoh yang diutarakan Mariyana adalah serangan intoleran terhadap prosesi midodareni di Surakarta akibat diskriminasi masyarakat yang tidak terima dengan kepercayaan mempelai. Menurutnya, dalam mengolah berita seperti ini, jurnalis harus mampu bersikap netral agar tidak menimbulkan persepsi menyimpang terhadap kelompok tertentu.

Lebih lanjut, seorang juga jurnalis harus memikirkan pengaruh dari berita yang dibawakan. Melalui jurnalisme keberagaman, media harus bisa mencegah adanya tindakan intoleransi. Hal itu bisa diwujudkan lewat mengolah kronologi dengan menyertakan latar belakang yang tidak memprovokasi, menunda live report ketika situasi dapat memojokkan kaum marjinal, mencari narasumber yang toleran, serta memilih diksi dan judul yang tepat. Upaya-upaya tersebut akan sangat berpengaruh terhadap framing berita dan penanaman mindset pada pembaca.

Selain itu, beliau menyampaikan bukti bahwa framing berita yang tidak tepat bisa berakibat fatal bagi masyarakat, terutama di era digital ini. “Satu minggu yang lalu, ambulans milik Muhammadiyah Klaten diludahi, dilempari batu, dan dipukuli oleh masyarakat di Solo. Hal itu disebabkan oleh informasi hoaks di Instagram yang terus menerus direplikasi dan ditambahi bumbu-bumbu yang kontroversial mengenai ambulans kosong di Klaten (yang ditulis di Solo) dan dijadikan dalih masyarakat bahwa Covid-19 tidak nyata,” paparnya.

Mariyana menambahkan bahwa persaingan media online memang cukup sulit bila tanpa menggunakan judul clickbait. Walau begitu, jurnalis bisa tetap membuat judul yang menarik dengan diksi yang kaya tanpa memprovokasi suatu pihak. Senada dengan Mariyana, Thowik juga menyarankan awak media online untuk mengambil sudut pandang dan topik yang menarik.

Intinya adalah lembaga sipil dan perusahaan media sudah membuat panduan mengenai bagaimana cara membawakan berita, mulai dari yang berkaitan dengan kasus anak, perempuan, terorisme, hingga isu-isu tertentu berbau minoritas. Hal tersebutlah yang kemudian tidak memunculkan framing masyarakat terhadap kelompok rentan atau kaum marginal. Di sisi lain, kita juga tidak boleh lelah untuk terus meningkatkan literasi digital kepada masyarakat.

Penulis: Jasmine Putri Lintang Sagara Dewi dan Tuffahati Athallah
Editor: Diana Kurniawati