Judul lagu : Lagu Rantau
Artis : Silampukau
Tahun Rilis : 2015
Genre : Indie
Waktu memang jahanam
Kota kelewat kejam
Dan pekerjaan
Menyita harapan
Hari-hari berulang
Diriku kian hilang
Himpitan hutang
Tagihan awal bulan
Oh, demi Tuhan
Atau demi setan
Sumpah aku ingin
Rumah untuk pulang
Tujuh tahun yang lalu (hanya bermodal baju dan seratus ribu)
Impian membawaku (nasib kini …)
Ke Surabaya
Berharap jadi kaya
Tujuh tahun berlalu (kota menghisapku habis)
Impianku tersapu (duitku makin tipis)
Di Surabaya
Gagal jadi kaya (dompetku kembang-kempis)
Oh, demi Tuhan
Atau demi setan
Sumpah aku ingin
Rumah untuk pulang
Rindu menciptakan
Kampung halaman
Tanpa alasan
Hm-hm-hm …
Burung pulang ke sarang
Ketam diam di liang
Dan di lautan
Ikan-ikan berenang
Oh, demi Tuhan
Atau demi setan
Sumpah aku ingin
Rumah untuk pulang
Rumah untuk pulang
Uang bawa tualang
Sesak di jalan
Menjauhi pulang
Uang bawa tualang
Sesak di jalan
Menjauhi pulang
Uang bawa tualang
Sesak di jalan
Menjauhi pulang
Lagu “Rantau” oleh Silampukau, yang dirilis pada tahun 2015, adalah sebuah ode kepada kehidupan perantau yang dipenuhi dengan pergulatan antara harapan dan kenyataan, antara impian dan realita yang sering kali mengecewakan. Dalam balutan melodi yang sederhana dan lirik yang menyayat hati, Silampukau mengemas potret kehidupan urban yang tak selalu sesuai dengan ekspektasi. Mereka berhasil menangkap esensi dari rasa kehilangan, ketidakpastian, dan kerinduan yang sering dialami oleh mereka yang hidup jauh dari kampung halaman.
Sejak bait pertama, lagu ini langsung menyentuh hati pendengarnya dengan ungkapan yang lugas, tetapi dalam, “Waktu memang jahanam, Kota kelewat kejam, Dan pekerjaan, Menyita harapan.” Kota, yang sering kali dijadikan simbol kemakmuran dan peluang, dalam lagu ini dihadirkan sebagai tempat yang kejam, di mana waktu dan pekerjaan justru menjadi musuh bagi perantau. Lirik ini menyiratkan bahwa kenyataan hidup di kota besar bisa sangat berbeda dari bayangan penuh impian yang dibawa saat pertama kali menginjakkan kaki di sana.
Tema kerinduan untuk pulang, yang mendominasi lagu ini, tidak hanya diekspresikan melalui lirik, tetapi juga melalui melodi yang diciptakan. Melodi yang minimalis, melankolis, dan lembut, mengiringi lirik-lirik puitis yang menggambarkan rasa tersesat di tengah hiruk pikuk kota yang tak henti-hentinya menggerus jiwa. “Oh, demi Tuhan, Atau demi setan, Sumpah aku ingin, Rumah untuk pulang,” adalah pengakuan yang menyayat hati tentang keinginan mendalam untuk menemukan kembali kenyamanan yang hilang, di tengah keganasan kehidupan rantau.
Dengan cara yang hampir bersajak, Silampukau menyusun narasi perantauan sebagai perjalanan yang tidak hanya penuh harapan, tetapi juga kepahitan. “Tujuh tahun yang lalu (hanya bermodal baju dan seratus ribu), Impian membawaku ke Surabaya, Berharap jadi kaya,” menggambarkan mimpi yang terbangun dengan modal seadanya, dipacu oleh keyakinan bahwa kota akan membawa kesuksesan. Namun, setelah tujuh tahun berlalu, realita berbicara lain. Kota justru mengisap habis energi dan impian sang perantau, membuatnya makin jauh dari tujuan awal. “Tujuh tahun berlalu (kota menghisapku habis), Impianku tersapu, Di Surabaya, Gagal jadi kaya,” menggambarkan kekecewaan yang mendalam, di mana Surabaya, kota besar yang diharapkan menjadi ladang keberuntungan, justru mematahkan semangat dan harapan.
Kesederhanaan dalam penyajian musik dan lirik menjadi kekuatan utama dari “Rantau.” Lagu ini seolah menolak kemegahan produksi musik modern, dengan memilih pendekatan yang lebih intim dan raw. Vokal lembut Silampukau menambahkan dimensi kerentanan pada lagu ini, membuatnya terdengar sangat personal, seolah-olah setiap kata diucapkan dari hati yang dalam. Instrumentasi yang minim tidak mengganggu inti dari cerita, melainkan memperkuat suasana kesendirian dan kerinduan yang menjadi pusat narasi.
Pada bagian lain, Silampukau tidak hanya mengekspresikan rasa rindu untuk pulang, tetapi juga menyajikan refleksi tentang bagaimana kota dan uang dapat menjauhkan seseorang dari akar mereka. “Uang bawa tualang, Sesak di jalan, Menjauhi pulang,” adalah gambaran betapa uang, yang awalnya menjadi tujuan utama perantauan, justru bisa menjadi penghalang terbesar untuk kembali ke rumah. Kesibukan, rutinitas, dan tekanan hidup di kota besar membuat jarak makin lebar, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Lagu ini mengingatkan kita bahwa dalam mengejar impian materi, kita bisa kehilangan hal-hal yang paling berharga: rasa memiliki, rasa aman, dan rasa cinta.
Lagu ini juga menyoroti dilema perantau yang terperangkap antara dua dunia kota dan kampung halaman. Di satu sisi, kota menawarkan kesempatan, tetapi dengan harga yang mahal, kehilangan identitas, waktu, dan kebahagiaan. Di sisi lain, kampung halaman menjadi tempat yang diidealkan, meski mungkin tidak lagi sama dengan ingatan. Kerinduan yang muncul dalam lagu ini bukan hanya kerinduan fisik untuk kembali, tetapi juga kerinduan emosional untuk menemukan kembali diri yang hilang di tengah kesibukan hidup.
Seiring dengan alunan melodi yang lembut, lirik seperti “Burung pulang ke sarang, Ketam diam di liang, Dan di lautan, Ikan-ikan berenang,” memberikan nuansa alamiah yang menenangkan, menggambarkan siklus alam yang sederhana, tetapi penuh makna. Lirik ini seolah menjadi metafora bagi keinginan untuk kembali ke asal, ke tempat di mana semuanya terasa benar dan damai. Namun, ironisnya, perjalanan untuk pulang tidak pernah sederhana. Terlalu banyak hambatan yang harus dihadapi, terlalu banyak beban yang harus ditanggung.
Dengan nuansa yang melankolis dan reflektif, “Rantau” adalah sebuah perjalanan musik yang membawa pendengarnya melintasi lanskap emosional yang luas. Lagu ini mengajukan pertanyaan mendalam tentang makna rumah dan arti kesuksesan, serta mengajak kita untuk merenungkan kembali prioritas hidup kita. Dalam dunia yang makin cepat bergerak, Silampukau memberikan ruang untuk jeda, untuk merenungkan apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup dan apa yang mungkin telah kita tinggalkan di belakang.
Secara keseluruhan, “Rantau” bukan hanya sebuah lagu tentang perantauan, tetapi juga tentang pencarian diri, tentang kerinduan akan sesuatu yang lebih dari sekadar materi, tentang keinginan untuk menemukan tempat di mana kita benar-benar merasa pulang. Silampukau, dengan liriknya yang puitis dan musik yang sederhana, tetapi menyentuh, berhasil menciptakan sebuah karya yang akan selalu diingat oleh mereka yang pernah merasakan manis pahit kehidupan di perantauan.
Melalui “Rantau,” Silampukau membawa kita pada perjalanan emosional yang penuh dengan harapan, kehilangan, dan akhirnya, kesadaran bahwa rumah bukanlah tempat fisik semata, tetapi tempat di mana hati kita merasa tenang.
Penulis: Haerani Fadilah
Editor: Lutfiyatul Khasanah