Melihat Jakarta di Solo

Sore Terakhir Festival Film Solo

Ayo melihat Jakarta. Hari itu hari terakhir pemutaran, dua studio dibuka. Sehari sebelumnya sempat diguyur hujan deras. Sore itu, cuaca cerah bersahabat.

Klimaks dari festival film yang dijadwalkan sedari Rabu hingga Sabtu, 4-7 Mei 2011 lalu di Gedung Kesenian Solo (GKS), Taman Sriwedari ini adalah penganugrahan Ladrang Award untuk Program Kompetisi Film Fiksi-Pendek Indonesia Kategori Umum Nasional dan Gayaman Award untuk Program Kompetisi Film Fiksi-Pendek Indonesia Kategori Pelajar SMA se-Jawa Tengah. Sayangnya, penulis tidak keburu menyaksikan malam penganugrahan dan mencatat siapa-siapa saja pemenangnya.

Penonton yang tidak terlalu membludak sempat membuat bertanya-tanya ketika memasuki pelataran gedung pertunjukan. Sepi malah. Sempat sedikit bimbang antara menonton pemutaran di studio satu atau studio dua. Hingga akhirnya memilih menonton di studio dua, Belkibolang yang diputar, sementara studio satu memutar karya-karya pelajar.

“Belkibolang aja, filmnya bagus,” saran Ardyan M. Erlangga, pegiat film dari Cine Book Club, Jogjakarta. “Nonton sini aja, Belkibolang tidak diputar di bioskop,” ajak Fanny Chotimah juga, salah satu penonton yang juga pegiat film di Solo. Jadilah menonton satu-satunya film berbayar di festival itu, murah, hanya Rp6.000, dibanding menonton film hantu cantik yang ‘entahlah’ di jaringan bioskop terkemuka.

Sebuah film omnibus yang terdiri dari sembilan cerita, Belkibolang menceritakan Jakarta di malam hari. Dengan total durasi sekitar 90 menit, sembilan cerita berhasil membuat tertawa sekaligus berdecak, “bagus”. Yah, baiklah, tidak semuanya. Setidaknya tiap cerita punya interpretasi tersendiri dari “Payung”, “Percakapan Ini”, “Mamalia”, “Planet Gajah”, “Tokek”, “Peron”, “3ll4”, “Roller Coaster”, dan “Full Moon”. Salah satu kesamaan film-film pendek ini adalah bagaimana merekam interaksi antara dua orang dalam setiap ceritanya.

“Payung” yang minim dialog, oke, hampir tidak ada dialog, menyajikan gambar-gambar indah hujan Jakarta di malam hari. Bagaimana seorang gadis ojek payung menjadi begitu menghangatkan bagi seorang karyawan kacau yang diperankan oleh Dwi Sasono. Agung Sentausa berhasil menghilangkan kesan kotor, semrawut, ribet, dan becek perkampungan kumuh di Jakarta melalui gambar-gambarnya.

“Percakapan Ini”, ada Marsya Timothi dan Desta, dua orang tetangga yang sedang ngobrol. Tentang mantan pacar mereka, tentang menjadi ibu, tentang membeli televisi, dan tentang hal remeh lain. Tapi percayalah, karya Ifa Isfansyah ini akan menjadi begitu bagus di menit pertengahan. Bukan karena gambar atau akting pemerannya yang tiba-tiba menjadi begitu bagus. Mereka masih ngobrol seperti di film pembuka. Tapi bagaimana Ifa berhasil membuat dialog dengan teknik Palindrom, yaitu membalik frasa atau kata-kata kembali ke awal. Gambaran kasarnya, Ifa bercerita mulai dari A, B, C, lalu kembali dari C, B, A lagi, dengan alur yang masih nyambung. Menarik.

“Mamalia” bukan tentang lumba-lumba di Ancol. Tapi tentang, bagaimana semakin cerdik dan menariknya merampok di Jakarta ditampilkan oleh Tumpal Tampubolon. Sementara “Planet Gajah” karya Rico Marpaung, juga berhasil merekam keindahan lampu-lampu Jakarta dalam frame gambarnya. Walaupun cerita sedikit absurd, tapi gampang dicerna. Sayangnya, dari dua film ini rasanya masih kuran greget. Semacam belum menemukan daging cincang di roti isi.

“Tokek”, simpel. Membayangkan biaya produksi yang tak seberapa di film karya Anggun Priambodo ini. Karena setting hanya di sebuah kamar kontrakan yang sempit. Minim cahaya, sangat minim. Maklum, ceritanya sedang dapat giliran mati lampu. Hingga diakhir cerita si tokoh berubah menjadi monster Tokek. Sindiran dan percakapan justru terlempar dari kata-kata ringan yang diucapkan tetangga sebelah.

“Peron” unik, menggelitik. Mengingatkan kisah pendek nan romantis ala “Paris Je’Taime”. Permainan audio dengan sound yang swing, membawa seorang mahasiswa laki-laki muda jatuh cinta pada gadis di seberang peron. Si mahasiswa selalu mendengarkan musik dari I-pod. Bagaimana jika headsetnya rusak? Azhar Lubis justru berhasil membuatnya menjadi begitu manis di akhir gambar.

Tak lengkap rasanya Jakarta tanpa mudik lebaran dan pelacur. Wisnu Suryapratama hampir sempurna menceritakannya melalui “Ella” (3ll4). Dengan percakapan gaya Jawa Timuran, percakapan tawar-menawar yang menggelitik. Karena mungkin kita tak akan menduga akan ada dialog senatural ini, “Yo tak dungakno bebek-e sampean ndang payu, tapi sampean yo dungakno aku, ben kimpetku iki yo cepet payu”. Ella, singkat dan mengesankan.

Segmen kedelapan, tentang dua sahabat, laki-laki dan perempuan. Yang sepakat saling telanjang. Bukan, bukan mau gituan. Mereka sahabat. Ketika mata keduanya tertutup kain. Mereka mulai saling menelanjangi satu sama lain. Disinilah barangkali “Roller Coaster” yang dimaksud Edwin. Hingga mereka benar-benar telanjang dan hanya diam. Gambar-gambar nude disini tidak lagi terkesan menelanjangi, tapi justru memberi gambaran lain tentang bagaimana kita melihat tubuh pemeran-pemeran dalam film. Konyol.

Ditutup “Full Moon” karya Sidi Saleh yang sarkas di akhir cerita. Tidak dengan kata-kata kasar, adegan telanjang, justru kalimat sederhana dan mengena. Tentang seorang supir taksi yang begitu sulitnya mengatakan cerai pada istrinya yang polos nan terlihat menjengkelkan. Ditutup anti-klimaks. Sekaligus statement, di sembilan cerita yang kesemuanya ditulis oleh Titien Wattimena itu berhasil menjelaskan sedikit Jakarta di malamnya.

Tentang Festival Film Solo, menyesal tak mendatanginya sejak pembukaan. Bukankah seharusnya pergerakan semacam ini yang layak diapresiasi. Karena disitulah kita bisa melihat ke luar Solo. Seperti saya yang menyesal hanya bisa melihat Jakarta dan melewatkan Purbalingga, Malang, dan Jogjakarta. Sampai jumpa di festival selanjutnya. Belok Kiri Boleh Langsung.[]

(Syamrotun Fuadiyah Kamil)