Demokrasi banyak diterapkan di berbagai lini birokrasi tanah air. Demokrasi menjadi pilihan karena konsepnya sangat mengedepankan inklusivitas. Setiap kalangan, dari si kaya, sederhana, miskin, sampai anak kos pun memiliki hak yang sama. Siapapun dapat bebas menyuarakan pendapat sampai memilih pemimpin, dari presiden sampai kepala RT, sesuai keinginan. Dalam pemikiran Soekarno, Bapak Proklamasi kita, demokrasi merupakan pemerintahan rakyat, karena dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sangat ideal bukan? Namun, demokrasi memiliki celah yang cukup besar untuk dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang haus akan kekuasaan. Dalam skala nasional, banyak contohnya, seperti kampanye besar-besaran untuk menarik suara yang hanya bisa dilakukan oleh partai politik besar, sehingga dominasi partai politik tertentu pun tak terhindari dalam suatu kontestasi. Selain itu, black campaign, sogok-menyogok, sampai BuzzerRP pun merajalela untuk menjatuhkan lawan politik suatu pihak tertentu. Hal tersebut membuat demokrasi tak ayal hanyalah sebuah alat politik. Dengan begitu, demokrasi yang inklusif menjadi mitos belaka, tak terkecuali dalam lingkup kampus.
Kehidupan kampus merupakan simulasi kehidupan bernegara. Kehidupan kampus di Indonesia didesain sedemikian rupa untuk mengikuti bagaimana kehidupan bernegara dijalankan, bedanya rakyatnya adalah mahasiswa. Dari BEM yang merupakan badan eksekutif seperti presiden dan menteri-menterinya, DEMA yang menjadi legislatif layaknya DPR, Pers Mahasiswa sebagai jurnalis yang bertugas menjadi pemberi informasi dan pengawas bagaimana “pemerintahan” mahasiswa bekerja, dan sebagainya. Konsep demokrasi pun dijalankan dalam “pemerintahan” tersebut.
Walaupun demokrasinya sama dengan lingkup nasional, tidaklah etis sebagai mahasiswa terjerat dalam cara berpolitik kotor para pejabat negara. Mahasiswa haruslah mengedepankan idealisme dalam berpolitik di kandang kita sendiri. Jika tidak, mahasiswa tidak pantas mengkritik atas cara berpolitik pejabat di ibu kota, karena tidak ada bedanya kita sama mereka. Katanya mahasiswa adalah agen perubahan, bukan? Lalu bukankah munafik jika ingin merubah sesuatu yang sama buruknya dengan kita?
Ormek dan Pemira
Sekarang sudah penghujung tahun, maka Hari Raya Pemira sebentar lagi akan datang. Bagi mahasiswa yang belum tahu, pemira merupakan ajang tahunan kampus untuk memilih presiden, wakil presiden BEM, dan anggota legislatif DEMA. Event ini dilaksanakan pada akhir periode masa kepengurusan BEM dan DEMA. Tanggal pastinya? antara akhir tahun atau awal tahun, karena suka berubah-ubah, hanya panitia dan Tuhan yang tahu. Walaupun timeline-nya sudah ada di Instagram @pemilu_uns, kita bisa lihat baru awal saja sudah terdapat perpanjangan, yaitu untuk timeline pendaftaran pasangan calon. Semoga kedepannya bisa konsisten dengan timeline yang sudah ditetapkan, agar tidak mengurangi jumlah pemilih karena bertepatan dengan libur semester, dan mahasiswa biasanya berbondong-bondong pulang, rindu kampung halaman.
Pemira bisa dikatakan adalah pemilunya mahasiswa. Layaknya pemilu, selalu dipenuhi oleh intrik, konspirasi, dan dominasi politik tentunya. Bedanya dominasi tidak dilakukan oleh partai politik, tetapi oleh Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Ormek). Sudah menjadi rahasia umum, ormek mempunyai peranan yang besar dalam kontestasi demokrasi di kampus. Dengan memiliki massa yang besar, ormek mengubah demokrasi kampus menjadi omong kosong atau demokrasi badut. Demokrasi yang hanya menjadi mainan dan kehilangan makna sesungguhnya.
Alasan mengapa mereka repot-repot memasuki dunia perpolitikan mahasiswa adalah kaderisasi. Tanpa kader, suatu organisasi tidak bisa regenerasi dan akhirnya mati. Dengan ikut berpolitik dan menjadikan kadernya terpilih dalam kontestasi, dapat menjadi daya tarik orang luar untuk mengikuti organisasi tersebut karena berhasil mencetak “pemimpin muda” atau “calon pemimpin masa depan”. Selain itu, beberapa ormek memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu dan menjadikan mahasiswa sebagai pengkaderan awal dan yang memiliki potensi dapat “direkrut” untuk memperkuat mereka di masa depan, layaknya Barcelona B-nya suatu partai politik.
Pertanyaan yang sering terlontar dari mulut mereka adalah, “Suruh siapa tidak mencalonkan diri supaya ormek tidak mendominasi?” Jawaban atas pertanyaan tersebut terdapat pada juklak juknis pemira itu sendiri, dapat kita lihat dengan mudah di bio Instagram @pemilu_uns, yang menyatakan bakal pasangan calon presiden harus mengumpulkan kartu mahasiswa pendukung paling sedikit 2.0% dari pemilih di setiap fakultas dan 5.0% dari pemilih di fakultas asal. Peraturan tersebut seharusnya dihapus demi demokrasi yang inklusif. Logika sederhana saja, sangat sulit bagi mahasiswa “biasa” untuk mengumpulkan kartu mahasiswa sebanyak itu. Pemira menjadi wadah demokrasi yang tidak inklusif karena hanya yang memiliki massa yang dapat maju ke kontestasi, tanpa peduli tentang kualitas si calonnya. Belum lagi perkara kampanye, walaupun mendapatkan dana dari pihak pemira, kemungkinannya masih kecil untuk bersaing dengan ormek yang memiliki modal materi yang jauh lebih besar. Layaknya pemilu, modal kampanye perpolitikan mahasiswa tidaklah sedikit, dari informan yang terpercaya, modal kampanye bisa mencapai belasan juta bahkan lebih demi memenangkan pasangan calon.
Sumber dana tersebut berasal dari “sponsoran”. Beberapa ormek sebelumnya bekerja sama dengan beberapa vendor untuk memberikan uang sponsor. Jika terpilih, vendor-vendor tersebut menjadi pilihan utama untuk memfasilitasi berbagai kegiatan organisasi atau kepanitiaan kampus. Tanpa ada rasa malu, mereka membeli jasa vendor “sponsor” tersebut dengan uang Mawa, yang secara tidak langsung memakai uang UKT dan SPI mahasiswa, hanya demi memuaskan dahaga kekuasaan. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum yang sulit untuk diakui.
Cara Kerja Pembagian Kekuasaan Ormek
Sistem bagi-bagi jabatan para pejabat negeri yang sering kali ditentang ternyata suka dilakukan dalam lingkup perpolitikan mahasiswa. Layaknya yang terjadi pada setiap pilpres, para “backingan” calon berkoalisi untuk memperoleh suara yang lebih banyak. Timbal baliknya pun sama, yaitu jabatan. Sebut saja ormek A bekerja sama dengan ormek B karena memiliki massa yang banyak. Jika calon dari ormek A menang, ormek B akan mendapatkan jabatan di bawah kepemimpinan organisasi A. ormek A jadi presiden, ormek B jadi menterinya, begitu pun sebaliknya. Jabatan struktural hanya sebatas “plotting-an” saja, terutama untuk kementerian yang dirasa “strategis” bagi mereka.
Buktinya apa? Jawabannya tidak ada. Ini merupakan rahasia umum dan pintarnya mereka, mereka mampu menyembunyikannya dengan rapi. Ormek tidak akan dicantumkan dalam CV para calon maupun yang sudah terpilih. Selain itu, ormek seringkali mempersiapkan para calon sedari dini. Ormek antara memilih orang yang sudah memiliki CV yang bagus lalu direkrut, atau memasukkan kader-kader mereka ke posisi strategis suatu organisasi atau kepanitiaan, untuk “mempercantik” CV mereka sebelum dicalonkan. Sebagai contoh, si Budi merupakan kader ormek A. Budi lalu dengan mudahnya dimasuki oleh orang dalam, yang memiliki ormek yang sama, ke posisi strategis di organisasi atau kepanitiaan, supaya ketika dicalonkan di tingkat kampus terlihat memiliki pengalaman organisasi atau kepanitiaan yang mumpuni.
Dengan begitu, dari koalisi sampai pembagian jabatan setelahnya, pemira hanyalah sebuah event tahunan belaka. Makna demokrasi dalam pemira tidak lagi ada. Semua sudah di-setting sedemikian rupa oleh ormek tertentu yang penuh dengan kepentingan. Bahkan yang terburuk, siapa pemenangnya pun dapat diketahui jauh sebelum pemira dijalankan. Begitu naif dan munafiknya mahasiswa sehingga mau digiring oleh kepentingan pihak luar, apalagi jika tidak mau merubah dan melawan.
Bagaimana cara melawannya?
Kekuasaan ormek merupakan suatu bukti eksploitasi pada celah dari konsep demokrasi itu sendiri. Ormek dapat dengan leluasa memonopoli kancah perpolitikan kampus adalah karena ketidakpedulian kita. Ketidakpedulian kita sebagai pemilih membuat kita memilih calon dengan sembarangan, seperti dipilih karena mukanya familiar, padahal muka familiar tersebut merupakan produk dari mereka, atau bahkan tidak memilih, yang membuat mereka dengan mudahnya memenangkan kontestasi. Ketidakpedulian kita membuat massa yang mereka punya mendominasi perolehan suara. Dengan kita peduli akan politik sedari dini, dengan mencegah demokrasi badut di kampus, maka kita akan dapat mencegah itu di skala yang lebih besar, yaitu nasional.
Ketidakpedulian itu tumbuh bukan tanpa sebab. Politik dipandang sebagai suatu yang ribet, penuh konflik, dan bahkan tidak penting, sehingga untuk membahasnya saja malas. Distorsi arti politik seringkali hanya mengarah pada pertarungan kuasa antar partai politik. Padahal arti politik itu sederhana. Sesederhana kita lebih memilih masak Indomie daripada beli makan di luar, karena jauh lebih murah dan hemat, itu juga termasuk berpolitik. Politik yang penuh konflik merupakan kesan yang membekas dari perhelatan Pemilu Raya 2019, di mana bahkan dalam lingkup keluarga sendiri bisa terpecah belah hanya karena pilihan politik. Hal tersebutlah yang membuat masyarakat, termasuk mahasiswa, tidak peduli lagi atas apa yang kita pahami sebagai politik.
Kepedulian kita bisa dimulai dengan rasa skeptis pada pasangan calon, supaya kita mencari lebih dalam tentang mereka, dan memilih mereka sesuai dengan kualitas mereka. Mungkin itu terkesan ribet, tetapi mulai dari situ, kita dapat terbiasa memilih calon sesuai dengan kualitas sesungguhnya dan akan sangat berguna untuk memperbaiki negara tercinta ini. Karena pada dasarnya keberhasilan demokrasi tergantung pada rakyatnya. Jika rakyatnya memilih pejabat asal-asalan, pejabat yang terpilih nanti bisa jadi merupakan pejabat yang busuk. Pejabat juga merupakan penentu kebijakan dan eksekutor dari kebijakan tersebut, apabila kita salah memilih, kita juga yang akan kena imbasnya, dalam lingkup yang lebih luas, negara bisa rusak. Itulah pentingnya kita peduli politik, jika tidak, celah dari demokrasi yang memungkinkan terjadinya berbagai penyimpangan demokrasi akan terbuka lebar. Kepedulian kita yang membuat kita tidak hanya dipandang sebagai komoditas atau sebatas angka oleh mereka yang ingin memonopoli demokrasi.
Dimulai pada lingkup kampus, kandang kita sendiri, kita lah yang harus menjadi jawaranya bukan mereka, ormek, vendor sponsor, ataupun partai politik. Kalau kita sebagai mahasiswa, tidak menegakkan idealisme di kampus kita sendiri, bagaimana kita akan menjadi agen perubahan, bagaimana kita dapat menegakkan idealisme di ranah yang lebih luas, yaitu dalam kehidupan bernegara. Jika tidak, janganlah heran jika kita hanya menjadi budak politik para pejabat rakus yang tidak mementingkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, Kita harus melek politik dan bersatu untuk memilih sesuai kualitas yang kita kehendaki mulai dari lingkup kampus. Dengan begitu, kita dapat mengalahkan suara dari massa yang memilih sesuai dari ormek belaka, tanpa melihat kualitas. Mari ciptakan demokrasi mahasiswa tanpa intervensi.
Saya di sini tidak berniat untuk menjatuhkan siapapun, tetapi hanya memenuhi tugas dan fungsi saya sebagai pers mahasiswa di kampus sendiri, untuk mengawasi dan mengkritik “pemerintahan mahasiswa”, serta menegakkan kembali konsep demokrasi sebagaimana mestinya. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sekian dan terima kasih.
Penulis: Rama Mauliddian Panuluh
Editor: Sabila Soraya Dewi