LPM Kentingan/Rifki Dhio Saputra

Melaju Bersama Semesta dan Waktu

2

Ada apa memangnya dengan penyandang disabilitas?

Bukankah mereka hanya manusia-manusia menyedihkan yang kekurangan?

Kekurangan fisik. Kekurangan mental. Kekurangan kasih sayang. Cacat. Mereka bahkan tidak bisa melakukan segala sesuatunya sendirian. Selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Membutuhkan perlakuan spesial. Membutuhkan empati lebih dari orang-orang agar bisa bertahan hidup lebih lama. Mereka hanya manusia-manusia lemah yang bisa sewaktu-waktu mengakhiri hidup jika semesta semakin memperlakukan mereka dengan kejam tiap waktunya.

Dan, kamu tahu? Mereka bahkan seringkali memandang diri mereka sendiri tidak berguna.

Jadi, jika begitu, untuk apa mereka tetap ada?

“Sudah siap?” tanya seorang perempuan dengan pakaian berwarna kuning cerah yang tampak senada dengan cuaca hari ini dari balik pintu yang terbuka lebar. Perempuan itu berjalan mendekat dengan langkah kakinya yang terlihat anggun. Terlihat seperti tidak ada hari menyulitkan dari tiap perjalanan yang ia tapaki. Bahkan, senyuman yang mengembang di wajahnya tampak seperti sinar mentari yang tidak akan pernah lelah menyinari bumi dengan hangat.

Perempuan itu berdiri di belakangku, terlihat memperhatikan penampilanku dari balik cermin di depan sana. Tidak ada yang kurang. Sempurna. Penampilanku cukup sempurna.

Pembohong.

Aku hanya sedang mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa masih ada kata sempurna yang melekat dari dalam diriku. Bahwa kesempurnaan yang dulu begitu kubanggakan, meski kadang kala mengekang hari-hariku, masih tersisa walau sedikit. Namun, memangnya manusia sepertiku masih boleh mengharapkan hal seperti itu? Manusia yang saat ini sedang menatap dirinya sendiri dari balik cermin dengan menyedihkan karena tidak menghasilkan raut wajah apa pun. Tidak senang, tidak juga sendu. Mungkin karena perasaanku sudah sejak lama hilang―sejak kedua kakiku dinyatakan lumpuh total dan hanya bisa berjalan ke sana dan kemari mengandalkan kursi roda. Berjalan? Biar aku ralat―hanya duduk diam dengan tangan yang kadang kala berjuang mendorong roda-roda besar yang terpasang di kedua sisi kursi agar mau berjalan maju ataupun mundur―atau bahkan berbelok, meski lebih seringnya dibantu oleh tangan-tangan orang lain.

Ya, aku adalah bagian dari ‘mereka’.

 Kenapa?

Apakah sosokku saat ini jadi tampak mengerikan setelah kamu tahu bahwa aku adalah bagian dari ‘mereka’, yang aku caci maki sejak awal tulisan ini bahkan belum menjadi susunan kata yang membentuk sebuah cerita? Aku adalah bagian dari ‘mereka’ yang sejak beberapa tahun lalu berjuang untuk tetap hidup di antara kesempurnaan yang orang lain miliki―di antara ketidaksempurnaan yang kini aku miliki. Aku adalah bagian dari ‘mereka’ yang pernah beberapa kali mencoba untuk menyerah dan berhenti mengikuti waktu yang terus berputar maju.

“Mau kupakaikan pita?” tanya perempuan itu lagi. Pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban, karena selepas pertanyaan itu dilontarkan, dia langsung menyerobot mengambil sebuah pita biru muda, yang pernah menjadi favoritku, di atas meja dekat tempat tidur. Kemudian, dia mulai memakaikannya padaku yang masih diam dan tidak mengacuhkan keberadaannya.

Senyuman masih belum luntur dari wajahnya, kontras sekali dengan raut wajahku. Dia terlihat senang, tetapi bukan berarti aku tertekan. Namun, bagaimana dia masih bisa terus mempertahankan senyuman yang dibuatnya untuk menyemangatiku itu sejak empat tahun lalu tanpa terlihat menyerah sedikit pun. Padahal, orang tuaku pun sudah menyerah sejak pertama kali mereka mengetahui bahwa anak sempurna yang dulu mereka banggakan kini menjadi tidak sempurna. Meskipun mereka tidak mengatakannya secara langsung, tetapi kepergian mereka ke luar negeri dan tidak lagi kembali sejak empat tahun lalu membuktikan segalanya―meskipun untungnya mereka masih mau bertanggung jawab untuk tetap memberi biaya hidup padaku. Namun, tetap saja aku masih tidak mengerti bagaimana pola pikir perempuan yang sedang ada bersamaku ini. Jangankan orang tuaku, aku saja sudah hampir beberapa kali ingin menyerah pada takdir kehidupan yang menyiksa ini. Walaupun aku tahu, ketika aku memilih menyerah dan berhenti, waktu tidak akan mati. Walaupun aku sudah tidak ada lagi, manusia-manusia akan terus bergerak tanpa henti dengan berbagai emosi yang menyelimuti.

Bukankah semesta terlalu kejam mengatur kehidupan?

Ya, semesta memang kejam, karena jika diperkenankan untuk menjadi manusia sombong, aku ingin mengatakan bahwa aku adalah manusia baik. Manusia yang selalu mencoba baik kepada siapa pun yang kutemui dan lebih-lebih kukenal. Memberi bantuan ketika ada yang membutuhkan, memprioritaskan apa yang menjadi kepentingan mereka dibanding diriku, dan melakukan segala hal baik lainnya yang tidak bisa kuperinci. Untuk itu, aku masih tidak mengerti bagaimana segala hal baik yang kulakukan justru menjelma menjadi monster yang mengerikan lewat seorang pengemudi mabuk yang menabrakku empat tahun lalu ketika sedang membantu seorang anak kecil menyeberangi jalan raya. Bagaimana bisa semesta membalas segala baik yang kutabung menjadi racun yang harus kutenggak dengan paksa.

“Nah, kan, cantik!” Kali ini, perempuan di belakangku memuji.

Entah apa yang dipuji. Kepalaku yang berhiaskan pita biru ini, atau tentang tubuhku dengan ketidaksempurnaannya. Namun, tidak mungkin itu adalah opsi yang kedua. Sebab, aku mempercayainya sejak empat tahun lalu dia selalu berusaha menyemangatiku untuk tetap bertahan di semesta yang sedang memperlakukanku dengan semena-mena. Dia juga yang mengajarkanku bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Mengajarkanku bahwa segala sesuatunya akan selalu berpasangan; kanan dan kiri, baik dan jahat, enak dan tidak enak, termasuk sehat dan cacat sepertiku yang merupakan pasangan untuk mengimbangi keberadaan semesta ini.

“Kamu hanya belum terbiasa melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang lain.”

“Sudut pandang tidak sempurna ini, maksudmu?”

“Ya … kamu tahu, hidup enggak melulu harus pakai kacamata yang sempurna, kan, untuk bisa melihat segalanya dengan baik?” balasnya ketika itu. “Kalau harus terus mengejar yang sempurna, kamu akan capek sendiri, dan kurasa kamu sudah merasakan itu sejak sebelum semuanya terjadi.”

Aku menatapnya lamat-lamat kala itu, mencoba menyelami isi kepalanya yang selalu sulit kumengerti sejak dulu. Juga menyelami bagaimana cara hidupku yang lalu sebelum kecelakaan itu merenggut segala sempurna yang selalu kuusahakan keberadaannya. Mungkin bukan kecacatanku yang salah, mungkin karena sejak awal memang aku yang mendambakan kesempurnaan, hingga ketika kedua kakiku dinyatakan lumpuh, aku semakin jauh dari jangkauan kesempurnaan yang ingin kuraih itu.

“Ghe?”

Aku tidak menjawab, masih diam dan membisu.

“Apa yang mengganggumu hari ini?” tanyanya lagi seolah tahu bahwa sedang ada yang berkeliaran di dalam isi kepalaku saat ini, sejak kedatangannya, sejak semalam ketika tidur tidak bisa kunikmati dengan nyenyak.

Cacat yang kini kualami memang sudah mengganggu sejak empat tahun lalu, tetapi yang membuatku sedang tidak baik-baik saja saat ini karena ada orang lama yang tiba-tiba datang dengan segala ketidaksukaannya padaku. Seseorang yang tidak pernah berkenan dengan segala hal baik yang kulakukan. Seseorang yang selalu mencoba menjatuhkanku ketika nilai-nilai yang diraihnya tidak lebih tinggi dari yang kumiliki.

Seseorang itu mengirimiku pesan semalam tidak lama setelah aku mengunggah sebuah foto langit malam di salah satu media sosialku. Isi pesannya bahkan terdengar mengerikan dibandingkan monster-monster yang sudah sejak lama menjarah kewarasanku.

Anonimee: he, cacat! masih hidupkah? bagaimana rasanya menjadi cacat selama 4 tahun? menjadi seseorang yang selalu dibantu?

Anonimee: jawab, cacat! jangan dibaca, doang!

Anonimee: lo tahu? sekedar cacat aja enggak bisa membuat gue puas

Anonimee: benalu!

Anonimee: gue berharap lo tiada.

Anonimee: Fuck!

“Ghea!”

Aku tersadar dari lamunanku ketika nada suara perempuan di belakangku meninggi. Seakan ingin menyadarkanku bahwa kecelakaan yang terjadi empat tahun lalu bukanlah bunga tidur yang masih aku angan-angankan keberadaannya. Namun, lagi-lagi itu hanya pikiran mengerikanku saja karena perempuan ini tidak mungkin memiliki isi kepala yang seperti itu.

Are you okay?” tanyanya yang tidak pernah jengah karena tiap pertanyaannya jarang sekali aku respons. “Kalau kamu mau bilang enggak baik-baik aja karena kondisi kakimu, aku tahu itu. Tapi, kamu tahu, kan, aku akan selalu ada di sini, menemani kamu, menemani prosesmu untuk sembuh ….”

Perkataannya mulai mengambang di telingaku ketika kata sembuh masuk ke dalam bagian dari kalimatnya. Sembuh, katanya. Empat tahun aku berjuang untuk sembuh seperti yang dikatakannya, tetapi tidak ada hasil apa pun. Karena apa yang terjadi padaku adalah takdir semesta yang tetap. Tidak ada kesembuhan. Aku akan mengalami sisa hidupku seperti ini, itu yang dikatakan dokter, dan perempuan di dekatku ini pun tahu itu. Namun, selama itu pula dia masih berusaha menyemangatiku, menyuruhku untuk tidak percaya pada dokter dan percaya bahwa aku bisa sembuh. Juga, selama itu pula aku menjadi bodoh karena mencoba mendengarkan tiap kalimatnya.

“ … perjalanan akan selalu tampak mengerikan kalau kamu terus-terusan menoleh ke belakang, Ghe. So, stop doing something like that. Nikmati aja apa yang ada sekarang, kita nikmati sama-sama, meski yang lagi coba kamu nikmati seperti meminum minuman beracun. Ya? Kamu pasti akan mulai terbiasa, Ghe. Kalau bukan tahun ini, mungkin tahun berikutnya, atau mungkin tahun-tahun berikutnya lagi. Semangat, Ghea!”

Perempuan ini semakin melebarkan senyumnya seolah berhasil memberiku semangat lewat tiap kata-katanya. Meyakinkanku bahwa aku memang bisa sembuh dan terbiasa meski hanya terdengar seperti bualan belaka. Namun, mungkin senyuman itu pula yang membuatku akhirnya selalu mencoba yakin untuk tetap bertahan, untuk tidak menyerah pada semesta yang sedang kurang ajar. Empat tahun sudah dia menemani perjalananku, dan selama itu pula dia tidak pernah terlihat menyerah. Jadi, bukankah sudah seharusnya kubalas tiap perjalanannya dengan tetap mencoba hidup?

Ya, setidaknya, jika aku memang tidak bisa sembuh dengan berbagai pengobatan dan harapan yang sudah kucoba, aku masih bisa bertahan dengan segala isi kepala baik seperti permintaannya. Lagi pula, akan selalu ada ending yang baik, kan, jika aku juga mencoba yang terbaik?

__________________________________________________________________________

Fhira Urmilah, manusia yang lebih suka rentetan aksara daripada rumus-rumus fisika.