Kembali ke rumah Simbok
Mengadu jagat kesah melucuti bising bentrok
Berkenaan dipecundangi buram suar setan membilar pada tajam yang elok
Perkara nekat ciut tak terurai merasuk relung sanggar di Jl. Lokaasmara
Ketersesatan mencari-cari rupa yang tak pernah menolak kala mengutuk lara
Jelas bukan temaram kunang tetapi kemancar petromaks
Bayangmu berlarian membelot pada hina paling klimaks,
daripada menunggu datangnya diriku yang telah membopong pot terracotta
telah paten rangkaian aksara namamu untukku, begitu pula sebaliknya
angan perajin decoupage mengukir mantra aguna memekar amor milik kita
Apatis mencekam meneriak-riak menggerogot harum hayat
Mengelak lakon tunggu terhanyut kabut subuh sepanjang setapak memandang … nyenyat
Tuan! Venus sesak menanti datangmu, kusemayamkan saja lembaran memoar sekarat
sebab aku penyair dan engkau … bacalah jiwaku sekujur …
sebelum terziarah polemik Alisjahbana pula Sanusi Pane kentara membias alirlebur
Purworejo, 2024
Obituary
Simbok memayu hayuning bawana. Kembangmu meredup terbit segera. Tumpukan jati sengon berkeledar. Menghangatkan edisi liburan rumah nenek. Tak sia meniti bara spektrum biru metalik. Aku mampu menangkapnya menyala-nyala pada serat membuih riang dalam tungku bertatak wingko lawas. Di atasnya ketel legit hitam memekati punggung tetapi resik dalamnya. Berair. Jatah campur-mencampur sagu mutiara, kolang-kaling, pokelan umbi jlegor, dan sebongkah gula jawa sejumput garam. Hujan gemah ripah loh jinawi membisu fantasi. Ku bertanya Simbok menjawab inilah kluwo surgawi.
Melayang kupu kumbang menyesap nektar bunga pace. Baskara mengagung indah komplementer jingganya menjelma biru langit.
Kicau blekok menertawaraya saban terik siang. Kiranya tertuju untukku kerana Tuan tak kunjung menunai (janji). Belingsat kau munyuk sawah. Ritta Rubby Hartland saja setuju. Tuhan maklum dan memaklumi. Oh Simbok … nasib begini begitu. Pelik merampas sukma yang tertawan…mencari akal kembali menggembala pengembaraan.
Padamulah manja memeluk kenangan kauaku bersua Mbok; aman-nyaman-tenteram.
Pijar senja menyebar wewangian rindu yang menguat. Bebek kecil bebek besar digiring menuju rumah. Pembajak harmoni alam naik ke pematang mendengar ingar-bingar sapaan Tuhan. Bujangan ngarit ditunggui piaraan. Menoreh atmosfer petang membekas pada tiap-tiap ruang tak berpintu membebas. Permai.
Lampu jalan di ujung pertigaan kian terus terang. Berpapasan dengan pandanganku menilik dari balik jendela terarah pada siluet pria, Tuan! Kabur-kabur-kabur-bur-bur-buram-hilang. Kudapati tetapi tiada raga ingin menyerui, hanya kertas tak bernama jadi bayaran jasa mencipta sajak-sajak. Hm. Senyum …
“Sanggar anggelar penawar.”
Purworejo, 2024
Tiara Nuraish, rontokan kamboja yang mencoba mewangi di tanah pemakaman.