Media Baru, Kendaraan Berpolitik?

Judul: Politik Sirkulasi Budaya Pop

Genre: Nonfiksi, Politik dan Ilmu Sosial

Penulis: Wahyudi Akmaliah

Penerbit: Buku Mojok

Tahun Terbit: 2019

ISBN: 978-602-1318-94-2

 

 

Media sosial sebagai wujud perkembangan zaman dalam bidang tekonologi, komunikasi dan informasi dapat mengubah cara pandang masyarakat dalam menyikapi suatu isu atau informasi yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali bidang politik. “Politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari penggunaan media sosial, baik sebagai kampanye politik, pertarungan gagasan, pelintiran hoaks, ataupun sebagai bagian dari gerakan sosial” (hlm. x).

 

Buku Politik Sirkulasi Budaya Pop dibagi menjadi 3 tema besar dan 25 judul. Pertama, budaya pop dalam pusaran kekuasaan. Akmaliah menganalisis bahwa budaya pop tidak hanya menjadi bagian dari industri kapitalisme, tetapi juga memainkan peran penting dengan melihat fenomena yang menjadi konsumsi dan pengaruh bagi publik. Sebagai contoh terlibatnya musisi papan atas dalam kampanye Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Timur.

 

Kedua, media baru dan pergeseran otoritas. Dalam tema ini, penggunaan Youtube, Instagram hingga Website sebagai media baru membuka peluang bagi siapapun untuk memengaruhi publik dalam beberapa bidang. Misalnya munculnya Jonru sebagai oposisi pemerintah sejak Pilpres 2014 melalui pelbagai unggahannya dalam media sosial yang kerap menjadi perbincangan di kalangan masyarakat.

 

Ketiga, gelombang islamisasi dan komodifikasi agama. Menurut Akmaliah, kekosongan kekuasaan pasca rezim orde baru membuat ormas islam yang sempat tertindas muncul dan menentukan arah politik serta ideologi islamnya. Tidak hanya paham politik untuk mempertahankan tradisi yang hadir dalam masyarakat, tetapi juga gerakan radikalisme. Sehingga ini membuat islamisasi dan komodifikasi agama tidak terhindarkan. Hal ini terlihat saat Gerakan 212 diinisiasi berkaitan dengan kasus penistaan agama oleh Ahok dalam konteks Pilkada DKI Jakarta.

 

Kasus yang diangkat pun juga masih segar dan menarik untuk dikaji serta ditelusuri lebih dalam. Seperti pernyataan Elly Risman dan Ernest Prakasa dalam akun Twitternya, Kasus Ahmad Dhani dengan ujaran kebencian hingga Ratna Sarumpaet dengan hoaks dan dramaturginya, komik kontroversial Ardian Syaf, berita bohong Muslim Cyber Army, serangan Jonru terhadap petahana, kemunculan tagar 2019 ganti presiden hingga Nurhadi-Aldo sebagai poros ketiga, dalih penistaan agama Rocky Gerung, dan kepulangan Rizieq Shihab dalam momentum 212. Semua kasus tersebut banyak diperbincangkan oleh publik sehingga sempat viral di media sosial.

 

Sementara itu, media baru yang muncul membawa nilai-nilai atau budaya baru yang mudah berkembang di masyarakat. Budaya tersebut biasa dikenal dengan istilah budaya populer. Dalam buku ini, Akmaliah menganggap budaya populer sangat berpengaruh dalam menentukan keberpihakan politik karena “melalui produk-produk budaya pop ini setiap pasangan calon akan menunjukkan dan mempresentasikan diri mereka untuk berpihak kepada siapa, kelas, dan visi apa yang ingin digambarkan” (hlm. 3). Perantara yang digunakan untuk mewujudkan itu semua pun juga menarik meliputi musik hingga video serta media penyampaian melalui Youtube, Instagram, Twitter, Facebook bahkan Whatsapp. Sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses konten tersebut.

 

Pada beberapa judul, Wahyudi Akmaliah mengaitkan kasus tersebut dengan agama. Padahal “pembicaraan mengenai agama menjadi sangat sensitif belakangan ini, sedikit saja menyinggung itu bisa menjadi persoalan” (hlm. 161). Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada kasus mengenai penistaan agama yang bersinggungan dengan politik. “Penistaan agama tidak hanya menjadi dalih dan kemudian memicu praktik kekerasan terhadap sejumlah kelompok, penganut aliran yang berbeda dengan kelompok agama utama, melainkan juga ditujukan untuk mendulang suara guna memengaruhi publik atas nama penistaan agama” (hlm. 166). Sebenarnya kasus tersebut menjadi besar karena ada kemudahan dalam menyebarkan informasi melalui berbagai media sosial serta kecerdikan dalam mengambil kesempatan untuk menjatuhkan lawan politiknya.

 

Media baru tentu dapat menjadi sarana yang mudah untuk memengaruhi masyarakat dalam melakukan suatu tindakan. Hal ini terlihat dari pesta demokrasi beberapa waktu lalu yang mulai memanfaatkan perkembangan zaman untuk mendulang suara. Sehingga buku ini menggambarkan proses perubahan tersebut dengan melihat perkembangan budaya populer, kondisi politik, serta komodifikasi agama yang terjadi di Indonesia.[]

 

 

M. Wildan Fathurrohman
Mahasiswa Sastra Indonesia UNS 2018. Surel: mwildan1408@gmail.com