Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul tiga sore, saat matahari mulai bergerak ke arah barat untuk menenggelamkan dirinya. Udara dingin dengan suhu enam belas derajat tapi matahari muncul tanpa malu-malu. Sudah hari ke lima belas, dan aku belum juga beradaptasi dengan suhu negara orang ini bahkan masih mengeluh ketika dingin dan panas tidak sejalan menerpa diriku.
Aku kembali merapatkan syal yang menggantung di leher sambil mencari tempat berteduh. Beginilah keadaanku sekarang, tubuhku kedinginan tapi sorot matahari sore itu membuatku harus mengenakan kacamata hitam dan membuat pelipisku terus mengeluarkan keringat. Satu bangku kosong kudapatkan di depan sebuah butik gaun, mirip halte bus tapi itu tempat duduk biasa. Kusandarkan punggung di sandaran kursi sekaligus barang-barang belanjaanku di sisi kursi yang kosong agar tidak ada yang menempati. Bukan pelit, tapi aku sedang sendirian, creepy rasanya jika harus berbagi tempat duduk dengan orang asing apalagi ditanya-tanya dengan bahasa mereka yang aku tidak tahu.
Sahutan-sahutan para pedagang entah kaki lima, keliling, atau pegawai toko memenuhi telingaku. Memang tempat ini adalah commercial center, seharusnya aku tidak terganggu karena sadar diri berada di tempat apa aku ini. Tetapi suasana hatiku yang agak sedikit gloomy membuatku berdecak kesal ketika suara-suara yang didominasi dengan kata ‘halal’ ‘murah’ dan ‘sini’ menginterupsi pendengaranku. Kucoba abaikan suara-suara itu dengan menatap lurus ke depan, tepat ke arah matahari terlihat jelas lingkaran oranyenya.
Meong…
“Eh?” Aku terperanjat ketika seekor kucing berwarna abu-abu mendadak bersembunyi di bawah sepatuku. Ukuran kucing tanggung seperti yang kutinggalkan di rumah, bedanya, ini pasti kucing liar. Seliarnya kucing di sini, tidak ada yang dekil apalagi kurus-kering, contohnya kucing yang sekarang kupindah di pangkuanku ini. Bulunya tebal, pipinya bulat, dan matanya jernih. Dengan gemas kumainkan binatang berkaki empat itu sampai-sampai tidak memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku.
“Suka kucing?”
“Iya, aku punya kucing di rumah,” jawabku sebelum menyadari kenapa ada yang mengajakku berbicara dengan bahasa Indonesia di sini. Aku menghentikan jemariku yang bergerak di punggung kucing itu lalu menatap sosok yang mengajakku bicara. Begitu mengetahuinya, kulepas kucing liar itu dari pangkuanku dan kuserahkan pada pangkuan orang itu.
“Lucu, ya?” tanyanya. Aku hanya berdehem untuk menyatakan persetujuanku.
“Kucing-kucing jalanan di Mesir begini semua.”
“Oh, ya?” Aku tertarik dengan pembahasan ini “Sebersih ini? Gemuk-gemuk juga?”
“Iya. Nanti kalau kamu berkesempatan ke Mesir, silakan lihat sendiri,” ujarnya tanpa mengalihkan tatapan dari kucing di pangkuannya. Ia duduk di samping belanjaanku, di bangku yang sama denganku hanya dibatasi belanjaan.
Sadar aku terlalu lama menatap lawan jenis, kembali kualihkan netraku pada matahari yang seolah berada di seberang jalan. Entah laut apa yang kulihat di seberangku, tapi mungkin itu Laut Merah karena setahuku, laut yang ada di Jeddah hanya Laut Merah, laut yang terbelah. Sebuah kapal pesiar raksasa terlihat sandar seolah menyejajari matahari. Pemandangan kesukaanku; matahari terbenam di laut.
“Kamu pulang hari ini, ya?” tanya Dia lagi ketika merasa atmosfer kosong tanpa percakapan.
“Iya. Nggak terasa,” jawabku lirih sambil tetap menatap matahari terbenam “Saya nggak nyangka kalau saya harus mengawali perjalanan pulang pada saat matahari terbenam.”
“Memang ada apa?”
“Selama ini saya nggak pernah percaya sama perpisahan yang diibaratkan dengan matahari terbenam. Saya sangat menyukai matahari terbenam sampai tiba hari ini, saya rasakan perpisahan itu sendiri tepat di fenomena yang saya suka.” Aku tersenyum tertunduk, suasana hatiku agak sedikit kacau sore ini sehingga aku mengutarakan keresahanku pada orang yang tidak kukenal baik.
Aku tahu Dia selama lima belas hari ini, tapi untuk mengenalnya, aku tidak.
“Bukan hanya kamu yang pulang. Saya juga harus kembali lagi ke Mesir besok pagi.” Sepatah kalimat dari Dia membuatku bisa mengalihkan kepala. Kembali menatapnya dengan sungguh-sungguh sementara ia masih menatap lurus ke arah kapal pesiar yang sandar.
“Saya lupa kalau kamu bukan mukim di Saudi.” Tawaku berusaha menutupi rasa tidak nyaman yang mulai menguat dalam hatiku “Berarti, kita sama-sama pergi ya? Atau bisa saya katakan sama-sama pulang?”
“Kamu yang pulang, saya belum. Karena kata pulang baru akan saya dapatkan ketika saya tiba di Indonesia, seperti kamu.”
Aku mengangguk-angguk. Menyembunyikan perasaan resah dan galau yang mulai melingkupi hatiku. Tidak boleh, tidak boleh ada secuil perasaan itu, kecuali jika aku mau mengingkarinya dengan mengatakan rasa ini timbul karena aku tidak mau meninggalkan Arab Saudi. Nyatanya, ini perasaan yang berbeda dengan apa yang kurasakan saat meninggalkan Mekkah kemarin. Rasa yang jauh lebih ‘mendung’ yang aku sendiri tidak mau memastikan jenis galau macam apa yang menghampiriku sekarang. Harus tetap abu-abu, aku takut jika ia menjadi hitam atau putih secara terang.
Menatap matahari terbenam, tidak pernah sesedih ini rasanya. Bahkan mengambilnya dalam bentuk foto tidak juga membuatku puas, seperti ada rasa yang tertinggal di terbenamnya matahari kali ini. Aku selalu menyimpan dan menikmati matahari terbenam sendiri, kali ini, melihatnya bersama dengan orang yang kuingkari keberadaannya membuatku tidak bisa merasakan euforia seperti biasa yang kudapatkan. Jika biasanya ada ledakan senang seperti kembang api, kali ini aku merasa ledakannya seperti bom waktu.
“Sudah waktunya.” Dia menatap jam di pergelangan tangan kirinya “Sudah waktunya kamu masuk bus bersama yang lain lalu segera berangkat ke bandara.”
“Kamu juga ikut, kan?”
“Saya tinggal di Jeddah malam ini. Saya nggak ikut mengantar ke bandara.”
“Kenapa?”
“Kamu nggak perlu tahu alasannya.”
“Bandara juga di Jeddah.”
“Maksud saya, saya tinggal di Corniche.”
Aku tersenyum sedikit, bukan senyum tulus apalagi senyum baik. Segera berdiri sambil menyahut barang-barangku yang sebelumnya menjadi pembatas antara aku dan Dia. Niatku untuk ingin cepat-cepat pergi dari sini sebelum air mataku luruh karena perpisahan di sini. Terus meyakinkan diriku bahwa ini adalah ketidakrelaan meninggalkan Arab Saudi, bukan ketidakrelaan meninggalkan hal yang lain. Tiga tahun lalu aku juga merasakan ini, aku terus-menerus mendorong pemikiranku ke dalam jurang pemikiran yang salah agar tidak ada kebenaran yang terucap dan tersesali sekembalinya aku ke Indonesia.
Ia berdiri di belakangku, membukakan pintu bus yang entah kenapa bisa sudah berhenti di hadapanku. Aku menoleh sebentar, berusaha menatap tubuhnya tanpa wajahnya lalu bergegas menaiki tangga hingga menimbulkan suara yang membuat orang-orang di dalam bus itu menoleh ke arahku. Diri ini bahkan tidak sadar jika rombongan yang lain sudah naik bus duluan entah dari mana, dengan kata lain, aku dijemput terakhir di tempat yang agak jauh dari titik kumpul awal kami.
Kuhempaskan badanku ke kursi paling belakang, aku bahkan menolak tempat yang disediakan teman sekamarku selama di Arab untuk duduk di sampingnya. Nafasku memburu, sesak. Seperti tahu ada bagian yang tertinggal. Sebisa mungkin aku tidak menatap ke arah jendela yang ada di sebelah kananku atau aku benar-benar akan menangis sekarang. Hanya sudut mataku yang melirik-lirik situasi di luar termasuk sosok pria yang berdiri sambil melambaikan tangannya. Semakin ekor mataku menemukan bayangannya, semakin berpaling pula diriku dari arah jendela. Katakanlah aku membuang muka, tapi memang benar aku melakukannya. Tidak ada yang kulakukan selain merapal doa keselamatan sampai bus berjalan menjauhi titik dimana aku berhenti terakhir tadi.
Barulah aku menatap jendela kaca dan menempelkan tanganku, menggoyangkannya beberapa kali, mengucapkan selamat tinggal.
…pada matahari terbenam.
Penulis: Guireva Gahara
Editor: Wahyu Lusi Lestari