Pagi saat mereka tiba (atau pagi sebelum kami berangkat) aku bertanya apakah di Ambon ada arem-arem. Mereka menjawab ada yang bentuknya seperti itu dan mereka menyebutnya gogos. “Tapi lebih kering, kak,” kata salah satu dari mereka.
Dalam benakku, kota Ambon seperti desa tempat tinggalku alih-alih semacam kota Surakarta atau Yogyakarta. Ini bukan bermaksud menyepelekan. Di google map, pulau Maluku terlihat laiknya hutan belantara yang dikepung laut seolah Tuhan baru membikinnya kemarin sore dan orang-orang bergegas mendirikan Universitas dan mengirimkan 25 orang buat melihat-lihat kampus Jawa.
Di pasar dekat rumahku, kalau tak keliru ingat, baru ada penjual martabak ketika aku SMA. Maka kutanya apakah di Ambon juga ada martabak dan salah seorang dari mereka menderetkan beragam varian rasa martabak yang ada di sana.
Dengan pengetahuan mereka yang mumpuni ihwal permartabakan, kukira Ambon paling tidak tak sekecil kampung halamanku. Dan dengan itu pula, ketika kami mengajak mereka mengitari kampus IV, aku mengenalkan aneka ruang dengan ekor: “Sama kayak di sana, kan?”
Tapi, subuh sebelum pertemuan aku sudah kadung bertekad buat menemukan sesuatu yang unik di Ambon. Arem-arem, martabak, dan kegemaran berswa-foto membuat perbedaan geografis tak terlihat ada.
Pengatahuan yang berbeda ini penting untuk bekal menaklukan ambisi menulis cerita pendek yang menggebu-gebu. Paling tidak, selama dua bulan di sana, satu cerita pendek, jenis tulisan yang sampai saat ini sukses membikinku merasa payah, tuntas.
Beberapa hari sebelumnya aku baru saja merampungakan buku Merapi Omahku (Inandiak, 2010). Dengan baur antara yang terlihat dengan yang liyan, dan cara bertutur yang terlihat sederhana tapi tetap penuh daya pukau, aku merasa bisa membuat cerita semacam itu dengan latar Maluku.
Setiap cerita bagus sebenarnya selalu membuatku merasa yakin bisa membuat yang seperti itu meski nyatanya selalu berakhir dengan Ctrl+A+delete dan rentetan makian.
Sayangnya, setelah melalui pendahulan pertanyaan yang berputar-putar, agar tidak terlihat menuduh Ambon sebagai sarang jin, orang yang kutanya mengatakan kalau di sana tidak subur mitos-mitos gaib.
Itu mebuatku semakin putus asa.
Selama di perjalanan, aku frustasi memikirkan apa yang kira-kira bisa ditulis. Hamparan awan yang lucu sesekali menyergap perhatianku dengan bertingkah selayaknya orang yang baru pertama kali naik pesawat: memfoto dan sibuk berbisik wah bagus banget! Tapi syukurlah aku tidak kelewat norak dengan memfoto tulisan selamat ulang tahun dari sekian ribu meter di atas permukaan laut untuk hari ulang tahun yang entah kapan.
Perasaan bersyukur dari ketidaknorakan itu mungkin upaya menenangkan diri kalau tidak ada yang bisa dituliskan selama di Maluku juga bukan masalah. Sambil memupuk keyakinan pasti akan ada banyak hal menarik yang bisa ditemui saat benar-benar ada di sana.
Suara getas menyuruh kami mengenakan sabuk pengaman. Ikat yang kencang, katanya. Dan aku mengikatnya dengan longgar. Mengira hal yang mungkin bisa terjadi dari tidak mengikat kencang sabuk pengaman saat mendarat kukira tidak lebih buruk ketimbang tidak memiliki ide tulisan.
Di sisi paling dekat jendela, seorang teman yang juga satu kabupaten asal denganku, kutanya, apakah pulau Maluku sudah dekat. Katanya sudah. Puncak-puncak pohon mulai terlihat dari jendela. Aku melongok, memandang horizon di luar jendela dan—meski itu siang hari—teringat satu larik puisi Avianti Armand: Malam adalah kubus dengan langit yang jauh. Pada saat itulah optimisme merampungkan tulisan kembali menyala. Yang sayangnya segera diinterupsi dengan buruk oleh temanku tadi.
“Masih desa banget ya?”
Di kepala, gerobak martabak berbaris mendesak berebut keluar.[]