Pagi itu, Hara menghampiri seekor kucing di dapur. Ia tahu, kucing kampung berwarna oranye itulah yang kerap datang ke rumahnya. Kucing itu sedang asik melahap makanannya di kolong meja. Di sepanjang hari saat kucing itu datang ke rumahnya, tak pernah ia beri makan. Timbul pertanyaan dalam benaknya, bagaimana seekor kucing mencari makan selain dapat belas kasih dari orang? Seketika ia menduga kucing itu pastilah mencuri.
Tepat di hadapannya, Hara hanya duduk memandangnya. Mata mereka bertemu beberapa detik, tetapi kucing itu tak menunjukkan adanya sesuatu yang tak nyaman dikala mata Hara menatapnya tak berkedip. Malahan ia menggumam dikala daging itu masuk dalam mulutnya. Hara tak punya niatan mengelus atau menggendongnya sebagaimana wanita kebanyakan.
“Mau makan?” Hara terkejut mendengar suara. Bola matanya menelisik tiap sisi ruangan, tetapi ia tak mendapatkan seseorang di sana. Sesungguhnya, Hara ke dapur dikarenakan perutnya belum terisi apa pun. Ia teringat kemarin sore ia menggoreng beberapa ikan pindang untuk makan malam. Dan sampai menjelang tidur, ia belum makan lagi. Dengan begitu, pasti ikan itu masih tersisa. Niatan mengambil makan untuknya sarapan teralihkan ketika ia melihat kucing itu.
“Aku sudah kenyang.” Suara itu terdengar lagi tetapi tetap tak ada seseorang di sana. Apa mungkin kucing itu yang bicara?
“Ayo makan saja.” Kucing itu mendorong makanannya. Mata Hara terbelalak. Memang benar kucing itu yang berbicara.
“Kau bisa bicara?” tanya Hara.
“Tentu saja. Semua hewan bisa bicara.”
“Tetapi aku tak pernah mendengar para hewan berbicara.”
“Kau hanya mendengarnya dengan suara hewan, seperti kucing mengeong, ayam berkokok dan sebagainya.”
Hara menelan ludah. Ia hanya berpikir tentang mimpi apa semalam. Tetapi ia tak bisa mengingatnya. Yang ia ingat sewaktu menjelang tidur, Hara masih berkutat pada pekerjaannya sebagai tukang setting spanduk. Sebenarnya tugas itu tak diwajibkannya untuk diselesaikan di rumah. Akan tetapi konsumen yang ia layani memintanya agar setting-nya dikonfirmasi pagi-pagi sekali. Dan konsumen itu meminta agar spanduknya sudah jadi sebelum zuhur.
Sungguh. Hara dibuat cemas karenanya. Terlebih bahwa konsumen tersebut pasti akan mencarinya. Apa yang akan dikatakan temannya? Pasti salah satu temannya akan membencinya, terutama orang yang kebagian jatah untuk meneruskannya. Dan lagi bagaimana dengan bosnya yang tak mendapatkan kabar dirinya tak bisa berangkat?
Lalu saat ia bangun, seisi rumah pada sibuk ke sana-kemari mencari sesuatu. Hara yang kebingungan sempat bertanya pada Nando, suaminya. Namun, Nando tidak mengacuhkannya, seolah-olah ia benar-benar tidak ada. Sebenarnya apa yang terjadi? pikir Hara.
“Aku sudah tak sanggup menghabiskannya. Kau habiskan saja. Tak apa,” kata kucing itu lagi.
Hara menggeleng, “Aku tidak bisa makan itu.”
“Kenapa? Kalau kau tidak makan kau pasti kelaparan.”
Sebenarnya Hara ingin mengatakan ia tidak makan makanan bekas kucing, tetapi tak ia katakan karena sedang berbicara dengan seekor kucing. Ia takut kucing itu akan marah dan mencakarnya.
“Kutinggalkan di sini. Aku tahu kau belum makan pagi ini.”
“….”
“Tenang saja. Aku tidak meracunimu walaupun kau suka mengusirku, menendangku dan bahkan melempariku dengan sapu.”
“Makanan itu, apa kau mencurinya?”
“Tidak. Karena aku tahu orang di rumah ini tidak akan membagikan makanannya.”
“Bagaimana kau mendapatkannya?”
“Aku menangkapnya.”
“Menangkap? Emang itu apa?”
“Tikus.”
Hara bergidik ngeri. Makan. Itu adalah hal yang tak mungkin ia lakukan. Terlebih itu tikus. Jijik. Bagaimana mungkin kucing bisa makan makanan yang menjijikan seperti tikus?
“Aku tidak makan tikus.”
“Kenapa?”
“Karena aku manusia, melihatnya saja aku jijik, apalagi memakannya.”
“Ya, kau memang manusia. Tapi itu dulu. Sekarang kau adalah seekor kucing.”
“Tapi aku tak bisa makan tikus.”
“Tidak ada pilihan lain. Kau tahu sendiri, selain ibumu, di rumah ini tak ada yang peduli sama kucing. Dan tadi kulihat ibumu keluar. Itu berarti tak ada yang peduli padamu. Mereka tidak ada yang tahu kau berubah menjadi kucing.”
“Bagaimana kau tahu, aku adalah orang yang mengusirmu, menendangmu dan melemparimu dengan sapu?”
“Bola matamu bukan bola mata kucing. Dan suaramu juga tidak berubah.”
Kucing itu pergi meninggalkan Hara yang masih bersikukuh pada pendiriannya. Sementara pikirannya bimbang antara mengikuti perintah kucing oranye untuk makan tikus mentah-mentah atau teguh pada pendiriannya yang tetap berjiwa manusia.
Segerombolan semut bergotong-royong membawa sisa makanan. Merangkak membuat barisan panjang di lantai. Tepat dihadapan Hara, semut terdepan berhenti, menoleh ke belakang, membuat semut-semut lain turut berhenti.
“Bu, lihat, siapa kucing itu?”
“Entahlah, Ibu tak pernah lihat. Pasti kucing kelaparan yang datang mengemis minta makan.”
“Dari mana Ibu tahu?
“Kucing kan begitu, datang hanya meminta makan. Bila kenyang ia pergi. Sudah biarkan saja.”
Lalu semut-semut itu melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Hara yang terdiam di tempat tanpa membalas penilaian semut itu.
Kucing tak seperti ayam. Kalau ayam dikasih makan pagi, setelah itu ia akan dikeluarkan dari kandang. Dan ketika sore, ia akan diberi jatah makan yang mengenyangkan, kemudian dimasukkan ke kandang.
Dan pada saat waktunya bertelur pun telurnya akan dijaga. Ditengok setiap hari, dikumpulkan, lalu pada waktu ayam mengerami telur, si betina akan ditempatkan di petarangan. Petarangan itu dibuat oleh Si Pemilik sedemikian hangat. Dan telurnya akan dinanti menetas.
Berbeda dengan kucing, ketika kucing itu mengandung pasti orang akan mengusirnya. Dengan alasan tak mau bila kucing itu melahirkan di lemari baju atau kardus yang masih layak pakai.
“Huss, pergi!” hardik Nando ketika kepala Hara mengelus di kakinya.
Hara diam sejenak dengan tatapan yang menurutnya mengiba. Tatapannya persis saat ia meminta uang belanja. Akan tetapi tatapan itu tak membuat Nando memiliki belas kasih, seakan-akan tatapannya tak membuat Nando teringat bahwa tatapan itu milik Hara.
Nando masih tetap menikmati sarapannya. Hara tak mundur begitu saja. Maka demi mendapat perhatiannya Hara mendekat sekali lagi, bermanja di kakinya. Sebenarnya ia ingin memeluknya dari belakang, mengucapkan kalimat mesra agar Nando menoleh dan memberinya makan.
Tiba-tiba kaki itu menendang Hara dengan keras. Hara tersungkur. Hal yang selalu luput dalam ingatan setiap manusia, tidak menyadari kebodohannya bahwa sebuah pasangan adalah cermin dirinya. Ah, bodoh sekali, pikir Hara. Ya, suaminya ternyata sama persis seperti Hara, tak punya rasa peduli pada kucing.
Hara mencoba duduk dengan berusaha melupakan rasa sakitnya akibat tendangan tadi. Ia memandang ke arah Nando. Seketika senyum bahagia terukir ketika Nando bangkit dan menatapnya. Tetapi senyumannya meredup dikala Nando menatapnya dan diikuti senyum menyeringai. Saat itulah Hara teringat ketika ia berhasil meminta dibelikan ponsel terbaru, senyuman itu sama persis dengan senyuman licik penuh kemenangan yang ia sunggingkan ketika ia melihatnya di cermin. Tanpa pikir panjang Hara berlari ke arah pintu. Lalu berhenti sembari menoleh ke arah Nando. Dan berlari lagi untuk keluar ketika tahu Nando mengajarnya. Pintu ditutup dari dalam.
Hara merutuk, “Mengapa keberadaan kucing seperti tak dipedulikan? Padahal aku hanya meminta sedikit saja. Apa kau sungguh tega melihatku kelaparan? Di luar sana mencari makan di jalan itu susah, apa perlu aku mencuri makananmu? Dan apakah kau akan menyesali perbuatanmu yang tak mau memberiku (kucing) makan sedikit saja? Ah, yang ada kau akan marah, dan melempariku dengan sapu.”
Selagi Hara bingung meratapi nasibnya sebagai kucing, ia kembali terkejut dengan keberadaan seekor kucing jantan yang berada di teras. Ia menatap Hara dengan tatapannya yang seolah memiliki ketertarikan padanya. Hara merasakan ketakutan. Dan ia menyesal, kalau saja mengikuti perkataan kucing oranye, pasti ia masih berada di dalam rumah menikmati bangkai tikus yang menjijikan.
Penulis: MS Subuh
Editor : Diah Puspaningrum