Aku sukaaaaa sekali tinggal di sini. Mamaku orang yang saaaangat baik. Saudara-saudaraku juga saaaaangat menyenangkan. Kami bermain, tertawa, dan selalu bersama-sama. Aku suka Don (anak keenam), Tom (anak ketujuh), dan Ran (anak kesembilan dan bungsu sebab Papa sudah tinggal di bawah tanah). Kami selalu berempat, atau memang tersisa kami berempat. Kata Mama, kami seperti sebuah persegi panjang yang memiliki empat sudut.
Hai! Namaku Sol (anak kedelapan). Sol, seperti doremifasol, atau soool sepatu~ baiklah, itu konyol. Usiaku 7 tahun. Tujuh adalah angka keberuntungan. Jadi, aku pastikan mulai tahun ini, hidupku selalu beruntung, termasuk mendapat daging yang lebih banyak dari saudara-saudaraku ketika Ibu sedang memberi kami makan malam.
Malam itu salju turun cukup lebat. Melalui layar televisi yang menayangkan berita terkini, orang-orang diselimuti mantel berbulu mereka yang tebal, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku, dan leher yang dililit syal hangat. Mobilisasi lebih lambat sebab jalanan yang licin memaksa mereka untuk lebih berhati-hati. Sementara itu, aku diam di rumah bersama Mama dan para saudaraku. Tayangan selanjutnya beralih ke berita tentang Sekolah Yang Tidak Menginap. Katanya, anggaran untuk makanan di sekolah tidak cukup. Aku tidak mengerti apa itu anggaran. Jadi, aku putuskan untuk tidak mencari tahu definisinya karena terlalu rumit untukku yang tidak terdidik. Yang pasti, masalah apapun akan cepat selesai. Kata Mama, pejabat di Sekolah Yang Tidak Menginap adalah kumpulan orang-orang yang bijaksana. Aku juga tidak tahu apa itu pejabat dan kuputuskan untuk tidak tahu apa-apa.
Aku, Mama, Don, Tom, dan Ran makan malam bersama pada sebuah meja kecil yang sebetulnya tak cukup untuk kami berlima. Akan tetapi, karena menu malam ini hanyalah jagung rebus berbumbu garam dan lada, maka masih ada tempat untuk menaruh piring serta sendok-garpu di atas meja.
Tunggu, apakah aku belum memperkenalkan keluargaku? Baik, singkat saja, ya. Jadi, inilah sisa keluargaku yang sudah tidak di rumah:
- Papa, suami Mama. Berada di dalam Persegi Panjang Yang Memiliki Volume sejak tiga tahun yang lalu.
- Tea, anak pertama. Berada di Sekolah Yang Menginap sejak dua setengah tahun yang lalu.
- Cus, anak kedua. Berada di Sekolah Yang Menginap sejak dua tahun yang lalu.
- Bear, anak ketiga. Berada di Sekolah Yang Menginap sejak satu setengah tahun yang lalu.
- Dha, anak keempat. Berada di Sekolah Yang Menginap sejak satu tahun yang lalu.
- Si, anak kelima, juga seperti doremifasolasi. Berada di Sekolah Yang Menginap sejak enam bulan yang lalu.
Kakak-kakakku bersekolah. Meskipun tidak kaya, Mama peduli akan pendidikan kami. Besok, Don juga akan pergi ke sekolah. Setiap sebelum memulai sekolah di Sekolah yang Menginap, pasti ada seorang paman yang mengunjungi kami pada pagi hari. Setelan rapi yang tampak menarik dengan dasinya selalu membuat kami terpukau. Dia tampak kaya meskipun rupanya tak lebih indah dari Tom Si Tampan Pujaan Para Tante. Selain setelan, kami juga terpukau dengan mobil yang kinclong seperti kepala Bapak Tetangga Botak Yang Pemarah. Plat mobilnya berwarna merah muda yang lucu, serasi dengan perawakannya yang gemuk dan menyenangkan. Kata Mama, dia adalah orang pemerintah. Pemerintah itu yang suka merintah-merintah, ya?
Kami memanggilnya Paman Koper. Sebab, dia selalu datang dengan koper yang tak berisi baju atau celana atau celana dalam, melainkan kertas yang terdapat gambar dan angka pada kedua sisinya. Kertas-kertas itu selalu membuat Mama sumringah setelah dia muram berbulan-bulan. Dan ya, aku juga sumringah karena tahu bahwa kami pasti akan makan enak: daging. Sayangnya, kesenangan itu hanya berlangsung 12 menit karena kami harus mengucapkan selamat tinggal pada saudara kami yang dibawa oleh Paman Koper untuk pergi ke Sekolah Yang Menginap.
Pada pagi hari ketika Pasukan Burung Gereja belum selesai bernyanyi, Paman Koper datang seperti yang sudah aku duga sebelumnya. Kami menyambutnya penuh tawa meskipun kedatangannya membuat lagu Harpy Hare yang dinyanyikan oleh Pasukan Burung Gereja terhenti pada lirik, “Harpy Hare, where have you buried all your children?”. Paman Koper suka anak-anak dan anak-anak suka Paman Koper. Mama juga suka Paman Koper karena dia membuat anak-anaknya bersekolah tanpa harus membayar. Uniknya, Mama malah mendapat kertas sekoper karena mengizinkan anak-anaknya bersekolah.
Paman Koper yang baru datang tetap membawa koper. Akan tetapi, warna kopernya berbeda sejak terakhir aku lihat pada 24 minggu yang lalu. Kopernya biru langit, seperti warna iris Don yang sebebas angkasa. Koper itu juga berisi hal yang sama: kertas yang terdapat gambar dan angka pada kedua sisinya dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Kata Paman Koper, alasan dia membawa kertas itu dengan jumlah yang lebih banyak karena Don (calon murid baru di Sekolah Yang Menginap) bertubuh gempal. Ternyata orang yang suka merintah-merintah punya pabrik kertas di dalam rumahnya, juga menyukai anak yang bertubuh gempal seperti Don.
Hanya ada 12 menit waktu yang diberikan untuk kami berpisah dari Don. Mama tersenyum, padahal semalam dia menangis sendirian di pojok kamar. Don terlihat sedih, dia tampak tidak mau berpisah dari Mama maupun dari adik-adiknya. Aku bernyanyi untuknya karena namaku Sol dan agar dia tidak bersedih lagi. Ku putuskan untuk menyambung nyanyian pagi Pasukan Burung Gereja.
“She can’t keep them all safe. They will die and be afraid.”
Kemudian, Mama marah padaku sehingga aku disuruh masuk ke dalam kamar. Pintu dikunci ganda dan meninggalkan sejuta tanya dalam benakku. Sedihnya, aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada Don dengan benar. 12 menit kemudian, Paman Koper dan Don meninggalkan rumah kami. Secepat itu dan seolah sudah terbiasa dengan salam perpisahan.
Aku masih dikurung di dalam kamar hingga petang menyambut kami. Kali ini, giliran Pasukan Burung Gagak yang bernyanyi. Nadanya suram sehingga aku tidak begitu menyukai para gagak. Hari ini, mereka menyanyikan lagu Requiem.
Pukul 06.58 malam, Mama baru membuka penjaraku. Aku menangis, memeluk Mama, dan meraung-raung untuk berjanji bahwa aku tidak akan nakal lagi. Mama tak berkata apa-apa selain menyuruhku untuk pergi makan malam. Aku sedih karena Mama tidak tersenyum dan tidak marah.
Malam ini, kami kehilangan satu anggota. Namun, Tom senang karena rumah akan terasa lebih luas. Dia juga senang karena gilirannya semakin dekat untuk pergi bersekolah. Ran si bungsu terlihat sedih. Mungkin karena Don yang telah pergi—Ran sangat dekat dengan Don sejak enam bulan terakhir. Mama tak menunjukkan ekspresi apa-apa dan sorot matanya berisi hampa. Tunggu—hampa tak berisi apa-apa. Namun, tenang saja, mata Mama masih ada.
Mama menuangkan sup yang masih berasap di dalam mangkukku dengan daging yang lebih banyak dari saudara-saudaraku. Yap! Itu adalah sup daging. Aku mengaduknya dengan sendokku, barangkali mendapatkan sesuatu yang menarik seperti lalu-lalu. Dan ya, benar. Aku menemukan harta karun. Benda yang ada di atas sendokku ini pasti mata dari daging itu. Don juga pernah mendapat bagian mata pada sup daging sekitar satu setengah tahun yang lalu. Katanya, mata adalah bagian yang enak karena bertekstur licin dan ada sensasi meletup ketika menggigitnya. Ku percayai kata-kata itu sehingga aku mulai menyuap mata berwarna biru langit.
Pop!
Benar kata Don. Matanya meletup!
Penulis: Sarah Salsabila
Editor: Rohmah Tri Nosita