Foto: Rozaq Nur Hidayat/ LPM Kentingan

Maka Bersuaralah Wahai Kaum-Kaum Golput

Pada suatu hari yang katanya demokrasi sekali, seorang kawan, sepertinya, mendapat titipan dari Komisi Pemilihan Umum tingkat fakultas membagikan pamflet yang isinya; hari ini adalah hari pemilihan blablabla dari pukul sekian hingga sekian dan tata caranya seperti ini, ini, dan ini, ke grup WhatsApp (WA) angkatan. Seorang kawan lain membalas dan mengutipnya dengan seruan, “Gunakan hak suaramu!”

Setelah 7 jam pesan singkat itu berlalu, kawan yang pertama kembali membagikan kiriman dengan tajuk ‘HASIL PERHITUNGAN SUARA’. Kawan kedua kembali membalas dan mengutipnya. Namun, dengan suatu bahasa daerah, yang kira-kira isinya hanya dua orang dari seluruh penghuni grup WA angkatan yang mengunakan hak suaranya dan kawan kedua termasuk dalam dua orang itu.

Saya tidak bisa berhenti memikirkan kenyataan itu. Bukan tentang pesan kawan kedua yang kelewat ironi meskipun lucu. Melainkan kenyataan bahwa tingkat partisipasi mahasiswa dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden BEM dan Anggota Legislatif DEMA tingkat fakultas, sangat minim. Tentu alpanya mahasiswa dalam pesta pora politik kampus ini bukan hanya terjadi di angkatan atau prodi saya saja.

Kalau tidak percaya, coba lihat berita acara perhitungan suara dan pengumuman hasil Pemilwa SV 2022. Dari 6.004 Mahasiswa, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Sekolah Vokasi, jumlah suara masuk hanya 1007 dan jumlah suara tidak masuk sebanyak 4997. Artinya mahasiswa yang memilih menggunakan suaranya sekitar 16,77% (sudah termasuk pemilih kotak kosong dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden BEM SV) sedangkan 83,22% mahasiswa memilih untuk tidak memilih.

Ini saja baru di lingkup kecil, tingkat fakultas loh, dan angka golput lebih mendominasi. Bagaimana dengan pemilihan di tingkat universitas nanti?

Perkara Golput

Tren golput di Pemira UNS dalam tiga tahun mengalami kenaikan. Sekali lagi, jika tidak percaya dan jika sedang gabut silakan buka Instagram @pemilu_uns. Coba scroll down unggahan setahun sebelumnya (2021), kemudian setahun sebelumnya (2020), kemudian setahun sebelumnya juga (2019). Namun, kalian tidak akan pernah menemui perhitungan angka golput secara langsung, alias kalian harus menghitungnya sendiri. Alih-alih melihat unggahan besarnya angka golput, kalian hanya akan menjumpai konten monoton ini: Terima kasih XXXX Mahasiswa UNS yang berpartisipasi dalam Pemira UNS 20XX.

Baiklah jika kalian malas menghitungnya. Sejak 2019, jumlah golput selalu di atas 50%. Rincinya dalam tiga tahun berturut, sebanyak 54,26%, 58,16%, dan 72,13%. Ada peningkatan yang cukup terlihat di tahun 2021, yaitu naik sebesar 13,97%. Bagi saya, hasil ini menjadi salah satu bukti bahwa mahasiswa UNS mulai muak dengan omong kosong demokrasi kotak suara. Saat ini Pemira hanyalah sebuah perkara pilih memilih bukan lagi tentang pendidikan politik untuk mahasiswa UNS.

Terkait golput, saya tidak bisa menyalahkan partisipan karena alasan untuk hal ini bisa dijawab macam-macam. Malah, sebenarnya saya penasaran dengan KPU UNS terkait meningkatnya angka golput di Pemira UNS tiga tahun ini. Sewajarnya pemilik hajat, jika acaranya diabaikan orang, tentu ada yang tidak beres dan seharusnya ada evaluasi mendalam. Pemilik hajat yang memiliki sikap nrimo nrimo saja ketika acara yang ia adakan sepi patut kita pertanyakan. Ada apa?

Saya tidak berburuk sangka. Mungkin saat ini KPU UNS sudah belajar dari tahun-tahun sebelumnya dan sudah ada evaluasi. Mungkin lho yaa. Namun, melihat timeline yang KPU UNS buat dan mereka ingkari sendiri termasuk perpanjangan pendaftaran, panitia pemilihan fakultas, calon legislatif, pasangan calon Presiden-Wakil Presiden BEM UNS, dan Ketua Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa, saya jadi pesimis. KPU UNS ternyata malah mirip PT LIB (Liga Indonesia Baru), operator liga sepak bola Indonesia yang seringkali seenak udelnya merubah jadwal pertandingan. Sebagai orang awam, bolehlah saya mengatakan bahwa Pemira UNS tak ubahnya pertunjukan sirkus belaka.

Kepasifan mahasiswa UNS dalam politik kampus bukan tanpa sebab. Mahasiswa seharusnya menjadi subjek politik yang dinamis, tapi malah menjadi objek komoditas dan angka dalam demokrasi kotak suara ini. Di sinilah muncul sebuah perubahan eksistensi yang membuat mahasiswa terpisah dari ekosistemnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan atau pengaruh dan merasa sendirian dalam masyarakat massa yang tidak memberikan manfaat bagi mereka sebagai makhluk politik. Bisa dikatakan mahasiswa UNS teralienasi dalam demokrasi kampus.

Di sisi lain, ada pihak luar atau bandit atau preman beralmet yang mempengaruhi arah dan kebijakan organisasi untuk keuntungan kelompoknya sendiri, seperti yang dikatakan Bung Rama dan Bung Afif dalam opininya. Sudah barang tentu dengan kondisi seperti ini, kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan akan lebih senang jika banyak mahasiswa pasif dan abai dalam politik kampus karena semakin mahasiswa menjauh dari politik, maka akan semakin mudah kelompok yang mempunyai kepentingan itu berkuasa dan mengatur kekuasaannya.

Perihal golput dan gerakan alternatif. Golputnya mahasiswa UNS dalam Pemira masih jauh jika dikatakan sebagai gerakan alternatif yang mampu merevolusi struktur student government dan hegemoni kelompok tertentu. Sejak 2019 golput memang nyata adanya, tapi belum ada pergerakan yang riil dan jelas arahnya. Golput masih dipandang sebagai angka-angka yang belum mengancam kekuasaan, sebab mayoritas golput terdiri dari massa yang beragam dan tidak terkoordinir.

Dalam sebuah tulisan berjudul Setengah Abad Golput (Tempo, 10 Februari 2019) Ariel Heryanto menyatakan bahwa pendukung golput sebagian kecil bisa diharapkan bertumbuh menjadi sebuah kekuatan politik alternatif. Saya kira, jika kesadaran individu sudah berubah menjadi kesadaran kolektif, maka tidak menutup kemungkinan bisa muncul kelompok alternatif yang akan menghancurkan hegemoni politik kampus yang menjenuhkan. Atau kalau mau yang lebih radikal, ya, referendum: menguji relevansi student government.

Gerakan Alternatif

UNS dengan segala pencitraan rektorat dan jajarannya menuju World Class University tak jarang mengeluarkan kebijakan pincang yang menyengsarakan mahasiswanya. Contohnya seperti kenaikan nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT), pembebasan UKT bagi mahasiswa lama, dan penghapusan SPI 0 rupiah atau jaket almamater yang tidak include dalam pembayaran UKT bagi mahasiswa baru untuk semua jalur. Masalah-masalah tersebut belum terselesaikan secara maksimal. Selain permasalahan tentang biaya pendidikan ada masalah lain yang juga belum menemui titik terang, yakni kasus kematian GE–pihak kampus abai, lupa, dan lepas tanggung jawab dalam pengawalan kasus ini, ada kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, dan ketimpangan fasilitas: keadaan kampus wilayah yang memprihatinkan.

Di sini kita bisa melihat rapor merah BEM UNS yang selama ini mengaku dirinya sebagai oposisi rektorat. Tentu segala upaya memang telah dilakukan, seperti audiensi hingga aksi, tapi mengapa gerakan yang dibangun selalu dianggap sebagai angin lalu oleh pihak rektorat dan tak mampu merubah apa-apa? Padahal, BEM seharusnya punya nilai tawar pada rektorat.

Setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, kelewat bebalnya pihak rektorat beserta jajarannya yang hanya membangun dan mementingkan citra, mengubah kampus yang seharusnya menjadi mimbar akademik mewujud jadi kampus yang otoriter dan alergi terhadap segala aksi protes mahasiswanya. Kedua, BEM UNS tidak berhasil menjadi wakil atau perwakilan dari seluruh mahasiswa UNS, ada banyak kepentingan dan hegemoni dari kelompok tertentu di dalamnya. Dampaknya adalah polarisasi di tubuh gerakan mahasiswa UNS sendiri. Coba mundur beberapa bulan ke belakang, lihatlah aksi BEM UNS di Student Vaganza PKKMB UNS yang malah mendapat caci ketimbang dukungan dari mahasiswa UNS. Hal ini terjadi sebagai tanda teralienasinya BEM UNS dari massanya, yaitu mahasiswa.

Selain berakibat pada naiknya pemilih golput, muaknya mahasiswa terhadap kondisi politik kampus melahirkan individu ataupun kelompok yang tidak terikat dengan sistem politik formal yang bisa disebut Grassroots. Kondisi seperti ini sebenarnya sudah lama ada, tetapi perlawanan dari Grassroots masih belum cukup kuat untuk memberikan makna politis dan berdampak. Sebab masih bersifat individu, terdiri dari massa yang beragam, dan tidak adanya konsep kepemimpinan yang jelas tak jarang suara Grassroots hanya dipandang sebagai sinisme dan nyinyiran belaka.

Dan bukannya saya pesimis terhadap gerakan alternatif. Bagi saya sama saja, jika kelompok berbendera biru, merah, kuning putih, atau warna apa gemar menjilat ludah sendiri dan berebut kursi jabatan, Grassroots masih sering berdebat perihal kesahihan ideologi. Dalam masyarakat massa yang plural, pertentangan ideologis yang terus direproduksi dapat mengarah pada perpecahan atau konflik yang terjadi di tingkat politik. Hal ini dapat memiliki dampak yang signifikan pada mahasiswa dan gerakan alternatif –menjadikan kabur arah dan tujuan kolektif.

Melihat masih banyaknya permasalahan di akar rumput, Grassroots tentu juga tidak bisa disebut sebagai representasi mahasiswa UNS, sama seperti BEM UNS. Isu-isu yang diangkat sebatas pengisi kosongnya agenda gerakan mahasiswa UNS. Isu-isu yang kelewat penting malah terdistorsi karena tidak adanya upaya persatuan (BEM dan Grassroots) dan yang terjadi adalah perdebatan eksistensi pelopor gerakan serta saling fitnah satu sama lain tanpa upaya untuk membuat gerakan yang benar-benar inklusif.

***

Apakah semua permasalahan mahasiswa UNS akan selesai dengan Pemira? Jika berpartisipasi dalam Pemira, apakah mahasiswa UNS berubah menjadi individu yang lebih demokratis? Saya rasa tidak.

Selama kuliah di UNS, saya sudah melewati dua kali Pemira dan esok adalah yang ketiga. Apakah ada perubahan? Ya, yang berubah hanyalah wajah lama diganti dengan wajah baru. Saya punya istilah yang tepat untuk kondisi semacam ini, mengubah sedikit kata-kata Anti-Tank Project dalam posternya, sekali saja, “Wajah lama, wajah baru. Lagu lama tukang tipu”.

Pemira adalah wujud nyata masturbasi politik demi mengejar syahwat kekuasaan. Bukankah begitu, Bung, Sahabat, Kawan, Kanda, Kamerad? Slogan “Gunakan Hak Suaramu Untuk Mengubah Masa Depan Menuju Demokrasi Maju” hanyalah omong kosong para kecu. Student Government akan tetap dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu, bukannya tidak mungkin jika muncul kelompok yang menjadi oligarki rektorat, dan BEM UNS meskipun punya nilai tawar ke rektorat akan tetap mandul dalam gerakan yang berimbas pada mudahnya pihak rektorat menggagalkan tuntutan-tuntutan penting mahasiswa.

Siapa yang rugi? Ya mahasiswa.

Untuk kawanku yang kedua yang muncul di awal tulisan ini. Alangkah baiknya, bila kamu tidak perlu bersusah payah mengajak kawan yang lain untuk menggunakan hak suara dalam pemilihan badut ini. Muspro, kalau kata Bung Afif. Toh, selama Pemira masih begitu-begitu saja, semua individu yang rasional akan memilih menikmatinya sebagai hiburan belaka.

Selayaknya sebuah sirkus, saya juga menikmati pertunjukan ini dengan segala problematika yang terjadi di dalamnya.

Penulis: Dimas Alfi Aji Chandra

Editor: Sabila Soraya Dewi