Foto: Awak LPM Kentingan UNS

Mahasiswa Beraksi, Rakyat Solo Mulai Simpati Pulangkan Jokowi

Demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kekuasaan yang seharusnya tersebar luas kini mulai terpusat di tangan satu keluarga. Putusan Mahkamah Konstitusi yang yang seharusnya dihormati dan bersifat mengikat, dengan mudahnya direvisi oleh DPR RI sesuai keinginan mereka. Kondisi ini membuat masyarakat marah dan mempertanyakan arah demokrasi di negeri ini.

Beberapa waktu belakangan ini, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menolak keras revisi Undang-Undang Pilkada serta menuntut Jokowi pulang ke Solo. Massa melakukan demonstrasi pada Kamis, 22 Agustus 2024 di Balaikota Solo. Mendengar akan ada aksi demonstrasi, LPM Kentingan secara langsung ikut mengawal terjadinya aksi.

Di tengah panasnya Kota Surakarta, membara semangat massa. Mereka berkumpul di Galabo depan Patung Letkol Slamet Riyadi dengan membawa spanduk berisi kecaman dan kekecewaan terhadap Jokowi dan antek-anteknya yang seenaknya merusak konstitusi demi kepentingan golongan dan pribadi.

Saat LPM Kentingan tiba di lokasi, keadaan sangat kondusif dan terlihat aparat kepolisian beserta truk besar yang seakan-akan siap menyemprot massa dengan gas air mata. Terlihat beberapa mahasiswa yang sedang asik mengobrol dengan pihak kepolisian sambil bersenda gurau, entah membahas apa dan beberapa sedang membeli jajanan di pedagang kaki lima yang ada di sekitar lokasi. Setelah menunggu beberapa menit, bulu kuduk seketika berdiri kala melihat rombongan demonstran dari UNS terlihat berjalan kaki dari arah Balaikota.

Seluruh demonstran sudah berkumpul dan berbaris. Mereka pun mulai menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berdoa lalu berjalan menuju Bundaran Gladak dan membentuk lingkaran besar di tengah jalan, memulai orasi menyuarakan keresahan rakyat Indonesia. Beberapa perwakilan aliansi mahasiswa bergantian menaiki motor beroda tiga, sambil meneriakkan “Pulangkan Jokowi!” berulang-ulang kali. Massa menuntut Jokowi segera pulang ke Solo karena telah merusak negara.

“Jokowi yang dulunya dari Solo, yang bermula dari Solo, dan merusak negara kita,” kata Rozin.

Demokrasi yang harusnya berada di tangan rakyat kini dipegang oleh para pejabat. Putusan MK mengenai batas usia kepala daerah yang awalnya minimal 30 tahun diubah oleh DPR RI untuk memuluskan jalan anak presiden. Kita tentu tidak ingin kejadian seperti pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden Indonesia pada 2024 terulang lagi, di mana perubahan aturan batas usia oleh MK memungkinkan hal tersebut terjadi.

“Kawan-kawan, hari ini kita dipertontonkan oleh Koalisi Indonesia Mundur yang dipimpin Jokowi untuk cawe-cawe pemerintahan dan demokrasi kita. Hari ini MK sudah mengembalikan marwahnya, tetapi badan legislatif, yaitu DPR RI, menolak keputusan MK tersebut dan merujuk ke keputusan yang dibawa ke MA – RUU Pilkada,” kata orator demo yang lain. Aksi dilanjutkan dengan melepas almamater massa sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan Indonesia.

“DPR seharusnya menjadi wakil kita semua, tanpa memandang batasan usia, baik itu siswa, mahasiswa, masyarakat umum, maupun aktivis. Namun, hari ini kita merasa kecewa. Bagaimana bisa sebuah RUU disahkan hanya untuk kepentingan aparat, birokrasi, dan keluarga mereka yang sedang menikmati kekuasaan?” lanjutnya.

Selesai melakukan orasi di Bundaran Gladak, massa mulai berbaris, saling merangkul, dan berjalan mundur menuju Balaikota. Aksi jalan mundur sebagai bentuk representasi dari mundurnya demokrasi di Indonesia. Lagi dan lagi, selama perjalanan mereka berteriak dan  bernyanyi, “Pulang! Pulang! Pulang, Jokowi! Pulang Jokowi sekarang juga!”

Dua dunia berbeda terlihat berdampingan di Bundaran Gladak pada siang yang terik saat itu. Jalanan Gladak arah Balaikota sesak dipenuhi riuk lantang tuntutan memulangkan Jokowi. Rombongan mahasiswa yang saling bergandeng tangan meskipun dengan almet yang berbeda-beda menyatu membopong spanduk bertuliskan “Kawal Putusan MK, Pulangkan Jokowi” setinggi-tingginya.

“Wahai kalian yang rindu kemenangan… Wahai kalian yang turun ke jalan, demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta,” seruan nyanyian rombongan mahasiswa.

Nyanyian mahasiswa menggelegar di tanah kelahiran Jokowi yang dikecam mencederai demokrasi Indonesia.

Di sisi lain, di jalanan arah Balaikota menuju Bundaran Gladak, sesak oleh rakyat Solo yang baru saja pulang kerja, sekolah, hingga yang masih mengais upah terjebak dalam kemacetan. Namun, kali ini Kota Solo tak seramah yang biasanya diagung-agungkan. Solo yang terkenal dengan etika berlalu lintas ini justru pecah dengan klakson yang bertubi-tubi.

Klakson pengendara motor, mobil, truk, hingga Batik Solo Trans yang merupakan transportasi umum ini menggema ke segala penjuru. Kekacauan akustik itu membaur dengan suara genderang nyanyian “Buruh Tani” oleh mahasiswa yang sedang beraksi. Fenomena klakson yang jarang terjadi itu rupanya adalah respons spontan dari warga atas seruan mahasiswa yang menggelar demo.

Dalam aksi tersebut, mahasiswa dengan suara lantang mengajak rakyat untuk memberikan dukungan terhadap seruan mereka.

“Bapak Ibu warga Solo, mahasiswa berdemo untuk keadilan. Klakson untuk pulangkan Jokowi!” teriak orator dalam barisan demonstran.

Suasana yang awalnya biasa saja mendadak berubah drastis. Warga Solo yang tadinya tampak acuh kini mulai menunjukkan perhatian. Klakson kendaraan berbunyi bertalu-talu, menandakan simpati yang perlahan tumbuh terhadap aksi para mahasiswa di jalan menuju Balaikota.

Unjuk rasa mahasiswa telah sampai di Balaikota. Orasi yang menggelora di langit Gladak berpindah ke langit Balaikota. Kini, orasi itu muncul dari wajah-wajah lanjut usia. Rupanya, selain mahasiswa, aktivis era 65 hingga aktivis pecahnya Orde Baru tahun 1998 turut terjun menapak tanah Solo.

Sosok pejuang yang kini lanjut usia itu muncul dari kerumunan mahasiswa yang langsung membelah gandengan tangan memberikan jalan.

“Dongakno wae Jokowi ndang glundung, diadili rakyat,” tutur sosok tua itu yang merupakan aktivis era 65.

“Hari ini adalah bangkitnya rakyat melawan Firaun Jawa. Kalau Firaun mengaku sebagai raja, tetapi Jokowi, si Firaun Jawa ini lebih jahat, Saudara-Saudara,” ucap seseorang yang telah bertongkat, tetapi orasinya masih melekat. Riuh tepuk tangan mahasiswa memecah suasana. Selanjutnya, muncul pula seorang dosen yang pernah dipecat oleh kampus nomor satu di Solo, Universitas Sebelas Maret.

“Saya pernah dipecat jadi dosen di UNS karena menolak Jokowi,” tegas Muhammad Taufik.

Muhammad Taufik saat ini menjadi Presiden Asosiasi Hukum Pidana Indonesia. Warga Solo yang berkelindan di bagian studi dan kajian anti korupsi itu telah lama memperjuangkan berbagai laporan indikasi korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi hingga kini masih nihil diproses oleh tim KPK.

“Kita jangan sampai lelah karena yang di Senayan sana adalah drakula pemakan uang rakyat,” serunya.

Suasana di depan Balaikota Surakarta semakin ramai oleh orasi-orasi yang membangunkan tepuk tangan mahasiswa. Taufik semakin mengeraskan teriakannya yang sejak tadi menggenggam toa.

Taufik seolah seperti dosen yang tengah memberikan mata kuliah politik kepada para mahasiswa. Beliau menjelaskan bahwa saat ini rakyat sedang dibodohi. Materi yang beliau bawa kali ini, yaitu Mahkamah Konstitusi adalah peradilan tinggi yang keputusannya final dan mengikat. Tidak bisa ditolak dengan cara apapun.

“Keputusannya berlaku sesuai asas erga omnes. Berlaku kepada siapapun, termasuk pada DPR yang matanya picek,” paparnya.

Sahutan “Hidup rakyat Indonesia!” oleh mahasiswa menjadi roda penggerak konsistensi mereka untuk terus berorasi dalam menyampaikan aspirasi. Wajah-wajah yang tampak lelah, kondisi tubuh yang lusuh, serta suara yang masih menggelora masih mereka seka.

Tangan demonstran kembali bergandengan, merapatkan barisan membentuk lingkaran, membentangkan spanduk-spanduk sindiran pada pemerintah bak petani menjemur gabah.

Wajah anak Jokowi, Kaesang Pangarep, yang saat itu dianggap sebagai tokoh di balik aksi mahasiswa yang mengawal putusan MK agar ia tidak bisa maju di Pilkada 2024, terpampang jelas di tengah demonstrasi. Bersama ayahnya, Joko Widodo, yang digambarkan mengenakan mahkota, serta wajah Gibran dengan senyum khasnya, mereka menjadi sorotan utama spanduk besar. Di sekitarnya, spanduk-spanduk kecil bertuliskan ‘Tukang Kayu Sedang Mempersiapkan Kursi untuk Anaknya,’ ‘Habis Gibran Terbitlah Kaesang,’ ‘Tolak Pilkada Akal-Akalan,’ dan ‘Negara Bukan Milik Keluarga, Lawan Pinokio Solo!!!’ meramaikan setiap sudut lingkaran demonstran.” 

“Di siang yang terik ini, Kawan-Kawan, kita berkumpul di depan Balaikota Surakarta. Hari ini, kita turun ke jalan untuk memperjuangkan keadilan, karena dari Solo inilah semuanya bermula,” seruan sosok mahasiswa yang berdiri di atas gerobak Tossa, dialah Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa UNS, Agung Lucky.

Tepuk tangan yang riuh lagi-lagi menggema, seolah memompa kekuatan yang alot. Seperti sebuah aksi-aksi demo yang pernah tercatat sepanjang sejarah revolusi Indonesia, membakar sesuatu bagi mereka mungkin dapat merepresentasikan kemarahan rakyat, maka di titik tengah lingkaran mereka, ban-ban telah menjadi bensin untuk api yang meniupkan kepulan asap di langit Balaikota Solo.

Orasi yang tiada henti terus dibakar oleh semangat-semangat ingin tegaknya demokrasi kembali. Simpati warga Solo mulai mereka representasikan melalui hal-hal kecil. Dari klakson yang bertalu-talu, es teh yang berkeliaran membawa senyum penjualnya, hingga kaum pekerja yang mengisi peran-peran membagikan amunisi gratis menjadi penggerak aksi yang tiada habis.

“Ya, semoga apapun hasilnya bisa positif ke depannya.”

“Saya jadi saksi dulu obong-obongan di Solo.”

“Ya, sekarang memang sengsara.”

Suara-suara dari kaum marjinal itu menjadi bumbu aksi mahasiswa melawan kekuasaan negara yang banal dan tidak mengenal keadilan.

Rupanya aksi sejak tadi menunggu momentum, para ketua tiap elemen mencoba berunding dengan aparat yang berbaris rapi melindungi Balaikota. Berbeda dengan demo-demo di daerah lain yang mendapatkan tindakan represif dari oknum-oknum kepolisian, di Solo, mahasiswa justru melakukan perundingan dengan kepolisian.

“Jika ingin naik ke Balaikota, tidak bisa,” tegas aparat.

Mahasiswa tetaplah mahasiswa, mereka merepresentasikan ungkapan Tan Malaka bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki anak muda dalam rundingan kali ini. Mahasiswa menolak pulang jika tidak berhasil menduduki Balaikota.

Kekuatan massa kembali berbaris bergandengan tangan, mereka mengokohkan kekuatan untuk menerobos pagar kepolisian.

Situasi tak terduga seperti mobil pemadam kebakaran yang menabrak formasi demonstran seolah tidak ada artinya. Walaupun dalam keadaan aksi, mahasiswa melepas tangan mempersilakan pahlawan yang melindungi ancaman api itu untuk berdedikasi pada negeri. Keadaan memang kacau balau, tetapi bukan karena massa membakar kota, mahasiswa kembali mengikat formasi setelahnya.

Derap langkah demonstran terus melangkah menuju rumput Balaikota. Aparat kepolisian berlarian memindahkan pagar barisan mereka ke ujung gerbang. Ada yang siaga akan menyemprotkan gas air mata, tetapi pada akhirnya polisi-polisi Solo itu kalah juga. Tidak ada kekacauan antara aparat dan mahasiswa. Batas-batas pagar besi sengaja dibuka, mahasiswa tertib menginjak tanah balaikota.

“Maka kami, Aliansi Indonesia Melawan, menyatakan sikap. Satu, menolak dengan tegas dan keras atas revisi undang-undang yang telah disahkan secara mendadak dan telah mencederai konstitusi. Dua, menuntut DPR RI untuk membatalkan RUU cacat yang sudah disepakati. Tiga, mendorong KPU untuk tetap menjaga marwah dan berprinsip sebagai penyelenggara pilkada yang bermartabat, dengan berpegang teguh pada aturan hukum yang sudah ditetapkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXI/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 sebagai landasan hukum dan atas kembalinya marwah konstitusi yang sudah dikhianati. Empat, pulangkan paksa Jokowi ke kota asalnya, Surakarta, karena sudah merusak tatanan negara dengan 18 dosa yang sudah dilakukan atas kerusakan negara hari ini, yaitu:

  1. Dinasti dan oligarki politik
  2. Pelemahan institusi demokrasi
  3. TNI di ranah sipil
  4. Konflik Papua yang tak kunjung padam
  5. Runtuhnya sistem pendidikan
  6. Watak patron-klien kepolisian
  7. Politik kejaksaan
  8. Pelemahan KPK
  9. Kegagalan menangani pelanggaran HAM berat
  10. Carut marut pengelolaan APBN
  11. Runtuhnya independensi Bank Indonesia
  12. Ketergantungan pada utang Cina
  13. Pemaksaan Ibu Kota Nusantara
  14. Kerusakan lingkungan
  15. Konflik agraria
  16. Kriminalisasi atas nama Proyek Strategis Nasional
  17. Kebebasan sipil yang menyempit
  18. Gimmick diplomasi luar negeri (atn/wa)

“Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia! Hidup perempuan yang Melawan!”

Usai sudah kemenangan bagi mereka saat itu. Waktu Magrib menjemput kepulangan rakyat Solo. Kini, seluruh Indonesia telah tahu bahwa Solo, tanah kelahiran Jokowi, telah menuntut pulang Presiden Indonesia yang akan habis jabatannya di 2024 itu. Aksi mahasiswa Solo Raya nyatanya memberikan simpati pada kaum-kaum yang belum mengerti situasi terkini. Kaum-kaum yang masih percaya bahwa Jokowi tidak akan tega, tetapi mahasiswa telah nyata menjadi jembatan melalui aksinya.

 

Penulis: Annas Rohmanda Purbaningrum dan Tiara Nur A’isah

Editor: Aldini Pratiwi