“Jenis-jenis koleksi di buku, mikrofon, kamera video, dan TV yang menonton kami, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang kami miliki hari ini,” ungkap Snowden dalam wawancara di “The Alternative Christmas Message,” yang disiarkan oleh Channel 4 Britania pada tahun 2013.
Snowden adalah Mantan kontraktor intelijen untuk Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang membocorkan ribuan dokumen rahasia AS pada tahun 2013, yang kemudian ceritanya diangkat menjadi film pada tahun 2016 dengan judul “Snowden”. Edward Snowden mengungkapkan dalam wawancaranya dengan media bahwa kebenaran lebih menakutkan daripada fiksi ketika menyangkut Bung Besar. Dalam wawancara tersebut ia membandingkan pengawasan pemerintah secara luas dengan apa yang diceritakan Orwell pada novelnya yang berjudul 1984.
Sebagian orang mungkin tidak pernah membayangkan “ramalan” George Orwell dalam novelnya 1984 akan benar terjadi. Runtuhnya totalitarianisme di Eropa membuat kita menghembuskan napas lega dan kembali menikmati novel tersebut tanpa rasa was-was. Kehidupan di abad 21 yang serba mudah, canggih, dan praktis membuat manusia tidak lagi memikirkan kemungkinan tidak mengenakkan itu, tak ada waktu sementara produk ponsel pintar rilis setiap harinya, meminta perhatian. Secara sosial, budaya, dan politik kita hidup di era kebebasan, sekarang menjadi keharusan bagi negara untuk menjunjung demokrasi dan kebebasan berpendapat setiap warga negaranya. Kritik bukan lagi sebuah ancaman bagi pemerintah, melainkan sebuah bagian dari demokrasi modern yang konstruktif dan diatur dalam konstitusi.
Tapi bagaimana jika ancaman “Bung Besar” itu masih ada dalam bentuk yang lain? Apa yang digambarkan Orwell memang tak terjadi tahun 1984. Namun, ada kemungkinan ancaman tersebut kembali dalam bentuk yang tak terlihat. Bukan lagi dengan teleskrin, Bung Besar mungkin menggunakan alat baru yang lebih canggih dan berkapasitas besar, yang tidak disadari manusia telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Siapapun yang memilikinya dapat mengendalikan pola kehidupan manusia dalam tingkat individu maupun global.
Pada pemerintahan Bung Besar, teleskrin adalah kunci Bung Besar dan partainya untuk melanggengkan kekuasaan. Teleskrin (perangkat yang dioperasikan sebagai televisi, kamera keamanan dan mikrofon, wikipedia) adalah bentuk pengawasan dan ancaman versi Orwell guna mempertahankan kekuasaan, menebar ketakutan, dan mengatur tingkah laku warga Oceania. Teleskrin telah dikembangkan jauh hingga dapat mengidentifikasi psikologi seseorang dari ekspresi mimik wajah, suara, gestur tubuh, bahkan detak jantung. Dengan perangkat tersebut, pemerintah Oceania dapat segera mengindikasi bentuk-bentuk pelanggaran dari warganya. Teleskrin dan poster wajah Bung Besar dengan slogannya, “Big Brother is watching you” menghantui seluruh kota sehingga membuat warga Oceania yang mempunyai pandangan berbeda memilih untuk diam daripada tertangkap mata-mata Bung Besar dan dihukum mati. Gerakan massa untuk menentang pemerintahan tidak pernah muncul, karena ide ataupun perilaku menyimpang yang mengarah pada pemberontakan sudah dimusnahkan, bahkan pada tingkatan individu.
Mahadata (Wikipedia menerjemahkan Big Data ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Mahadata) adalah adalah istilah umum untuk segala himpunan data (data set) dalam jumlah yang sangat besar, rumit, dan tak terstruktur sehingga menjadikannya sukar ditangani apabila hanya menggunakan perkakas manajemen basis data biasa atau aplikasi pemroses data tradisional belaka (Wikipedia). Mahadata ini tumbuh, berkali-kali lipat, seiring kita memesan barang di aplikasi online, ketika melihat video acak di salah satu beranda media sosial kesukaan, menjamur di riwayat penelusuran mesin pencarian, dan setiap jejak yang ditinggalkan jari kita di algoritma jaringan. Siapapun yang mendapat kendali atas mahadata dapat memanfaatkannya pada semua aspek kehidupan, misalnya pada bidang kesehatan, politik, bisnis, pendidikan, pariwisata, kejahatan, agama, dan lainnya.
Bagaimana Mahadata dapat menjadi ancaman? Lihat saja sekarang, media sosial, televisi, dan platform elektronik menyediakan cara yang sangat mudah untuk memantau dalam skala individual maupun global. Ketika kita memesan makanan dari salah satu platform aplikasi digital, kita mungkin telah melupakan rasa makanan itu keesokan harinya. Namun, algoritma akan mengetahui apa yang kita suka, kepribadian kita, tahu bagaimana menghibur kita dengan memberikan diskon atau voucher pada hari-hari tertentu yang hanya diketahui algoritma dari data pemesanan kita. Data semacam itu memungkinkan sebuah platform memilihkan makanan yang kita sukai dengan ketepatan yang luar biasa. Memang sepele, tetapi itu juga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang paling penting dalam hidup kita – seperti berapa berat badan kita, siapa teman makan kita, apa yang harus dilakukan besok, di mana kita harus bekerja, dan masa depan kita. Pengambilan keputusan oleh algoritma dalam skala besar membuat pendapat manusia tidak bisa diandalkan lagi, mereka akan diarahkan oleh mahadata secara tak sadar.
Ketika kita menggunakan fasilitas Google misalnya, sebagai gantinya Google akan mengakses informasi tentang kita, seperti apa yang kita sukai dan benci, kebiasaan kita sehari-hari, keluarga, aktivitas, di mana kita tinggal, dan dengan siapa kita ingin menikah. Apa yang harus disorot adalah faktor anonimitas Google. Di hadapan Google, kita tidak ragu mengungkapkan pikiran terdalam tanpa takut tersebar atau mendapat respon negatif dari manusia lain. Padahal algoritma Google akan merekam setiap jejak kita. Itu bisa mengakibatkan hal-hal yang terasa tabu untuk diungkapkan secara langsung kepada orang-orang akan lebih banyak keluar di mesin pencarian, seperti pembicaraan tentang orientasi seksual, gangguan mental, dan agama.
Penggunaan Mahadata yang semula dikembangkan untuk pengawasan, sekarang lebih banyak dikomersialkan. Meskipun kita berpikir perilaku individu sangat kreatif, subjektif, dan penuh pilihan, data menunjukkan bahwa perilaku kita memiliki pola yang sangat dapat diprediksi dan berulang. Menurut Taha Yasseri, Peneliti Sosial Komputasi dari Universitas Oxford, penggabungan data dengan model matematika yang canggih dan algoritma komputer pada akhirnya dapat membuat pemerintah, perusahaan, dan semua jenis organisasi dapat memprediksi perilaku manusia. Artinya siapapun pemilik mahadata dapat mengendalikan pola tingkah laku masyarakat. Ketika pemerintah atau perusahaan berhasil meretas pola kehidupan masyarakat, kita akan mudah terkena manipulasi, iklan, propaganda, dan berita palsu yang dipandu mahadata dengan tepat.
Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for The 21st Century mengatakan karena algoritma sangat mengenal kita, jika pemerintah otoriter mengendalikannya, mereka dapat memperoleh kontrol mutlak atas warga negaranya. Tidak hanya rezim akan tahu persis bagaimana perasaan kita- itu juga bisa membuat kita merasakan apa pun yang diinginkan oleh rezim. Kita tidak hanya akan hidup dalam “kediktatoran digital”, tetapi mungkin saja kita akan menikmati kenyataan itu jika pemerintah menghendaki. Tidak ada yang menolak atau melawan karena kita sudah tidur nyenyak dengan segala kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan teknologi itu.
Nyatanya, kediktatoran digital itu bukan hanya bentuk pesimisme Yuval Noah Harari saja. Dilansir dari tirto.id, sejak 2014, China mengembangkan sebuah pola pengawasan yang mengawinkan komunis dan kapitalis, yang dikenal dengan Sistem Kredit Sosial. Draf rencana ini sudah diluncurkan pada 14 Juni 2014 dengan tajuk “Planning Outline for the Construction of a Social Credit System.” Melalui sistem ini, pemerintah akan dengan mudah mengetahui aktivitas warganya; misalnya berapa lama Anda di depan laptop atau siapa saja teman Anda hingga bagaimana Anda berinteraksi dengan teman-teman Anda. Rancangan sistem ini diharapkan dapat membangun budaya ketulusan dan ‘masyarakat sosialis’ yang harmonis. Melalui sistem ini, semua aktivitas hingga interaksi warga China akan dinilai dan mendapat poin kredit yang kelak digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari maupun penggunaan fasilitas umum, seperti rumah sakit, sekolah, dan transportasi umum.
Soal pengawasan, meski rencana Sistem Kredit Sosial di China banyak menuai kritik, perilaku negara mengintai warganya sendiri sudah jadi rahasia umum di seluruh dunia. Di Indonesia, kita belum tahu siapa yang mempunyai kendali atas mahadata, apakah pemerintah atau perusahaan. “Siapa yang mengawasi para pengawas?”, pertanyaan itu mungkin keluar dari beberapa orang yang mulai mencemaskan privasi mereka. Apakah mereka akan melindungi data-data pribadi kita atau sebaliknya? Belum ada jawaban. Namun yang pasti, mulailah berhati-hati, terutama dengan benda mati yang ada di genggaman kita saat ini. []
Bukan penulis sungguhan.