Sepak terjang dunia perfilman Indonesia di kancah internasional memang bukan hal baru dan tidak diragukan lagi. Namun, media mainstream dalam negeri sepertinya kurang menyoroti hal ini sebelumnya. Kabar kualitas film indie Indonesia naik daun setelah tanyangnya film seperti “Penyalin Cahaya” dan “Yuni”. Keduanya sama-sama unjuk gigi pada ajang festival film internasional yang berbeda, yaitu Busan International Film Festival dan Toronto International Film Festival pada akhir 2021 lalu. Film ini kemudian tayang di layar lebar Indonesia pada awal tahun 2022.
Berkembangnya platform streaming online yang menayangkan film lokal membuat antusiasme masyarakat Indonesia pun meningkat. Tidak hanya film berdurasi panjang, film berjenis web series pun saat ini digandrungi masyarakat umum. Jika dibandingkan dengan dulu, saat ini film-film dalam negeri sudah memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari era sebelumnya. Tak jarang, hal ini menuntut rumah produksi lokal bekerja sama dengan negara lain. Contohnya film “Sunyi” pada tahun 2019 yang bekerja sama dengan salah satu rumah produksi besar Korea dengan memberikan sentuhan berbeda pada sinematografinya.
Beberapa tahun lalu film Indonesia seperti ketagihan untuk memproduksi film-film horror dan drama romantis yang keduanya sangat monoton. Premis yang disuguhkan terlalu diulang-ulang. Sering kita jumpai mulai dari kisah rahasia keluarga yang ternyata memiliki rahasia pesugihan hingga cinta yang menyelipkan unsur religi di dalamnya dengan latar tempat luar negeri. Sungguh, film Indonesia sebenarnya bisa lebih daripada itu. Beberapa kali saya jumpai film dengan tema romantis, tetapi karena dapat dieksekusi dengan baik terciptalah film yang berbeda dan memberi angin segar.
“Love for Sale” merupakan film drama romantis 2018 yang memiliki premis seperti film “500 Days of Summer” menceritakan tentang si tokoh utama wanita yang ditampilkan sebagai main villain. Kesuksesan film “Love for Sale” dilanjutkan dengan sekuelnya, melanjutkan cerita tentang “kejahatan” pemeran utama wanitanya. Film kedua pun menurut saya sudah sukses menjadi penutup untuk cerita dengan menyisakan beberapa misteri yang belum terungkap untuk diinterpretasikan masing-masing. Namun, nyatanya tidak cukup sampai disitu, mereka terus memproduksi film hingga menjadi trilogi. Berbeda dengan kedua film sebelumnya, niat sang produser film ini bergaya distopia, tetapi karena eksekusi yang setengah-setengah menjadikan film ini layaknya sinetron kejar tayang dengan kesan mentah dan sia-sia.
Banyak aspek yang perlu dibenahi pada rumah produksi film lokal, misalnya riset tentang film yang belum matang. Tidak hanya itu, masalah-masalah ini salah satunya lahir dari penonton itu sendiri. Meskipun sudah banyak situs-situs legal untuk mengakses film, tetapi tak sedikit dari masyarakat yang masih memilih situs ilegal. Padahal, dengan kita memberi dukungan sekecil dengan menontonnya secara legal, kita dapat memberikan dukungan pada film-film lokal sehingga kedepan film berkualitas dalam negeri akan lebih banyak diproduksi.
Penulis: Anindita Cantaka
Editor: Rizky Fadilah