Setelah menjalani berbagai rutinitas sehari-hari, liburan merupakan hal yang praktis dilakukan oleh seseorang untuk melepas penat. Liburan menempati jadwal tersendiri dalam agenda kita. Bahkan liburan masuk di dalam jadwal sekolah, jadwal kuliah, maupun jadwal kerja. Alhasil liburan menjadi kebiasaan dan bagian gaya hidup masyarakat modern.
Liburan termasuk ke dalam golongan kebutuhan tersier atau kebutuhan tambahan, sehingga sulit untuk mendefinisikannya. Liburan dalam konteks ini berarti keluar dari rutinitas sehari-hari atau mungkin pergi bersenang-senang menghibur diri. Walaupun terkadang ada beberapa orang yang berlibur dengan cara lain, misalnya pengajian atau berziarah ke makam.
Kegiatan berlibur bukan hanya sekadar kebiasaan, namun dapat merepresentasikan status sosial seseorang dalam masyarakat. Ini berlaku jika kita mempunyai persamaan pengertian mengenai status sosial. Status sosial bukan berkisar masalah finansial, melainkan di luar itu. Secara samar orang membedakan pengertian antara kelas sosial dan status sosial. Kelas sosial mengacu pada pendapatan atau daya beli, sedangkan status sosial lebih mengarah pada kebutuhan atau prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Misalnya saja, liburan seorang buruh pabrik di Eropa yang bekerja selama 12 jam dalam sehari adalah bermalas-malasan di rumah. Gaya liburan tersebut menunjukkan status sosial buruh pabrik yang pada waktu itu (sekitar abad 18) adalah kaum proletariat yang sedang ditindas oleh kaum filantropis dan moralis.
Status sosial diperoleh dari masyarakat karena yang menilai dan menanggapi adalah masyarakat. Walaupun masyarakat yang menilai individu tersebut berasal dari golongan atau kelas yang berbeda, hal itu tetap akan menghasilkan penilaian yang seragam atau paling tidak satu range terhadap status sosial individu tersebut. Hal itu dikarenakan penilaian terhadap status sosial tidak didasarkan pada masalah finansial tetapi banyak variabel yang digunakan untuk menilai status seseorang.
Namun ada beberapa golongan yang justru kelas sosial merekalah yang merepresentasikan liburannya. Hal ini berlaku bagi mereka yang memiliki kelas sosial tinggi. Misalnya para elite biasanya harus berlibur ke luar negeri dan menghabiskan biaya yang tak sedikit pula.
Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, baru-baru ini melakukan liburannya ke Hawai. Liburan Obama dan keluarganya selama dua pekan itu diperkirakan menghabiskan dana 1,5 juta dollar AS dan dana tambahan 134.400 dollar AS. Dana tersebut meliputi biaya penginapan, transportasi, ambulans, polisi, serta biaya untuk Secret Service presiden. Pemberitaan mengenai liburan orang nomor satu di AS itupun cepat meluas di berbagai kalangan. Liburan presiden seolah berubah menjadi misi pernyataan kekuasaan dan kelas sosial di mata publik.
Selain menunjukkan status sosial, liburan juga mengusung misi tertentu. Secara sadar atau tidak sadar liburan kita tidak murni bermaksud untuk sekadar berlibur. Misi itu pasti ada di setiap liburan yang dijalani setiap individu. Entah itu misi politik, seni, konsumsi, modernisasi, spiritualitas, ataupun kultural.
Gayus Tambunan “meluangkan” waktu tahanannya untuk berlibur ke Bali beberapa waktu lalu dan yang terakhir ia sempat berfoto saat liburan ke Thailand dan Macau. Suatu hal yang ganjil jika seorang tahanan kelas satu seperti Gayus berani berlibur bahkan sampai ke luar negeri. Liburan Gayus itu diduga untuk menemui seseorang yang berkaitan dengan kasus mafia pajak yang sedang dihadapinya. Lagi-lagi liburan menjelma menjadi sebuah misi yakni misi politik.
Dalam beberapa kasus memang terdapat pembelokan orientasi liburan. Misi dari liburan tersebut tidak tercapai dan akhirnya orientasi liburan menyimpang dari yang seharusnya. Hal itu akan berpengaruh pada penilaian masyarakat terhadap status sosial. Dalam setiap stratifikasi kelas sosial, terdapat status sosial yang berbeda-beda. Liburan beserta misinya tidak dipengaruhi oleh status sosial itu. Tapi sebaliknya, liburanlah yang mempengaruhi atau menunjukkan status sosial seseorang.
Akhirnya dapat kita simpulkan, apapun kelas sosial seseorang, liburan akan dapat merepresentasikan status sosial selagi kita mempunyai kesamaan pengertian mengenai status sosial itu sendiri.
(Disampaikan dalam diskusi internal LPM Kentingan UNS, edisi Jumat, 4 Februari 2011)
Sumber :
- Lafergue, Paul. 1883. Hak Untuk Malas. (dari www.umwaelzung.de/hakmalas.html)
- Bandung Mawardi dalam “Narasi (Ideologis) Liburan”, Koran Tempo edisi 9 Januari 2011