Oleh : Rizki Firdaus
“Kebanyakan pelari berlari bukan karena mereka ingin hidup lebih lama, melainkan ingin hidup sepenuh-penuhnya.” -Haruki Murakami
DI SEBUAH warung makan kecil yang berada tak jauh dari anak sungai Bengawan Solo, seorang perempuan berumur 20-an tahun antusias menceritakan kisahnya. Suara genset di dekat warung yang terus-terusan mendengung nyatanya tak cukup mempan mendistraksi obrolan saya dan Ni Made Arianti Putri, mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNS ini.
“Pak, kita kan keluarga seniman, kenapa aku tidak berbakat, sih?” keluh seorang gadis kepada Ayahnya. Sebagai darah daging salah seorang seniman topeng dan tari asal Gianyar, Bali, tak serta-merta membuat gadis ini berjodoh dengan dunia seni.
Bagaimanapun, masalah “minat dan bakat” ini tidak dapat diacuhkan begitu saja oleh gadis kecil asal pulau dewata ini.
Perihal pencarian apa bakat dan minatnya ini bisa dibilang sebagai kegiatannya yang fundamental. Sehingga banyak upaya yang Ia tempuh dalam proses pencarian minat dan bakatnya itu. Arianti sempat mencoba menggeluti musik maupun sastra tetapi Ia merasa tidak dapat berkembang. Bila dibandingkan dengan semua murid di kelas, ia menyadari bahwa Ia tak pandai bernyanyi, bahkan cenderung fals plus kurang minat pula.
Perempuan bernama lengkap Ni Made Arianti Putri mempunyai ketertarikan yang tidak umum seperti masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Di Desa Sukawati, Gianyar, Bali, penduduknya mayoritas berprofesi sebagai seniman atau petani.
Kala menginjak remaja, ada hal yang sedikit mengganggu pikirannya. “Dahulu, bajuku sering dicoret-coret sama temanku di sekolah, dibilang buta, dan masih banyak tindakan bullying yang lainnya” kata Arianti dengan volume suara yang agak mengecil.
Sebagai seorang penyandang disabilitas yaitu low vision, Arianti tidak menemukan minat dan bakatnya dalam perencanaan yang berasal dari dalam pikiran. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya berada dalam dimensi yang Ia tinggali sekarang. Minatnya justru muncul dari citra yang tampak dalam penglihatannya yang sangat terbatas.
Sejak kecil, Arianti lebih suka melakukan kegiatan yang memacu adrenalinnya. “Sewaktu dulu aku suka berenang sampai berkali-kali tenggelam, kalau belum ada suara blup..blup..blup bakal dibiarkan saja sama si bapak” ujar Arianti sambil tertawa mengingat kejadian tersebut, “Aku juga suka bersepeda dan tiap tahun ganti sepeda, gara-gara sering jatuh!” tambah Arianti.
“Suatu hari, aku melihat kakak-kakak (saudara kandung) dari teman-temanku di sekolah, itu yang mengawali semuanya” ujar Arianti semangat. Kala itu. Kakak-kakak dari teman-temannya itu adalah atlet. Kala itu Ia melihat bahwa sangat sedikit atlet puteri, kemudian Arianti terdorong untuk melakukan terobosan pada dirinya sendiri.
Arianti kemudian menjatuhkan pilihan minatnya sebagai seorang atlet lari. Sebuah kegiatan yang aneh bagi keluarganya, juga bagi orang-orang di desa asalanya, Gianyar, Bali, yang umumnya merupakan seniman dan petani. ”Mereka (kakak teman) itu sebenarnya enggak ada memberi dorongan, dari aku sendiri saja yang merasa sepertinya ini inovasi atau sesuatu yang baru, gitu” ujar Arianti “terus juga karena aku enggak punya bakat selain itu (lari)” lanjutnya sambil tertawa.
Olahraga lari ini terbilang praktis tidak memerlukan syarat khusus untuk melakukannya. Haruki Murakami, novelis sekaligus pelari maraton kawakan asal negeri sakura, menjelaskan keuntungan sebagai pelari dalam bukunya What I Talk About When I Talk About Running(2007). “Berlari memiliki beberapa keuntungan yang besar. Pertama, tidak memerlukan teman atau lawan. Tidak memerlukan alat atau perlengkapan khusus. Juga tidak harus pergi ke tempat yang khusus untuk melakukannya. Asal ada sepatu lari, jalur yang akan di tempuh dan memang ada keinginan, kita bisa berlari kapan saja.”
Perempuan berumur 22 tahun ini mengaku bahwa dirinya adalah tipikal seorang perempuan yang manja tetapi sangat beruntung karena pada perjalanannya banyak mendapat dukungan secara fisik maupun mental untuk menekuni dunia atletik cabang olahraga (cabor) lari.
“Yang pertama pasti rasanya capai. Berlari itu caraku mengekspresikan diri. Karena saat berlari rasanya los begitu aja, bebas, enggak ada beban” kata Arianti ketika ditanya tentang bagaimana isi benaknya saat sedang berlari.
Meskipun saat berlari Arianti merasa dirinya bebas dan tanpa beban. Tak dapat dipungkiri bila Ia baru merasakan hal tersebut setelah melalui proses yang panjang. Bergulat dengan rasa sakit sudah menjadi rutinitas yang tak terelakkan. “Arianti itu pekerja keras. Pagi berlatih lari di tempat latihannya setelah usai kemudian lanjut mengikuti perkuliahan” menurut Wisnu, teman sekelas Arianti di jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNS.
Lari mempunyai peranan penting dalam hidup Arianti. Perempuan yang gemar mengoleksi sepatu olahraga ini sangat bersyukur berkat lari Ia dapat menggapai mimpi-mimpinya. Dari yang paling sederhana yaitu untuk dapat berlari di Gelora Bung Karno, kemudian bermimpi untuk mengikuti kejuaraan Asian Games tetapi bagi penyandang disabilitas (Asian Para Games), sampai yang narsis seperti tampil di stasiun televisi. Semuanya tercapai. Bahkan di Asian Para Games, Arianti berhasil menyabet medali perak di nomor lari 100 meter dan 400 meter puteri.
Pada perhelatan Asian Para Games tahun 2018 ini, selain meraih medali perak pada dua nomor lari sekaligus, Arianti juga menerima kucuran dana hadiah dari Pemerintah RI sejumlah satu miliar rupiah plus janji otomatis diterima CPNS di Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Belum lagi soal tambahan hadiah yang Ia terima dari Pemerintah Bali. Dari UNS, Arianti dijanjikan oleh Ravik Karsidi (rektor UNS) akan dibebaskan dari biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) atas prestasinya telah menjuarai Asian Para Games.
Lari telah menjadi bagian dari hidup Ni Made Arianti dan memiliki rencana terkait lari. “Aku suatu saat ingin ikut olimpiade (Paralympic) di Tokyo.” kata Arianti setelah ditanya mengenai target selanjutnya. “Tergantung dari pusat (Kemenpora) nanti dipanggil atau enggak” Ia menambahkan.