Fotografer: M. Irfan Julyusman/LPM Kentingan

Lapak Virtual

Beberapa dari kita mungkin pernah menjumpai teman-teman kita yang tiba-tiba “kok jualan” atau tiba-tiba menawarkan produk. Baik via story WA dan Ig, maupun via japri. Asal sopan, tidak memaksa, cocok, dan kita punya uangnya, kurasa setiap dari kita juga ingin membantu melarisi dagangan mereka. Sebab, pada dasarnya berjualan itu hanya teorinya saja yang mudah, kenyataannya tidak. Pada kenyataannya berjualan memerlukan ketrampilan dan keuletan dari penjual untuk menawarkan produk, karena pembeli tidak datang begitu saja. Oleh sebab itu, memutuskan untuk berjualan bukanlah perkara yang mudah.

Padahal mengumpulkan niat saja kadang kelabakan. Mengunggah satu gambar saja kadang mikirnya berjam-jam. “Laku ngga ya?” “menarik ngga ya?” kemalahan ngga ya? dan ya ya ya lainnya. Walau ketika sudah lebih berani, kadang juga jadi tidak terkendali. Terkadang story WA sudah seperti tusukan benang jahit, dan jika belajar ilmu digital marketing, katanya itu bukanlah termasuk satu dari sekian jurus jitu. Sudah tidak mengamalkan jurus jitu, unggah poster jaualan juga tidak tau waktu. Pernah kumenemui salah seorang teman posting konten jualan di jam 1 malam. Mungkin itu primetime bagi teman-teman atau entah bagaimana maksudnya. Tapi yang pasti itu tetap saja seperti tidak tau waktu. Meskipun demikian harus diakui bahwa orang-orang yang mau berwirausaha adalah mereka yang punya ketahanan mental luar biasa.

Beranjak pada lingkup yang lebih luas, uji ketahanan mental juga sedang dilakoni para pelaku UMKM dalam negeri. Kalau pedagang pemula seperti para mahasiswa, uji mentalnya adalah awal mula memutuskan berbisnis. UMKM kebanyakan hari ini harus memutar otak bertahan dikala pandemi. Tak sedikit dari UMKM yang sudah gulung tikar menghadapi pandemi, terutama UMKM non bahan pangan. Meskipun sekilas nampak biasa, peran UMKM lah yang turut mengembangkan ekonomi dalam negeri. Dari data Kementrian Koperasi dan UMKM tahun 2018 disebutkan bahwa jumlah UMKM di Indonesia mencapai angka kurang lebih 64 juta unit usaha atau setara dengan 99,9 % dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut UMKM mampu menyumbang sekitar 60% dari PDB Nasional.

Namun, dalam masa pandemi ini, kurang lebih 30% UMKM terganggu dan banyak yang akhirnya harus mengikhlaskan untuk berhenti beroperasi. Hanya yang mau berinovasi dan mengupayakan digitalisasi, yang mampu bertahan menghadapi perubahan. Penjualan melalui media sosial dan semua marketplace yang ada tentu menjadi sebuah solusi.  Ibarat pepatah ‘siapa tak beradaptasi dia akan terganti’. Seperti kita ketahui bersama, digitalisasi menjadi solusi mutakhir bagi semua lini dalam menghadapi pembatasan kegiatan di luar rumah demi terjaganya produktivitas hari ini. Perubahan pola konsumsi masyarakat juga faktor lain sebuah UMKM mengubah haluan dalam memasarkan produknya. Yang menjadi tanda tanya adalah apakah semua UMKM mampu mendigitalisasi usahanya?

Jawabanya tentu tidak semudah itu, ada banyak jenis UMKM disini. Dan tidak semua UMKM dimilki oleh orang-orang yang melek teknologi. Sampai saat ini UMKM yang terdigitaslisasi hanya berkisar 13% dari seluruh UMKM yang ada. Perhatikan juga di sekitar tempat tinggal kalian masing-masing. Teknologi atau spsifiknya handphone masih sebatas digunakan untuk media hiburan. UMKM juga rata-rata masih dikelola oleh para orang tua, kalaupun mereka memiliki anak, anak cenderung lebih tertarik menjadi pekerja kantor atau instansi tertentu dengan gaji dan tunjangan yang pasti. Bahkan dalam sebuah diskusi ekonomi yang disampaikan dosen FEB UNS, Lukman Hakim bersama perwakilan Kementrian Koperasi dan UMKM, paradigma mengenai UMKM yang berkembang di masyarakat merupakan paradigma yang masih salah. Paradigma dimana UMKM masih dianggap sebagai sebuah solusi terkahir ketika tak mendapatkan pekerjaan maupun mengalami PHK dalam masa kerja. Alhasil UMKM tidak dikelola by design. Boro-boro inovasi dan digitalisasi, asal ada pendapatan yang bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah syukur alhamdulillah. Sudah begitu UMKM asli produk dalam negeri masih harus bersaing dengan produk-produk impor.

Program-program pemerintah dalam hal stimulus dan edukasi pemasaran digital takkan berjalan dengan baik tanpa desain yang mencukupi bagi pelaku usaha. Dimana era digital banyak digeluti para milenial yang lebih cepat tanggap dan mau belajar. Hal awal yang harus disadari bersama adalah pola konsumsi. Kesadaran diri masing-masing pribadi yang harusnya mulai membeli produk-produk lokal dari UMKM maupun pelaku usaha di sekitar tempat tinggal. Kalau mau lebih heroik lagi, bantu UMKM disekitar untuk bertransformasi ke arah digital.

Menyadari betul peran kita sebagai konsumen, maka sudah seharusnya kita mempertimbangkan produk-produk mana yang akan kita beli. Produk lokal atau produk-produk internasional. Tak harus seluruhnya, tapi pastikan kita ikut andil dalam pengembangan ekonomi dalam negeri dengan aksi nyata. Bukan hanya selama masa pandemi, tapi juga seterusnya. Karena produk lokal juga tak kalah berkualitas dengan produk-produk impor. Jangan rusuh bilang Indonesia payah dan sebagainya, kalau kita saja masih enggan melakukan sebuah tindakan. []

Amelia Kurniastuti
Surel: amelia.kurniastuti1@gmail.com