Rasanya akhir-akhir ini suasana kampus jadi lebih dingin dari sebelumnya. Bukan hanya karena beberapa kali hujan deras mengguyur kampus, tetapi juga karena kegaduhan-kegaduhan yang terjadi di jajaran petinggi kampus sudah mulai mereda. Kabar terbaru MWA UNS menyatakan tunduk dan patuh pada Permendikbudristek No 24 tahun 2023. Dalam rilisnya keputusan ini diambil setelah MWA UNS mendapat arahan dan berdiskusi dengan Dirjen Dikti sehingga rencana awal MWA UNS untuk melantik rektor baru terpilih akhirnya batal. Sedangkan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nomor: 23167/M/06/2023 jabatan Rektor UNS saat ini masih akan dipegang oleh rektor lama dengan mekanisme perpanjangan masa jabatan. Ternyata tidak hanya jabatan politik yang bisa diperpanjang di republik ini.
Saya sendiri sebenarnya agak terkejut mendengar kabar terbaru ini. Bisa kalian bayangkan sendiri bagaimana kondisi dan suasana yang terjadi setelah keluarnya Permendikbudristek tersebut. Panas, saling tuding, dan seakan tidak ada yang mau mengalah. Eskalasi yang dibangun juga cenderung meningkat tiap harinya. Dimulai ketika Permendikbudristek ini keluar tertanggal 31 maret 2023. Kurang dari dua pekan sebelum rencana MWA UNS melantik rektor baru terpilih. Kemudian dilanjut dengan balasan dari MWA UNS lewat press release dengan tajuk “Perampokan Kedaulatan, Peraturan Batal Demi Hukum”. Inti dari press release tersebut adalah MWA UNS menolak adanya Permendikbudristek tersebut. Sehingga MWA UNS menolak beku dan akan tetap menyelenggarakan pelantikan rektor baru terpilih pada tanggal 11 April 2023. Seolah tidak menggubris press release MWA UNS, Kemendikbudristek justru mengeluarkan SK Mendikbudristek tentang perpanjangan masa jabatan rektor lama.
Di sisi lain ada pula isu yang berkembang bahwa Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Ketua MWA UNS. Bahkan mundurnya mantan Panglima TNI ini terjadi tepat sebelum Permendikbudristek tersebut keluar. Selain itu, kabarnya ada pula 4 anggota MWA UNS yang juga ikut mengundurkan diri. Kemudian Senat Akademik UNS (SA) dalam menanggapi kegaduhan-kegaduhan ini juga mengeluarkan surat rekomendasi berisi kepatuhan terhadap Permendikbudristek dan melarang anggotanya untuk terlibat pelantikan rektor yang ilegal. Jadi memang suasana yang tercipta begitu panas dan tidak kondusif.
Walaupun begitu saya juga menyatakan rasa respect kepada MWA UNS atas keputusannya untuk tunduk dan patuh terhadap Permendikbudristek. Terlepas dari apapun alasan dan dinamika diskusi dengan Dirjen Dikti, ini tetap merupakan sikap yang luar biasa. Sebab di tengah suasana kritis seperti ini dan potensi ketegangan yang bisa jadi tidak akan pernah berhenti, MWA UNS memilih “mengalah” demi kebaikan kampus. Padahal pada saat itu opini publik sedang condong pada MWA UNS. Beberapa pakar hukum dan pakar pendidikan memberikan kritik terhadap adanya Permendikbudristek No 24 tahun 2023. BEM UNS yang quote and quote perwakilan suara mahasiswa juga menyatakan menolak Permendikbudristek tersebut. Bahkan tidak hanya menolak, tetapi juga melawan lewat sebuah konten meme video TikTok yang ramai belakangan ini. Walaupun isi kolom komentarnya ada yang pro dan banyak yang kontra, tetapi keberanian tersebut juga perlu diapresiasi. Asal kedepan terus konsisten dengan itu, bukan karena FOMO akibat tren.
Titik Hitam Praktik PTN-BH
Kampus ini sudah bertransformasi dari PTN BLU menjadi PTN-BH sejak tahun 2020. Transformasi tersebut tertuang dalam PP No 56 tahun 2020, yang pada saat itu dianggap sebagai hadiah di tengah kondisi pandemik covid-19 yang merebak di seluruh wilayah. Namun, apa yang dianggap sebagai hadiah itu tidak sepenuhnya mendatangkan “kebahagiaan”. Selepas berganti status baru, beberapa permasalahan muncul di kampus ini. Misal, hilangnya opsi nol rupiah pada dana SPI bagi mahasiswa baru, tidak adanya transparansi terkait sistem penentuan besar UKT, masih minimnya sarana dan prasarana pendidikan di tengah pembangunan UNS Tower yang megah. Berbagai permasalahan itu pada akhirnya bermuara pada ketakutan awal beberapa orang ketika status baru ini disandang kampus. Yap, komersialisasi pendidikan. Komersialisasi Pendidikan hanya satu dari mungkin banyaknya titik hitam PTN-BH.
Kegaduhan-kegaduhan yang terjadi belakangan ini juga bisa jadi titik hitam baru. Jika mau ditarik mundur kebelakang, bau kegaduhan ini mulai tercium ketika salah satu calon rektor tidak lolos syarat administrasi. Hal ini juga (salah satu faktor) yang kemudian membuat dua dekan disomasi oleh MWA UNS. Kemudian setelah terkerucut menjadi 3 calon, terpilihlah Prof. Sajidan sebagai rektor baru terpilih periode 2023-2027. Pasca pemilihan selesai digelar dan menuju tanggal pelantikan, sempat beberapa kali muncul isu bahwa rektor baru terpilih melakukan kecurangan dengan mengumpulkan para pemilik suara semalam sebelum Rapat Pleno MWA UNS digelar. Walaupun isu itu muncul lewat buzzer-buzzer yang biasa lewat di media sosial dan sampai saat ini belum jelas apakah memang kecurangan itu benar-benar terjadi.
Harus diakui nuansa politis memang terasa jauh lebih kuat dibandingkan yang lain selama kegaduhan ini berlangsung. Bagaimana tidak, sampai saat ini masih banyak hal yang jadi tanda tanya dan butuh kejelasan lebih lanjut. Terkait Permendikbudristek itu sendiri misalnya. Atas dasar apa Permendikbudristek itu keluar? jika memang benar peraturan MWA UNS itu menyalahi perundang-undangan, perundang-undangan mana yang dimaksud? Apa Permendikbudristek ini murni keluar sebagai hasil audit Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek selama 17 hari di UNS? Apa hasil audit tersebut tidak bisa disebarluaskan ke masyarakat, utamanya warga kampus? Kenapa sampai sekarang Menteri Kemendikbudristek, Nadiem Makarim belum berkomentar terkait kegaduhan ini? Padahal beliau sendiri yang tanda tangan Permendikbudristek tersebut.
Jabatan rektor di PTN-BH boleh dikatakan jauh lebih seksi jika dibandingkan sebelum jadi PTN-BH. Bukan hanya punya wewenang sebagai pimpinan kampus tetapi rektor juga termasuk dalam anggota MWA UNS. Mungkin jika diibaratkan seperti Presiden yang juga anggota MPR. Keseksian inilah yang juga menambah nuansa politis. Coba sama-sama bayangkan, kita dihadapkan pada kegaduhan terkait pemilihan rektor dimana rektor baru terpilih dipaksa untuk gagal dilantik oleh Kemendikbudristek lewat sebuah “Surat Sakti” yang sampai saat ini masih belum ada kejelasan lebih lanjut. Sungguh sulit bagi kami untuk berpikir tidak ada apa-apa dibalik ini semua.
Kalau dipikir-pikir nuansa politis ini quote and quote menjadi suatu hal yang tak terhindarkan di lingkup kampus PTN-BH. Sebab jika menengok aturan pemilihan rektor, Mendikbudristek yang juga termasuk anggota MWA, memiliki suara sebesar 35% dari jumlah hak suara pemilih. Angka itu sudah mengambil lebih dari 1/3 bagian dari seluruh suara. Maka boleh dikatakan lewat aturan tersebut Kemendikbudristek masih ingin mengontrol siapa yang akan jadi rektor. Tentu harapannya rektor terpilih nanti adalah yang “direstui” oleh Kemendikbudristek. Sekarang pertanyaannya, apakah rektor baru terpilih adalah calon rektor yang “direstui” oleh Kemendikbudristek. Silakan kalian simpulkan sendiri.
Mari Kurangi “Politisasi”
Saya meyakini kita tidak bisa lepas dari apa yang namanya politik. Setiap tindakan kita pasti ada unsur politisnya. Sepak bola saja juga ada politiknya. Pun dalam konteks pengelolaan kampus, sebagai sebuah institusi pendidikan tertinggi. Namun, idealnya bukan kemudian unsur politiknya yang jauh lebih kuat dibandingkan unsur terkait. Sepak bola idealnya lebih ke olahraga dari pada politik, kampus lebih ke pendidikan atau intelektualitas dari pada politiknya. Hanya saja dewasa ini yang terjadi malah sebaliknya.
Maka izinkan saya yang hanya seorang mahasiswa biasanya ini memberi saran. Angka 35% bagi perwakilan pemerintah itu terlampau besar. Kontrol sebesar itu rasaya tidak relevan dengan arti PTN-BH itu sendiri. Dimana kampus diberikan otonomi khusus untuk mengelola urusan rumah tangganya. Jangan sampai arti otonomi ini hanya pada otonomi keuangan saja. Kan kasian juga kampus PTN-BH tersebut, apalagi untuk kampus yang masih sulit mengelola keuangan mereka. Nanti ujung-ujungnya ke dompet mahasiswa dan komersialisasi pendidikan.
Di lain sisi jika angka sebesar itu diberikan pada perwakilan pemerintah, maka calon rektor mungkin akan lebih fokus untuk melobi ke atas dari pada mencari dan membentuk citra ke akar rumput sehingga dari sini saja sudah sangat politis sekali. Apalagi akar rumput yang berupa sivitas akademika kampus jika dijumlahkan hanya punya beberapa suara di MWA. Misal, dari unsur mahasiswa hanya punya satu suara saja. Maka dari itu lebih baik angka sebesar itu dihilangkan atau diserahkan kepada anggota MWA yang tergolong akar rumput. Dengan begitu iklim yang dibangun akan lebih condong pada intelektualitas. Sebab pemikiran-pemikiran akar rumput pastinya belum jauh pada hal-hal yang sifatnya politis. Mereka masih organik dan saya yakin akan tetap organik.
Penulis: Taqiuddin
Editor: Diah Puspaningrum