Ilustrasi: Faiz Aulia Rahman/ LPM Kentingan

Kutukan Setelah Lebaran

Hari Raya Lebaran selalu identik dengan berbagai hal yang menyenangkan. Tradisi ini begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Silaturahmi dan berbagai penganan khas lebaran menjadi sebuah pemandangan wajib yang kita temui setiap momen Hari Raya Idulfitri. Ini kemudian menjadi kebiasaan yang dilakukan turun-temurun. Kita semua sudah maaf-memaafkan dengan keluarga, kerabat, sahabat, dan handai tolan. “Mohon maaf lahir dan batin” mungkin itu ucapan yang kita lontarkan saat menjalankan tradisi meminta maaf. Di hari yang fitri itu kita bagaikan bayi yang baru lahir tanpa dosa.

Namun, sekarang lebaran telah usai, kita sudah kembali ke dunia nyata lagi, sekolah, kuliah, setiap hari, bekerja sampai lelah dari Senin sampai Jumat lalu rehat ketika sudah menginjak akhir pekan. Itulah dunia asli yang realistis, penuh kebosanan, dan rutinitas yang menjemukan. Juga pastinya sangat melelahkan. Sayangnya, dunia ini justru tanpa kemunafikan layaknya lebaran, tidak ada lagi ramah tamah, basa-basi, dan senyum-senyuman manis. Manusia kembali menjadi dirinya, homo homini lupus, dan menjadi serigala bagi sesamanya.

Bagaikan kata yang diukir band fstvlst dalam lagunya, “Di masa terlahir manusia mempercayai Tuhan pencipta alam semesta sebagai mitos yang membuat orang-orang menghentikan mesin-mesinnya turun dari pelananya tertegun tersenyum, bahkan menangis saat ceritanya didongengkan. Ketika dongengnya usai mereka mulai lapar menyalakan mesin-mesinnya lagi meloncat ke pelananya lagi lalu berputar gila dan menggerus rakus lagi.”

Hidup kita setelah lebaran adalah kutukan Sisyphus. Dalam mitologi Yunani, Sisyphus atau biasa dikenal Sisifos adalah anak dari Aiolos dan Enarete. Ia lahir sebagai ahli waris tahta Thessaly di Yunani Tengah. Sisyphus menjadi raja di Kerajaan Efira (selanjutnya dikenal sebagai Korintus). Sisyphus mendapat hukuman atau juga bisa kita sebut kutukan karena sepanjang memegang sebagai raja, Sisyphus selalu bertindak yang semena-mena, bahkan juga amoral. Puncaknya, Sisyphus nekat mengungkapkan rahasia Dewa Zeus, hingga membuat sang dewa menjadi benar-benar murka.

Dewa Zeus membuang Sisyphus ke neraka, ia menambah hukuman pada Sisyphus untuk mendorong sebuah batu besar ke atas bukit. Begitu ia berhasil sampai di puncak, baru sejenak bernapas lega batu itu kembali meluncur ke bawah. Mau tidak mau, Sisyphus harus mengulang-ulang kembali tugas itu. Bila dipikirkan, hukuman Sisyphus benar-benar mustahil berhasil. Itulah mengapa Sisyphus menjadi lambang dari kesia-siaan. Ditambah lagi, mitologi itu mengatakan jika Sisyphus tidak merasa terbebani alias cukup gembira untuk mengulang-ulang tugas yang serupa berkali-kali.

Begitulah kira-kira gambaran kehidupan kita setelah lebaran, saling menjegal, saling menipu daya, saling bersaing dan tidak rela, dan saling berkompetisi lagi. Manusia-manusia yang setelah selesai berlebaran akan mengalami kutukan panjang, dan menjadi Sisyphus lagi. Kutukan Sisyphus adalah kehidupan kita, tidak hanya manusia, tetapi semua makhluk hidup di Bumi. Pemakaian alegori kutukan Sisyphus untuk menggambarkan skema kehidupan yang monoton dipopulerkan oleh seorang filsuf eksistensialis Albert Camus. Camus menggambaran aktivitas repetitif pada kehidupan kita adalah percuma, absurd, dan tanpa arah. Kehidupan merupakan kebun absurditas tersebut.

Kesia-siaan yang dirasakan Sisyphus pada akhirnya perlu diakui sebagai kesia-siaan yang mungkin sedang dirasakan oleh kita semua. Kita seperti hidup dalam labirin yang tidak memberikan jalan keluar dan selamanya kita terperangkap di dalamnya.“Hari ini kita maaf-maafan, besok kita saling menyakiti lagi, haha,” ujar seorang rekan saya ketika pekan lalu bertemu saat lebaran. Itulah kutukan setelah lebaran, dan kita berbahagia atas kutukan terebut.

Penulis: Adien Tsaqif Wardhana

Editor: Rizky Fadilah