Saluransebelas – Tepat pukul 20.00 WIB Senin (19/4), BEM UNS mengadakan diskusi terbuka dengan isu Bukti Kampus UNS Makin Komersil, sebuah diskusi terbuka yang bisa dikatakan sebagai awal dari respon terkait salah satu kebijakan kampus yang mulai menaikkan kuota penerimaan mahasiswa jalur mandiri sebesar 50 persen pada tahun 2021.
Rangkaian diskusi dipimpin oleh David Indra Cahya selaku moderator yang menginformasikan kepada audiens bahwa diskusi malam itu terdapat 3 kebijakan kampus yang menjadi fokus utama. Kebijakan itu adalah, terkait kuota penerimaan mahasiswa pada jalur mandiri yang dinaikkan 50 persen, penghilangan pilihan 0 rupiah pada pengisian SPI, dan pemerataan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk seluruh mahasiswa di semua jalur masuk. Ketiganya dianggap merugikan mahasiswa, terutama mahasiswa baru.
Kemudian Zakky Musthofa Zuhad selaku Presiden BEM UNS memberikan pemaparan awal tentang timeline singkat 3 kebijakan kampus yang menjadi kerasahan bersama. Ini dimulai pada 2018 ketika UKT mahasiswa yang masuk jalur mandiri disamakan dengan UKT 3 golongan tertinggi mahasiswa yang masuk dari jalur SNMPTN & SBMPTN. Zakky lalu mengajak audiens untuk mengingat kembali bahwa pada 2019, kolom pengisian Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) atau yang lebih akrab disebut dengan Uang Pangkal masih bisa diisi 0 rupiah. Namun, semuanya berbalik pada 2020 bahwa kolom pengisian SPI sudah tidak lagi menyediakan opsi 0 rupiah dan di tahun yang sama pula terbitlah Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2020 tentang perubahan status UNS menjadi PTN-BH.
Berikutnya pemaparan 4 kebijakan kampus yang menjadi fokus topik diskusi yang disampaikan oleh pihak BEM UNS serta dibantu oleh BEM FP, BEM FEB, dan BEM FIB. Selain itu, adapula poin-poin rekomendasi yang disampaikan tentang penentuan nominal UKT jalur SM UNS, SNMPTN, dan SBMPTN, kajian tentang penghapusan SPI 0 Rupiah, kajian tentang kebijakan kampus yang menaikkan kuota jalur masuk mahasiswa baru UNS melalui jalur mandiri sebanyak 50 persen, dan poin tuntutan agar ditiadakannya kenaikan UKT dan SPI pasca menjadi PTN-BH serta tetap diadakannya sanggah UKT bagi mahasiswa di seluruh jalur SPMB UNS. Kajian secara lengkapnya dapat diunduh melalui http://bit.ly/NaskahKajianSPMB2021.
Tibalah pada sesi tanya-jawab dan diskusi. Sesi ini dibuka dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh mahasiswa prodi Pendidikan Geografi, Kiramim Bararah yang ditujukan kepada BEM UNS terkait dengan langkah atau gerak yang akan dilakukan setelah diskusi selesai. Pihak BEM UNS pun menjawab bahwa terdapat 2 ekskalasi gerak yaitu, advokasi secara vertikal terhadap MWA UNS serta diadakannya forum besar BEM se-UNS untuk diadakan audiensi bersama. Kiramim juga menambahkan pertanyaan keduanya mengenai kemampuan finansial dari UNS sendiri sampai harus membuat regulasi-regulasi tadi. Pertanyaan ini dijawab dengan paparan mengenai RKAT UNS dalam tiga tahun terakhir serta hubungannya dengan kenaikan kuota jalur mandiri sebesar 50 persen dan proyek tower UNS yang memakan biaya cukup besar.
Muncul pertanyaan berikutnya dari Faishal Alif Nuryanto, mahasiswa D3 PSDKU Madiun yang secara tak langsung turut hadir sebagai representasi dari kampus UNS daerah. Faishal mempertanyakan mengenai langkah selanjutnya apabila upaya komunikasi dan advokasi vertikal belum menemui titik keberhasilan. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Zakky Musthofa Zuhad yang menuturkan bahwasanya forum diskusi akan dialihkan untuk menjelaskan topik lain terlebih dahulu, alih-alih melanjutkan eskalasi dari masalah seputar kampus yang kian komersil. Meski begitu, Zakky juga kembali meyakinkan audiens bahwa advokasi di MWA akan diupayakan semaksimal mungkin.
Dalam kelanjutan dari sesi itu, mulai bermunculan tanggapan dari audiens lain. Terdapat pendapat yang cukup menarik dari seorang mahasiswa atas nama Aminullah, “Ketika melihat permasalahan kebijakan kampus, kita juga harus melihat negara dulu bagaimana. Karena negara pun harus bertanggung jawab”. Amin membawa pendapatnya dari kilas balik mengenai pendidikan di masa presiden Soekarno yang gratis, namun semakin waktu berjalan ia menjadi sebaliknya. Selanjutnya di masa Soeharto muncul UU No. 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional yang menjadi titik mula ketika pendidikan dibebankan kepada masyarakat. Selepas itu tepatnya pada reformasi, BHMN yang mengatur otonomi kampus dan menjadi lahirnya PTN-BH dengan perguruan tinggi yang kian dibebankan. Amin menambahkan bahwa sebenarnya secara hukum, kampus sah-sah saja melakukan kebijakan tersebut. Ia juga memberikan rincian APBN yang menyuplai dana pada PTN-BH semakin sedikit. “Pada akhirnya kenapa kayak gini, ya wajar aja ketika biaya kuliah semakin hari semakin naik,” tambah Aminullah.
Di akhir sesi, ada tanggapan dari Reyhandhi Alfian yang menggaris bawahi bahwa perlunya ada penjaringan aspirasi tidak hanya di kampus utama, namun juga kampus wilayah. Selain itu kondisi ini juga menuntut adanya kesadaran penuh bahwa MWA kini menjadi forum tertingi di statuta UNS dan diperlukannya gerakan yang lebih kreatif berkaitan dengan hal itu. Tanggapan terakhir ini lalu diterima dan ditanggapi dengan baik oleh pihak BEM UNS.
Penulis: Atif Kasful Haq dan M Achmad Afifuddin
Editor: M. Wildan Fathurrohman