Bertepatan dengan hari Jumat (20/11), selepas tidur siang seolah saya melihat sebuah titik terang kehidupan. Lewat siaran langsung kanal YouTube KEMENDIKBUD RI, Nadiem Makarim seperti memberikan angin segar terkait penyelenggaran pembelajaran semester genap tahun ajaran 2020/2021. Ia menjelaskan bahwa pembelajaran tatap muka dapat kembali dilaksanakan atas izin pemerintah daerah masing-masing. Artinya, ada secercah peluang kuliah tatap muka akan dilaksanakan di kampus kesayangan kita bersama, Universitas Sebelas Maret. Walaupun masih dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan belum kembali seperti sediakala, tetapi lumayan lah. Soalnya sudah lama sekali engga ketemu bu Diana, dosen Hukum Pidana yang paling cheerful, sudah lama engga mampir di warung sop penjara atau APB di sela waktu kuliah, dan juga sudah lama enggak makan nasi bungkus gratis sehabis Salat Jumat di Masjid Fakultas Teknik, hehe. Kangen rasanya.
Mengingat waktu itu tren kasus COVID-19 mulai melandai. Bahkan, di beberapa hari terakhir jumlah pasien yang dinyatakan sembuh melebihi jumlah pasien yang terjangkit. Tidak berlebihan rasanya kalau saya menjuluki hari itu sebagai “Jumat berkah”. Hal ini pun membuat rasa optimis saya kembali menyeruak, “Omaigat! Gak sabar, gak sabar, gak sabar!” kalimat ini selalu bersuara dalam hati saya semenjak hari itu.
Sayangnya, semangat dalam kalimat itu hanya bertahan beberapa hari saja. Pasalnya, mulai akhir November 2020 kasus COVID-19 kembali meningkat secara konstan. Peningkatan ini bertahan hingga akhir tahun 2020 dan semakin menggila di awal tahun 2021. Terhitung dari awal tahun 2021 hingga memasuki pekan ketiga bulan Januari rata-rata kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 9.690 kasus. Tak heran rasanya jika peningkatan kasus tersebut sangat fantastis, kondisi masyarakat yang mulai bosan terhadap keadaan membuat mereka tak lagi menganggap pandemi sebagai masalah serius dan pada akhirnya kasus pun melonjak.
Melihat peningkatan kasus yang semakin tak karuan ini, rasa optimis saya perlahan kian memudar. Jika kesehatan masih menjadi fokus utama, kemungkinan besar kuliah jarak jauh masih dipertahankan untuk beberapa waktu ke depan. Walaupun kuliah jarak jauh memberikan kemudahan dalam berbagai hal. Namun menurut saya pengalaman yang didapat dari kuliah tatap muka tetap tidak akan tertandingi.
Uniknya walau diselimuti kekecewaan, saya tidak merasa terguncang sama sekali. Ini rasanya hanya seperti Déjà vu belaka karena bagi saya kekecewaan sudah menjadi sahabat karib. Betapa tidak? Saya adalah fan dari klub sepak bola asal Inggris, Liverpool Football Club. Sebagai fan Liverpool, bersabar dan legawa atas setiap kenyataan yang ada merupakan skill khusus yang patut kami banggakan.
Barangkali kisah The Reds (julukan Liverpool) ini adalah salah satu yang paling fenomenal sekaligus memilukan. Secara umum, para penikmat sepak bola pasti mengetahui kisah ini. Terutama bagi para follower akhi Plesbol ataupun para follower komandan Garuda Revolution di Instagram. Klub asal Kota Merseyside ini membutuhkan waktu 30 tahun untuk kembali merengkuh gelar juara Liga Inggris. Sekarang, sudah paham kenapa kami ahli dalam bersabar?
Tiga puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Setiap tahun para fan Liverpool seperti mendapatkan workshop gratis untuk mengasah kemampuan bersabar. Betapa tidak? Kami adalah orang-orang yang terlatih untuk tidak menangis di tongkrongan ketika mendapat hujatan dari teman-teman. Ketika fan klub lain secara bergantian menyombongkan piala dan trofi yang direngkuh tiap akhir musim, kami tetap dan terus bersabar sembari menunggu pelangi itu muncul menyudahi masa kelam ini. Dan penantian panjang itupun berakhir di tahun 2020 lalu. Di bawah asuhan manajer asal Jerman, Juergen Klopp, Liverpool akhirnya meraih gelar juara Liga Inggris untuk pertama kali setelah 30 tahun. Kekuatan sabar yang diasah oleh workshop gratis selama bertahun-tahun mengantarkan kami kepada nikmatnya berbuka setelah 30 tahun berpuasa.
Di era modern ini, mungkin sulit rasanya untuk menandingi penantian selama itu. Apalagi penantian untuk kuliah tatap muka belum ada apa-apanya, Bund. Seujung kuku jari kelingking pun belum. Tapi kalau rekan-rekan mahasiswa mulai merasakan kewalahan dalam menunggu, izinkan saya membagi jurus dan ilmu yang telah saya dapat sebagai fan Liverpool selama bertahun-tahun perihal bersabar dan berdamai dengan kekecewaan.
Pertama, Senyumin Aja.
Saya tahu menunggu adalah kegiatan paling membosankan di semesta ini. Ditambah lagi rasa rindu berkegiatan di kampus seperti hari biasa yang makin menggebu, akan tetapi bosannya menunggu dan menggebunya rasa rindu itu akan sirna apabila kalian mencoba tersenyum dan menikmati segala situasi. Walau mungkin “kurang marem”, tapi kuliah dari rumah It’s not that bad, is it? Sembari menunggu, biasakan tersenyum dalam menjalani aktivitas yang ada. Percayalah, ini akan membantu membuat kita lebih bisa menjalani hiruk pikuk kuliah di depan layar gawai. Suasana akan terasa sangat berbeda ketika menunggu bersama jiwa yang kusut dan murung jika dibandingkan dengan menunggu bersama jiwa yang ceria seraya tersenyum. Jika tersenyum sudah terbiasakan, menunggu selama apapun juga tidak akan menjadi masalah berarti.
Kedua, Nikmati Prosesnya.
Bangun tidur, cuci muka, kuliah, makan, tidur, kuliah, bikin tugas sampai larut, tidur, dan kemudian ulangi lagi. Kiranya aktivitas-aktivitas ini sudah menjadi semacam siklus mutlak yang terjadi ketika kuliah jarak jauh. Tidak akan ada sesi bersenda gurau di kos teman pada sela waktu kuliah, makan bakso anget di UPT Bahasa saat hujan turun pada sore hari, atau nongkrong-nongkrong cantik di warung kopi estetik ketika malam menjemput. Tapi, sadar atau tidak siklus dalam kuliah jarak jauh ini lebih memberikan kita waktu untuk mengeksplorasi banyak hal dalam diri. Dengan hilangnya waktu untuk main dan mencari kesenangan, kita bisa memanfaatkannya untuk memahami dan memperbaiki diri. Sembari menunggu dan menjalankan fase “perbaikan” ini, nikmatilah setiap proses yang ada. Memang bosan dan menjenuhkan, tapi bukankah lebih baik daripada membuang waktu untuk memberikan makanan jiwa dengan kesenangan sesaat?
Terakhir, “At The End of The Storm, There is A Golden Sky”.
Sebagai fan Liverpool, dosa hukumnya kalau tidak tahu lagu You’ll Never Walk Alone dari Gerry & The Pacemakers. Lagu ini memiliki semacam magis yang menjadikan para fan Liverpool kuat dalam penantian 30 tahun. Salah satu liriknya berbunyi “At The End of The Storm, There Is A Golden Sky” yang artinya, “Di penghujung badai, pasti muncul langit yang cerah”. Pesan yang ingin disampaikan dalam lirik ini adalah bahwa dalam setiap situasi yang pelik, pasti memiliki akhir yang bahagia. Suatu saat pandemi pasti akan sirna, kita hanya perlu bersabar dan menunggu waktunya tiba. Dan segera setelah pandemi ini lenyap, langit cerah akan menyingsing. Kuliah tatap muka akan kembali berjalan, kampus akan kembali ramai, kita dapat bertemu dan bercengkerama, dan berbagi cerita-cerita berharga. Satu hal yang pasti, itu semua bukan angan-angan semata melainkan benar akan terjadi. Oleh karenanya, tetap percaya dan sabar dalam menunggu.
Meskipun saya memiliki ilmu yang bejibun perihal kesabaran. Kiranya tiga hal tersebut sudah cukup merangkum jurus-jurus utama yang menjadikan kami (fan Liverpool) kuat menunggu hingga puluhan tahun. Selamat mencoba dan jangan lupa selalu patuhi protokol kesehatan dengan 3M (Memakai masker, Mencuci tangan, Menjaga jarak) ketika beraktivitas. Jangan lupa pula untuk mengingatkan orang-orang terdekat, ya! Kenapa? Karena untuk dapat menyudahi pandemi ini dibutuhkan kebersamaan dan kekuatan kolektif. You’ll Never Walk Alone.
Penulis: Sahid Yudhakusuma Kalpikajati
Editor : Aulia Anjani
emailnyasahid@gmail.com