Pada sebagian orang, rokok bukan lagi menjadi kebutuhan tersier, tetapi sudah berpindah menjadi kebutuhan primer. Rokok sangatlah erat dalam kehidupan sehari hari, terutama ketika mulai dilanda stres ataupun overthinking. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrew C Parrot pada tahun 2004 di Amerika, bahwa merokok membuat orang tidak stres lagi. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan, terdapat hubungan antara jumlah rokok yang dihisap dengan tingkat stres seseorang. Semakin tinggi tingkat stres, maka semakin banyak batang rokok yang dihisap.
Sementara itu, hampir bersamaan dengan datangnya pandemi, mulai bermunculan trend rokok “lingwe” atau linting dewe. Trend ini bukan seperti pop-culture dimana semua orang akan mengikuti demi sebuah konten agar dikira “ke indie indie-an” ataupun memperoleh predikat “anak senja” yang identik dengan kopi sore dan rokok linting. Tapi mereka para perokok aktif baik kalangan tua atau muda memiliki alasan lain yang kuat mengapa mereka pindah ke rokok lingwe ini.
Transisi dari Rokok Bungkus ke Rokok Linting
Jika diperhatikan lebih detail terdapat beberapa faktor mengapa mulai banyak perokok aktif pindah ke rokok lintingan ini. Ada dua poin, yang pertama semenjak per 1 Januari 2020 pemerintah pusat mulai menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35% . Kedua, dalam kondisi pandemi yang dimulai semenjak awal tahun ini membuat sebagian orang hampir kehilangan penghasilannya dan menuntut mereka untuk hidup jauh lebih hemat dari biasanya terutama dalam hal pengeluaran.
Ditengah sulitnya ekonomi dan kenaikan harga rokok, tidak membuat perokok berhenti untuk merokok. Mereka memiliki seribu cara untuk mengatasinya, “ yang penting mah ngebul “. Ada dua cara yang lazim kita temui untuk mengakali kenaikan harga rokok ini. Cara pertama ini agak sulit dan kurang digandrungi, yaitu dengan membeli rokok lokal yang tidak memiliki tali pita cukai rokok asli. Rokok lokal sendiri memiliki harga yang tergolong murah dan tentunya ramah dikantong, tetapi jarang orang menggunakan cara ini karena mencari rokok produk lokal tergolong sulit ditemui.
Mengenai rokok lokal, Bisma (19) menjelaskan, “Sebenernya rokok lokal fine-fine aja, tapi cita rasanya itu lho ngawur, kadang terlalu pedes atau pahit. Ya walaupun ga semua rokok lokal gitu tapi mending lintingan aja. Toh harga satu bungkus rokok lokal hampir sama harganya sama 1 ons tembakau.”
Kemudian cara kedua yang dapat dilkukan agar dapat tetap ngebul tanpa khawatir kantong kering adalah dengan lingwe. Cara ini tergolong ribet, karena untuk merokok satu batang saja kita sendiri harus membeli tembakau, cengkeh, filter, kertas, lem bahkan alat untuk ngelinting. Tapi pada kenyataannya cara yang lebih ribet ini lebih digandrungi oleh para perokok aktif, salah satunya Bisma.
“Wah kalau sekarang sih aku mending pindah ke rokok lintingan aja soalnya hemat banget. Bayangin aja, dulu waktu belum ngelinting satu minggu saja aku sudah habis 150 ribu. Lah ini, lintingan cuman modal 60-70 ribuan di awal sudah dapet tembakau 1 ons , cengkeh, filter, kertas rokok, lem sampai ke alat lintingannya. Apalagi sekarang harga rokok sebungkus sudah sekitar 18-25 ribu itupun palingan satu bungkus ga sampek satu minggu, mending lintingan cuman modal ya sekitar 18-25 ribu buat satu ons tapi bisa ngebul terus satu bulan,” ujar Bisma.
Sementara itu tidak berbeda jauh dengan Bisma, Irvan (19) juga berujar bahwa rokok lintingan memang cenderung ramah di kantong saat kondisi ekonomi yang sulit. “Ya memang hemat sih kalau ngelinting tapi mah kalau main idealisme aku lebih cocok ke rokok bungkus, ya mau bagaimana lagi karena keadaan lagi gini ya pindah dulu lah ke rokok lintingan sementara”.
Pada kenyataannya, rokok lintingan memang terbukti lebih hemat daripada membeli rokok bungkus konvensional yang dikeluarkan oleh pabrik.
Perdebatan dalam Cara Melinting Rokok
Berbicara mengenai rokok lingwe, rasanya sulit dilepaskan dari perdebatan sengit akan cara “ngelinting”. Terdapat dua kubu, yaitu yang menggunakan alat dan tanpa bantuan alat. Mereka selalu eyel–eyelan mengenai cara melinting rokok. Memang cepat dan lebih praktis menggunakan alat lintingan dimana harganya pun sangatlah terjangkau, cukup 3 ribu rupiah untuk alat linting yang kecil dan 25 ribu untuk alat linting yang besar. Namun bagi sebagian orang , melinting tanpa alat diyakini memiliki kenikmatan tersendiri.
Irvan termasuk dalam orang yang memilih cara teribet dalam merokok, yaitu dengan ngelinting tanpa alat. “Yah kalau pake alat gaada rasanya, kalau ngelinting pakek tangan kan enak kita nakar sendiri tembakaunya yang sesuai dengan kita lalu mulai lah bagian terenaknya yaitu menggulung kertas sambil merem merem sedep gitu. Sungguh nikmat yang luar biasa ketika lintingan itu jadi,” terang Irvan.
Dari kedua cara dalam melinting rokok, keduanya susah susah gampang dilakukan karena diperlukan ketrampilan untuk menakar tembakau yang akan dilinting, sampai penempatan kertas dan filter agar membuahkan hasil lintingan yang sempurna. Pada akhirnya, rokok lintingan pun menjadi penyelamat bagi para perokok aktif. Karena bagi mereka yang terpenting adalah gimana caranya ngebul terus tanpa khawatir dengan harga rokok bungkus konvensional yang mulai tidak ramah di kantong.[]
Reporter dan Penulis: Muchammad Achmad Afifuddin/LPM Kentingan