Ilustrasi: Rudiyaningsih/LPM Kentingan

KOTA ITU TERDIRI DARI TUMPUK-TUMPUK PELAKU

Kota itu terdiri dari tumpuk-tumpuk pelaku

Ibu-ibu pengajian, bapak-bapak di pertigaan jalan,

anak-anak berkerudung, dan nenek-nenek di pekarangan

 

Pengajian di kota itu setiap Kamis sore

Di mana besoknya adalah Jumat

Ibu-ibu menata kerudung anak-anaknya

yang semula tak dikenakan karena panas kota yang merajam

ke belakang, disempitkan jarum pentul ke depan,

lalu ditarik ke samping telinganya yang lebar

Memasangnya untuk mendengarkan ulama yang berkelakar

Mengenai kolam susu di surga Tuhan

Ibu paling depan berkata “Lebih kusuka air

daripada susu.” Tetapi ulama tak keberatan

Ibu-ibu tertawa, ulama melanjutkan kelakarnya

hingga petang, ibu-ibu pulang

Membawa jajanan pasar dari pengajian

yang ia sisakan untuk anaknya sebagai bekal belajar

 

Anak-anak belajar di ruang tengah

Siaran televisi membuat si pintar geram

Bukan karena suaranya, tetapi anak-anak begitu jenuh

pada sinetron yang tak selesai dari tiga tahun belakang

Akhirnya anak-anak pindah ke kamar

Paginya mereka sekolah sampai siang,

Putih merah untuk sekolah dasar

Putih biru untuk sekolah menengah pertama

Putih abu-abu untuk sekolah menengah atas

Sungguh membosankan, anak-anak suka kebebasan

Di kota itu, kebebasan berarti pelanggaran

 

Bangku kayu di pertigaan jalan kota itu kosong

Hari Jumat, bapak-bapak pergi ke masjid

Begitu megah, lebih seperti rumah raja daripada rumah Tuhan

Wewangian menyebar di jalan, menuntun malaikat

menuju rumahnya untuk mendengar bapak-bapak berdoa

Rupanya bapak-bapak tak berdoa untuk anak atau istrinya

Tetapi untuk usahanya yang kini sedang meradang

Malaikat bergumam, tak pernah suka bicara

Tetapi giat mendengar dan mencatat serajin anak-anak di sekolah

Pukul satu siang, bapak-bapak pulang

Membawa sarung dan wewangian yang telah pudar

Lalu kembali ke pertigaan jalan untuk merokok

dan membicarakan istri mereka yang bertingkah seragam

 

Di kota itu, ada yang tak wajar

Nenek-nenek selalu keluar rumah

ketika seorang perempuan muda melewati rumahnya yang rindang

Mencium tangan mereka satu-satu

Hingga tak ada lagi yang lewat jalan itu

 

Suatu hari, perempuan muda datang ke kota itu

Menolak ciuman nenek tua dan berkata

“Tak pantas bibir tua itu mencium tanganku yang belia ini.”

Nenek-nenek tak suka menjawab, seperti malaikat

Tetapi malaikat tahu, mereka hanya ingin menyematkan

umur mereka yang tinggal sepenggal, pada tangan muda

yang melewati rumahnya yang lengang

 

Di kota itu, tak ada yang lebih bahagia

Daripada malaikat yang tak banyak bicara

Dan lalat yang mengerumuni sisa jajanan

dari pengajian yang diam-diam dibuang

anak-anak karena tak doyan

(Pati, 2021)

Penulis: Hesty Safitri