Sebuah pemberitaan mengenai perempuan masih saja menyangkut-pautkan prihal fisik. Seperti pemberitaan pada tanggal 2 Februari 2020 yang dimuat wartakota.tribunnews.com dengan judul “Tidak Hanya Cantik, Pedagang Tahu yang Viral Ini Ternyata Lulusan S2 dan Ogah Kerja Kantoran.” Sejak awal membaca judul tersebut sudah langsung terbesit, memang perempuan cantik aneh untuk berjualan tahu? Kemudian terdapat judul berita lagi yang lebih menggemasakan yaitu “Kapolsek Cantik di Pekanbaru Berjibaku Padamkan Kerhutla di Lahan Gambut di Jalan Nelayan,” dimuat oleh TribunPekanbaru.com pada 26 Februari 2020.
Dari kedua contoh judul berita dan masih banyak lagi berita sejenis lainnya yang menjadi permasalahan adalah adanya embel-embel kata “cantik” yang sangat berkaitan dengan fisik seorang perempuan. Padahal dari kedua judul tersebut, perempuan itu hanya sedang menjalankan tugasnya dengan baik. Akan tetapi media lebih tertarik untuk menonjolkan penampakan fisik, bukan perannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ana Nadyar Abrar yaitu citra perempuan dalam pandangan pers Indonesia masih rendah, karena kebijakan keredaksian yang ternyata terkalahkan oleh kebijakan pemasaran yaitu segmentasi, konstribusi iklan dan keinginan pembaca. Sifat sensasional, memarjinalkan, dan mengkriminalkan perempuan dalam pemberitaan di media masih saja ada. Memang dengan menambahkan kata “cantik” tidak dipungkiri akan mengundang khalayak pembaca. Maka tidak heran jika Hanazaki berujar bahwa pers perjuangan yang idealis di Indonesia telah mati dan sebagai gantinya lahirlah pers bisnis dengan watak pragmatis dan oportunis.
Padahal, media massa tidak hanya berperan memenuhi kebutuhan informasi maupun mengembangkan pengetahuannya akan budaya lama dan memeroleh pemahaman tentang budaya baru. Lebih dari itu, media merupakan instrumen dalam membentuk konstruksi gender dalam masyarakat melalui jangkauan penyebaran informasi yang luas. Selain itu juga, berita pada dasarnya membawa sebuah wacana penyampaian ideologi kepada khalayak. Ideologi tersebut disampaikan agar dipandang sebagai sesuatu yang lumrah atau wajar. Akan tetapi berita dengan ideologi yang cenderung seksisme dan bias gender tidak seharusnya terus dibudayakan. Karena hal tersebut dapat berdampak negatif pada kesehataan mental perempuan. Selain itu juga dapat berimbas pada media dengan turunnya kualitas berita, karena telah memasukkan informasi yang tidak relevan, berlebihan, dan adanya dramatisasi dalam penulisan artikelnya.
Walaupun begitu, agaknya membutuhkan waktu untuk terciptanya berita yang ramah, tidak seksis dan bias gender. Meski sampai sekarang dinamisme komersial masih saja menjadi penentu makna pesan dan konten. Kemudian ditambah dengan budaya akan nilai kecantikan yang telah tertanam dalam masyarakat, serta tidak mudah untuk dihilangkan.
Doktrin akan nilai kecantikan yang ditanamkan kepada seorang anak perempuan datang dari keluarga, terutama dari seorang ibu yang senantiasa menasehati bahwa cantik didapat ketika rajin merawat diri. Jadi tidak mengherankan jika perempuan berlomba-lomba untuk mendapatkan kecantikan tersebut. Dalam keadaan seperti ini maka ungkapan dalam The Beauty Myth karya Naomi Wolf agaknya cukup relevan, the real issue has nothing to do with whether women wear makeup or don’t, gain weight or lose it, have surgery or shun it, dress up or down, make our clothing and faces and bodies into works of art or ignore adornment altogether. The real problem is our lack of choice.
Kenight Dunlap melalui Alfred Strom dalam American Dissident Voices menyatakan bahwa definisi kecantikan seseorang bervariasi dan berbeda antara ras yang satu dan lainnya, sehingga definisi kecantikan tidak dapat dibandingkan. Di Indonesia sendiri, kebanyakan masyarakat masih menganut nilai kecantikan yang mana wanita dianggap cantik jika memiliki wajah simetris, berkulit putih, tinggi, dan langsing. Standar kecantikan tersebut hingga sekarang masih terus tumbuh dalam masyarakat, bahkan bertambah subur. Hal itu terbukti dengan banyaknya iklan produk obat pemutih dan pelangsing di media sosial, televisi, maupun media lainnya. Dan tidak mengherankan juga masih banyak orang yang tertarik untuk membelinya, terutama produk dengan klaim mujarab dan hasil cepat.
Ditengah perkembangan zaman semakin pesat dan banyaknya berbagai bidang keilmuan yang dapat dikembangkan oleh berbagai orang, termasuk perempuan. Maka seharusnya, pandangan masyarakat dalam menghargai seorang perempuan tidak hanya akan kecantikan, tetapi bisa lebih menghargai akan hal positif yang telah dilakukannya. Sehingga pada nantinya masyarakat terutama kaum perempuan itu sendiri tindakan dan pikirannya tidak hanya berorientasi pada masalah kecantikan saja, tetapi juga kepada hal lain yang lebih bermanfaat. Dalam hal ini, media juga harus turut berperan aktif dengan tidak menghasilkan berita yang mengandung unsur bias gender. Menurut Krini Kafris, agar tidak terjadi bias gender dalam pemberitaan, maka hal seperti penggunaan bahasa yang netral dan tidak memuat asumsi negatif (cantik, seksi, dan lainnya) harus diterapkan. Selain itu juga, sudut pandang, konteks berita, dan gambar juga harus benar-benar diperhatikan, apakah berpotensi merugikan perempuan atau tidak.[ ]
Boleh berkawan dengan akrab melalui surel lulufebridamayanti@gmail.com