Kisah Roekmana dan Perpaduan Musik Sunda dengan Folk

Nama Tigapagi pertama kali terdengar melalui single “Menari” dalam ajang kompetisi musik pada tahun 2008. Selain menjadi finalis, lagu tersebut juga membuat grup musik yang lahir di Kota Kembang ini menjadi nominator untuk Kategori Favorite Folk/Country Song di Indonesia Cutting Edge Music Awards 2012, sebuah ajang penghargaan bagi musisi yang bisa dikatakan berani “melawan arus” dan jujur dalam bermusik.

Selang beberapa tahun tanpa kabar, Roekmana’s Repertoire muncul ke permukaan sebagai full album pertama dari grup yang beranggotakan Sigit Agung Pramudita, Eko Sakti Oktavianto, dan Prima Dian Febrianto ini. Album yang dilepas pada tanggal 30 September 2013 ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Roekamana yang menjadi tokoh sentral. Jika dilihat dalam press release yang ditulis oleh Cholil Mahmud dan A. Puri Handayani dalam ejaan lama, Roekmana adalah seseorang yang sedang melakukan pencarian tentang nilai-nilai yang berkecamuk dipikirannya dan pencarian tentang makna kehidupanwalau sudah memasuki usia senja dalam latar belakang suasana September 1965. Musik yang disajikan sangat representatif dengan apa yang terjadi dengan bangsa ini sekitar tahun 1965, kelam atau apa saja yang bisa menggambarkan suasana kelabu.

Penggarapan album ini melibatkan beberapa musisi lain diluar Tigapagi,  jadi jangan kaget apabila anda mendengar suara yang sudah familiar. Ambil contoh pada single pertama,vokal Alang-alang diisi oleh Ade Paloh dari SORE. Alang-alang bercerita tentang rasa kehilangan yang menjadi gerbang untuk memasuki kisah kelam Roekmana. Nomor kedua, Erika diisi oleh Ida Ayu Made Paramita Sararwati dari Nadafiksi. Selain memberikan tambahan warna, suara Ida Ayu yang mirip dengan suara Joan Baez membuat unsur klasik dan tentunya unsur folk semakin terasa. Pada S(m)unda dan Yes, We Were Lost In Our Hometown,bunyi-bunyi musik sunda terasa semakin mengental.

Pada Batu Tua, kemelut yang ada di pikiran Roekmana seakan memuncak. Pencarian-pencarian Roekmana terhalang keterbatasannya yang semakin hari semakin tua. Hal itu dipertegas dengan lirik, “Tetap menjadi tua. Tetap menjadi jingga meski lelah kau mencoba”. Lanjut keSorrow Haunts dan Haufken, dengan tempo yang lambat kita seakan-akan diajak menemani Rokemana merenung diwaktu senja.

Petikan gitar dan gesekan senar membawa kita ke Tangan Hampa Kaki Telanjang. Lirik dan vokal Sigit membawa kita hanyut dalam penyesalan yang digambarkan oleh lagu ini. Masih terkait tentang penyesalan, Pasir menyihir dengan suara Cholil Mahmud selaku vokalis dari Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi. Lirik yang kelam terasa sangat puitis tetapi masih mudah untuk dicerna. Kepiawan Sigit sebagai peramu kata-kata pantas diacungi jempol.

Vertebrate Song (The Maslow), Happy Birthday, The Way, dan De Rode Slaapkamer menjadi nomor-nomor yang pas dalam mengiringi kisah Roekmana yang hampir bermuara. Terdapat pidato yang terselip pada bagian ini, “…diharap masyarakat tetap tenang dan tetap waspada, siap siaga, serta terus memanjatkan doa kehadirat Tuhan Yang Maha Esa …”. Ya, cuplikan tersebut memberikan nilai tambah dalam penggambaran latar tahun 1965. Suara Aji Gergaji dari The Milo pada Tertidur menjadi penutup dalam kisah kelam Roekmana. Unsur-unsur musik sunda muncul kembali pada lagu penutup ini

Roekmana’s Repertoire digarap dalam bentuk satu track berisi 14 lagu yang sambung-menyambung. Trio folk minimalis yang kaya akan musik ini memadukan musik folk dengan unsur-unsur musik tradisional sunda. Perpaduan yang mungkin terasa asing di telinga tapi bersifat adiktif, ciamik. Namun, format album satu track yang sambung-menyambung dengan durasi sekitar satu jam ini membuat kesulitan untuk mendengar atau melompat ke nomor-nomor tertentu. Paling tidak anda harus mempercepat durasi ke menit tertentu untuk mendengar lagu yang anda favoritkan.

Foto-foto hitam-putih para personil yang terkesan klasik –lengkap dengan asap rokok dan suasana era 60-70an,  font ala mesin tik dan warna kertas yang terkesan coklat dimakan usia pada packaging album ini, bisa menggambarkan bagaimana totalnya Tigapagi dalam menggarap Roekmana’s Repertoire. Semua itu dikemas seperti dokumen-dokumen atas nama Roekmana yang dipegang oleh pihak intelejen.

Album ini bisa dibilang memiliki fungsi lain, yaitu menceritakan kembali sejarah melalui media musik. Jika dilihat dari penggambaran bagaimana kelamnya suasana Indonesia pada September 1965 melalui musik dan dalam pandangan subjektif Roekmana, tanpa pretensi nampaknya Tigapagi berhasil.(Fajar Andi)