Judul : Minggu Pagi di Victoria Park
Sutradara : Lola Amaria
Penulis : Titien Wattimena
Tanggal Rilis : 10 Juni 2010
Durasi : 100 menit
Produksi : Pic[k]lock Production
Genre : Drama
Film yang mengangkat cerita mengenai kehidupan TKW di Hongkong ini, merupakan cuplik kecil kehidupan masyarakat Indonesia. Dimana banyak kalangan wanita dengan keadaan ekonomi kurang mampu ingin meningkatkan taraf hidup dengan menjadi TKW di luar negeri. Terhindar dari masalah ekonomi belum menjamin kehidupan di perantauan menjadi lebih baik, tak jarang kekerasan sering dialami oleh mereka seperti yang kerap diberitakan di berbagai media. Akan tetapi Lola Amaria sebagai sutradara di sini lebih menyoroti akan problematika yang juga sering dialami TKW selain masalah penganiayaan.
Mayang (Lola Amaria), merupakan seorang gadis desa biasa yang bekerja di kebun tebu. Tak pernah sekalipun dia bercita-cita untuk menjadi TKW. Paksaan dari sang ayah yang membuatnya pergi ke Hongkong. Dengan satu tujuan, mencari adik perempuannya yang tak berkabar. Sekar (Titi Sjuman) sudah setahun menghilang, teman-teman sesama TKW pun tak mengetahui keberadaannya. Setelah 3 bulan bekerja di Hongkong, Mayang belum juga menemukan Sekar. Hingga suatu waktu Mayang dan temannya, Sari berkunjung ke sebuah warung tempat biasa berkumpul para TKW Indonesia. Saat itulah dia mendengar nama Sekar disebut oleh Gandi (Donny Damara). Dari sanalah dia tahu bahwa Sekar terlilit hutang dengan lembaga super kredit. Namun berakhir menyulitkan, bunga yang begitu tinggi membuat paspornya ditahan. Hingga kontrak kerjanya sudah habis, Sekar tidak bisa pulang ke Indonesia.
Saat itulah pencarian Sekar dimulai dengan bantuan Gandi, Vincent (Donny Alamsyah) dan TKW lainnya. Disaat banyak orang menawarkan bantuan untuk membantu, Mayang justru menghindar. Merasa semua orang terlalu ikut campur dan mengkhawatirkan Sekar. Menganggap perlakuan bapak dan orang-orang terhadap Sekar berbeda dengannya. Sekar yang pintar, cantik, apalagi setelah dia bekerja di Hongkong. Bapaknya semakin meremehkan kemampuannya. Perasaan iri yang sudah lama ada itu membuat Mayang bimbang, Apakah dia menginginkan Sekar untuk kembali? kebimbangan itu luntur ketika terdengar kabar Sekar pernah mendatangi sebuah club malam. Kehidupan yang sulit membuat Sekar yang mulanya hanya seorang gadis desa biasa, berubah menjadi wanita yang nekat. Keadaan yang menghimpit membuatnya berusaha melakukan apapun untuk mendapatkan uang. Segala macam pekerjaan dia kerjakan, tak kecuali sebagai wanita penghibur. Saat itulah hati nurani Mayang tersentuh, ketika melihat Sekar rela melakukan apapun. Membayangkan orang tuanya yang pasti bersedih bila tahu anak kebanggaanya bekerja sebagai wanita penghibur.
Bukan hanya Sekar yang mengalami masalah di dalam film ini, beberapa teman TKWnya pun memiliki persoalan yang berbeda-beda. Sari yang kondisi keuangannya terus menipis karena dipeloroti oleh kekasihnya dari Pakistan, Yati yang menjalin hubungan dengan sesama jenis, hingga ada yang bunuh diri karena terlilit hutang yang sama seperti Sekar. Meski kehidupannya tidak seperti yang dia harapkan, Sekar mampu bangkit dari masalah yang dihadapinya. Menata ulang hidupnya dan menjalin hubungan baik dengan Mayang. Dalam proses pencarian Sekar itu pun membuat Mayang menyadari, tidak hanya dirinya yang mempunyai masalah, masih banyak orang lain yang juga mengalami penderitaan, bahkan lebih. Suatu kebahagiaan yang lain bagi Mayang, karena menemukan tambatan hatinya di Hongkong.
Dengan tema yang berbeda dengan kebanyakaan drama lainnya, membuat film ini patut diperhitungkan sebagai pembelajaran agar kita tidak terlalu terpuruk dalam permasalahan, akan tetapi bangkit dan berusaha mencari solusi terbaik. Selain itu penyajian cerita yang sederhana membuat film ini mudah diikuti. Disertai pula dengan akting para pemain yang total, mulai dari Titi Sjuman yang tampil paling apik disini, sebagai Sekar yang depresif, cantik diluar namun begitu rapuh karena masalahnya, diperankan dengan sangat hidup dan natural. Lola Amaria yang membawakan karakter Mayang yang tertutup pun tidak kalah apik dalam berakting, walaupun terlihat ia sedikit kesulitan melafalkan dialek Jawa Timurnya dan terkesan kurang natural, hingga para peran pembantu yang diluar dugaan mampu tampil lepas tanpa beban, seperti salah satunya, Ella Hamid yang sukses menjadi scene stealer dengan akting paling alami di sepanjang film.