Ilustrasi: Ayra Adina/LPM Kentingan

Ketidaksetaraan Pendidikan: Bagaimana Uang Kuliah Menciptakan Jurang Sosial

Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, pendidikan dianggap sebagai tonggak penting menuju pencerahan dan kesetaraan. Namun, di balik gemerlap ilmu pengetahuan dan cita-cita setinggi langit, ada kisah gelap yang seringkali terabaikan—kisah tentang uang kuliah yang menjadi penentu tak terduga dari takdir pendidikan. Mari kita memasuki lorong yang tersembunyi di dunia pendidikan, tempat di mana ketidaksetaraan bertemu dengan problematika finansial, menciptakan jurang sosial yang mendalam.

Seolah-olah masuk ke dalam ruang angkasa, kita terjebak dalam gravitasi ketidaksetaraan pendidikan. Di satu sisi, terdapat kilatan bintang bagi mereka yang mampu membayar biaya pendidikan yang melambung tinggi, sementara di sisi lain, bintang-bintang itu begitu jauh dari jangkauan mereka yang terkekang oleh keterbatasan finansial. Entah apakah uang kuliah menjadi pahlawan atau penjahat, semuanya dapat mengukir cerita yang melampaui sekadar kelas dan ruang kuliah.

Namun, di tengah-tengah gelombang kesenjangan, kita dihadapkan pada pertanyaan tak terelakkan: apakah benar kita ingin membiarkan uang kuliah mengukir takdir seseorang? Ataukah kita harus menafsir ulang makna pendidikan sebagai hak universal, bukan privilese terbatas? Mari bersama-sama menjelajahi dimensi gelap ketidaksetaraan pendidikan yang diciptakan oleh uang kuliah, dan menemukan panggilan moral untuk mengubah narasi ini menjadi kisah yang lebih adil dan inklusif.

Mahalnya Mimpi: Hambatan Akses Pendidikan

Seiring berjalannya waktu, kita menyaksikan kenaikan dramatis biaya uang kuliah di berbagai negara. Meskipun pendidikan tinggi diakui sebagai hak asasi manusia, kenyataannya adalah bahwa banyak individu di seluruh dunia tidak mampu untuk membayar biaya pendidikan yang terus meningkat. Amerika Serikat, sebagai contoh, telah menjadi sorotan utama dengan beban utang mahasiswa yang mencapai angka yang mengkhawatirkan. Begitu pula di banyak negara Eropa dan Asia, di mana uang kuliah yang mahal seringkali menjadi penghalang bagi calon mahasiswa.

Uang kuliah yang tinggi dapat mempersempit pintu masuk ke dunia pendidikan tinggi bagi mereka yang kurang mampu. Pemikiran bahwa pendidikan tinggi adalah hak semua dan bukan hak istimewa hanya dapat diwujudkan jika akses ke perguruan tinggi tidak terbatas oleh batasan finansial. Namun, faktanya adalah bahwa biaya kuliah yang tinggi sering kali menjadi tembok yang tidak dapat ditembus bagi banyak individu. Laporan Global Education Monitoring (GEM) oleh UNESCO mencatat bahwa di beberapa negara, biaya kuliah dapat mencapai jumlah yang signifikan. Bahkan dengan adanya bantuan keuangan dan beasiswa, masih banyak keluarga yang tidak mampu membiayai pendidikan tinggi anak-anak mereka. Ini menciptakan ketidaksetaraan akses yang nyata, dengan mereka yang kurang mampu secara finansial terpinggirkan dari peluang pendidikan tinggi. Jika hanya segelintir orang yang mampu membayar uang kuliah yang tinggi yang bisa mendapatkan akses ke pendidikan tinggi berkualitas, maka kesenjangan ekonomi dan sosial akan semakin membesar.

Kenapa kesenjangan pendidikan juga memberikan pengaruh yang besar pada perekonomian suatu negara? Hal ini karena pendidikan yang tidak merata menciptakan kesenjangan dalam keterampilan dan pengetahuan, yang pada gilirannya memengaruhi tingkat penghasilan individu dan kelompok. Menurut laporan UNESCO (2020), setiap tahun tambahan pendidikan dapat meningkatkan pendapatan individu hingga 10%, dan ini dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun, ketidaksetaraan pendidikan seringkali mengakibatkan distribusi ekonomi yang tidak adil. Sebuah studi oleh Duflo (2012) menemukan bahwa negara-negara dengan ketidaksetaraan pendidikan yang tinggi cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lamban dibandingkan dengan negara-negara yang menerapkan pendidikan yang lebih merata.

Uang Kuliah Tinggi, Hidup Terbelenggu

Ada beberapa alasan mengapa problematika terkait uang kuliah di Indonesia masih menemui jalan buntu dan berkemungkinan menyebabkan hidup menjadi terbelenggu. Alasan pertama, masih banyak mahasiswa yang secara ekonomi masuk dalam golongan kurang mampu tetapi mendapatkan uang kuliah on top alias dikenai tarif tertinggi. Dalam hal ini, proses penyeleksian atau penggolongan uang kuliah mahasiswa sering kali tidak tepat sasaran. Proses penentuan golongan uang kuliah yang tidak transparan dari perguruan tinggi inilah yang menyebabkan banyak mahasiswa menjadi kesulitan karena uang kuliah yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka. Selain itu, bukan hanya uang kuliah yang harus mereka tanggung selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tetapi masih ada kegiatan-kegiatan lain yang membebani mahasiswa di luar biaya uang kuliahnya, misalnya kegiatan praktik dan beberapa kegiatan lain yang tidak bisa dipenuhi secara utuh dari uang kuliah. Belum lagi ada kegiatan yang tidak teranggarkan dalam kebijakan uang kuliah, seperti saat mahasiswa mengikuti perlombaan yang bersifat akademik maupun nonakademik di mana sulit sekali jika mengandalkan pembiayaan dari perguruan tinggi. Jika ditarik akar masalahnya, dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem uang kuliah belum diimpelementasikan sesuai dengan rumusan kebijakan yang ada, dengan kata lain minimnya biaya yang diterima kampus tidak seimbang dengan beban penyelenggaraan pendidikan.

Alasan kedua adalah mekanisme pengajuan keringanan uang kuliah sering kali ribet (misalnya harus melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu) dan fluktuatif (mudah berubah tiap tahunnya) sehingga cukup menyulitkan bagi mahasiswa, apalagi jika dihadapkan dengan birokrasi kampus yang rumit. Sehingga, banyak mahasiswa yang sebenarnya secara de facto memenuhi syarat untuk mendapatkan keringanan uang kuliah, tetapi terhalang oleh sekelumit persyaratan administratif yang tidak mampu dipenuhinya.

Alasan ketiga adalah meskipun ada berbagai program beasiswa yang paling tidak dapat membantu, tetapi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa sangat terbatas. Beberapa kriteria seleksi yang seringkali tidak mencerminkan secara tepat bakat atau potensi akademis seseorang, melainkan berfokus pada pencapaian nonakademis, dapat menciptakan ketidaksetaraan tambahan. Sistem ini seringkali memberikan keuntungan bagi siswa yang memiliki akses ke pelatihan tambahan atau kegiatan ekstrakurikuler yang lebih mahal, meninggalkan siswa dengan latar belakang ekonomi yang lebih rendah di belakang.

Alasan keempat adalah salah satu konsekuensi paling nyata dari meningkatnya biaya uang kuliah adalah beban utang pendidikan yang menumpuk di pundak para lulusan. Dalam masyarakat yang membanggakan diri pada kemajuan dan inovasi, paradigma ini menciptakan generasi yang terbelenggu oleh utang sejak awal karir mereka. Utang pendidikan yang mereka tempuh sebelumnya dapat membatasi pilihan hidup dan bahkan mempengaruhi keputusan untuk mengejar profesi yang kurang menguntungkan tetapi stabil secara finansial ketika mereka lulus.

Alasan kelima adalah biaya operasional perguruan tinggi yang lebih besar dari sumber pendapatannya, sehingga kekurangan tersebut dilimpahkan bebannya kepada mahasiswa berupa lonjakan uang kuliah. Selama ini, sumber anggaran pendidikan berasal dari masyarakat dan pemerintah. Sumber dana masyarakat adalah uang kuliah yang dibayarkan mahasiswa tiap semesternya, ada juga yang berasal dari kerjasama yang dilakukan oleh pihak perguruan tinggi, misalnya kerjasama riset, dan lain sebagainya. Selain dari unsur masyarakat, ada juga sumber lain yang berasal dari pemerintah melalui BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) yang merupakan subsidi pemerintah untuk menutup biaya operasional.

Alternatif Pendidikan: Peluang atau Utopia?

Dalam menghadapi tantangan uang kuliah yang semakin tinggi, muncul pertanyaan tentang apakah ada alternatif untuk model pendidikan yang ada. Hal ini karena kurangnya alternatif pendidikan yang terjangkau juga merupakan kontributor utama terhadap ketidaksetaraan pendidikan. Mayoritas orang memandang bahwa pendidikan tinggi adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan, menyisihkan opsi-opsi lain seperti pendidikan vokasional atau pelatihan keterampilan yang dapat menjadi pintu gerbang bagi banyak individu yang memiliki bakat atau minat di luar ranah akademis. Ini bukan hanya akan membantu mengurangi tekanan finansial, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan beragam. Sebenarnya sudah banyak negara yang telah mencoba pendekatan berbeda, seperti menyediakan pendidikan tinggi gratis atau dengan biaya yang sangat rendah. Namun, apakah model-model ini dapat diterapkan secara universal, termasuk di Indonesia, dan apa konsekuensinya terhadap kualitas pendidikan? Pertanyaan ini memunculkan debat mendalam tentang masa depan pendidikan tinggi.

Melihat kompleksitas masalah ini, perlu adanya solusi holistik serta memerlukan tindakan konkret dan kolaboratif dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pemerintah memiliki peran sentral dalam mengatasi ketidaksetaraan pendidikan yang disebabkan oleh uang kuliah. Salah satu langkah pertama adalah menganalisis dan mereformasi sistem pendidikan yang ada untuk memastikan bahwa akses ke pendidikan tinggi tidak bergantung pada status ekonomi. Langkah-langkah konkret seperti pembiayaan rendah bunga, atau bahkan skema pembiayaan khusus dapat menjadi langkah efektif untuk mengurangi beban finansial bagi mahasiswa. Tidak hanya itu, inovasi dalam sistem keuangan juga dapat membantu. Skema pinjaman pendidikan yang lebih adil, di mana pembayaran dilakukan berdasarkan penghasilan setelah lulus, dapat menjadi solusi yang efektif. Pendekatan ini telah terbukti berhasil di beberapa negara dan memiliki potensi untuk diadopsi di tingkat global.

Reformasi sistem beasiswa juga dapat menjadi langkah penting untuk mengurangi ketidaksetaraan pendidikan. Kriteria seleksi harus diperiksa ulang untuk memastikan bahwa mereka mencerminkan bakat dan potensi akademis sejati, bukan hanya pencapaian nonakademis yang mungkin terkait dengan keuntungan ekonomi. Selain itu, peningkatan dana beasiswa dan diversifikasi sumber-sumber pendanaan dapat membantu meningkatkan aksesibilitas pendidikan tinggi.

Namun, ada tantangan dalam mengimplementasikan solusi ini. Misalnya, sumber daya keuangan mungkin terbatas dan ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan mungkin sudah tertanam begitu dalam sehingga memerlukan perubahan struktural yang signifikan. Selain itu, pandangan masyarakat terhadap pendidikan dan kemampuan pemerintah untuk memprioritaskan masalah ini juga dapat memengaruhi kemungkinan kesuksesan implementasi solusi. Faktor-faktor seperti korupsi dan konflik bersenjata juga dapat menjadi penghalang utama dalam upaya mengatasi ketidaksetaraan pendidikan.

Kita harus menyadari bahwa masalah ini tidak hanya menyangkut individu atau keluarga tertentu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan yang setara adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, kita perlu melampaui diskusi tentang biaya uang kuliah dan mengambil tindakan nyata untuk mengubah sistem pendidikan sehingga semua individu, tanpa memandang lapisan sosial atau ekonomi, memiliki kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi pada masa depan yang lebih baik.

Sebagai masyarakat yang berkomitmen pada nilai-nilai kesetaraan, kita harus bersatu untuk mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi akses pendidikan. Uang kuliah tidak boleh menjadi penghalang yang tidak dapat diatasi bagi individu yang memiliki potensi untuk berkembang melalui pendidikan. Dengan memahami dampak sosial dan ekonomi uang kuliah, kita dapat merancang solusi yang efektif dan berkelanjutan, membawa kita menuju masyarakat yang lebih adil dan berpendidikan secara merata.

Melintasi Jurang dan Menjadi Arsitek Perubahan

Sebagaimana kita meratapi ketidaksetaraan, marilah kita bersama-sama menjadi arsitek perubahan. Jadilah suara yang tak terabaikan, menjadi katalisator bagi transformasi pendidikan. Dengan mengejar pengetahuan bersama, kita bisa menciptakan masa depan di mana kesempatan pendidikan adalah hak setiap individu, bukan hak terbatas oleh dompet.

Sekarang, kita tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi kita menjadi perubahan itu sendiri. Dalam setiap tindakan kecil, dalam setiap kata yang kita sampaikan, kita membentuk narasi yang memandu kita ke arah perubahan yang positif. Mari kita wujudkan visi pendidikan yang menciptakan keberlanjutan, keadilan, dan kesetaraan.

Mungkin perjalanan ini tidak mudah, namun pada akhirnya, nilai pendidikan yang adil dan merata akan menjadi mahkota kejayaan kita. Dalam melibas ketidaksetaraan pendidikan, kita bersama-sama menciptakan cerita orisinal yang tidak hanya mengagumkan, tetapi juga mewariskan warisan keadilan untuk generasi yang akan datang. Hiduplah sebagai agen perubahan, dan saksikan bagaimana uang kuliah yang kini menciptakan jurang sosial, akan menjadi pondasi yang merangkul keberagaman dan menyatukan masyarakat menuju masa depan yang lebih cerah.

 

Penulis: Aldini Pratiwi

Editor: Wahyu Lusi Lestari