Pacaran menjadi sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi di masyarakat,bahkan telah menjadi tren anak muda saat ini. Hubungan yang terjadi dalam pacaran terkadang menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya tindak kekerasan dalam pacaran (KDP). Kekerasan dalam pacaran atau dating violence merupakan tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan biasanya meliputi kekerasan fisik, psikis, ekonomi, pembatasan aktivitas, atau seksual. Bahkan menurut data Simfoni PPA tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar atau teman. Lalu apakah mahasiswa UNS mengetahui apa itu kekerasan dalam pacaran dan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran? Serta sejauh mana kasus kekerasan dalam pacaran yang terjadi di kalangan mahasiswa UNS?
Berangkat dari hal tersebut, Tim Riset LPM Kentingan UNS melakukan penyelidikan pada 17-23 Januari 2021 untuk mengetahui kasus kekerasan dalam pacaran yang dialami mahasiswa aktif UNS. Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif dengan metode jajak pendapat melalui penyebaran kuesioner daring dengan pertanyaan terbuka dan tertutup kepada Mahasiswa UNS dari 11 fakultas (FK, FMIPA, FP, FT, FSRD, FIB, FEB, FISIP, FH, FKIP, dan FKOR) dan Sekolah Vokasi. Jumlah responden yang didapat sebanyak 211 responden. Kami menentukan responden melalui simple random sampling dengan tingkat kepercayaan 90% dan margin of error 5,6%.
Sesuai data yang kami peroleh, sebanyak 91,9% (194 responden) mengetahui apa itu kekerasan dalam pacaran dan apa saja bentuk kekerasan dalam pacaran. Sementara sisanya 8,1% (17 responden) tidak tahu apa itu kekerasan dalam pacaran dan apa saja bentuk kekerasannya. Lalu dari 211 responden, sebanyak 75,4%(159 responden) mengaku pernah menjadi korban kekerasan dalam pacaran baik secara fisik, psikis, ekonomi, pembatasan aktivitas, atau seksual. Selanjutnya sisanya 24,6% (52 responden) mengaku tidak pernah menjadi korban kekerasan dalam pacaran.
Sebanyak 159 responden yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran, terdapat 39,6% (63 responden) pernah mengalami kekerasan fisik dalam pacaran. Proporsi jenis kekerasan fisik dalam pacaran yang dialami responden, yaitu 66,7% responden pernah dicubit, 41,3% responden pernah dipukul, 12,7% responden pernah ditendang, 57,1% responden pernah dicengkram, 44,4% responden pernah ditampar, 54% responden pernah didorong, 3,2% responden pernah dijambak, 3,2% responden pernah digigit, 1.6% responden pernah dicekik, dan 1,6% responden pernah dibanting.
Sementara itu, responden yang mengaku pernah mengalami kekerasan psikis dalam pacaran sebesar 81,1 % (129 responden). Proporsi kekerasan psikis yang pernah dialami responden, yaitu 39,5% responden pernah diancam, 40,3% responden pernah dijelek-jelekan, 29,5% responden pernah dipermalukan, 20,2% responden pernah di-bully, 34,1% responden pernah dipanggil dengan sebutan kurang baik, 89,9% responden pernah dibohongi, 3,1% responden pernah ditekan, 70,5% responden pernah dibentak, dan 3,9% responden pernah dikhianati.
Berikutnya pada bentuk kekerasan ekonomi dalam pacaran, kami memperoleh data sebesar 24,5% (39 responden) yang mengaku pernah mengalami kekerasan ekonomi dalam pacaran. Proporsi jenis kekerasan ekonomi dalam pacaran yang pernah dialami responden, yaitu 10,3% responden dipaksa membiayai hidup pacar, 15,4% responden mengaku dikuras harta bendanya, dan 100% responden mengaku selalu mengeluarkan biaya pacaran.
Data selanjutnya terkait kekerasan pembatasan aktivitas dalam pacaran, sebesar 81,8% (130 responden) mengaku pernah mengalami kekerasan pembatasan aktivitas dalam pacaran. Berbagai jenis pembatasan sosial yang pernah dialami responden, yaitu 83,8% responden memiliki pasangan terlalu posesif, 57,7% responden dikekang pacar, 73,1% responden selalu dicurigai pacar, dan 60% responden selalu diatur pacar.
Beralih pada kekerasan seksual dalam pacaran, sesuai data yang kami temukan ternyata sebesar 34,6%(55 responden) mengaku pernah mengalami kekerasan seksual dalam pacaran. Proporsi jenis kekerasan seksual dalam pacaran yang pernah dialami responden, yaitu 67,3% responden mengaku pernah dicium paksa oleh pacarnya, 60% responden mengaku pernah dipeluk paksa, 69,1% responden diraba paksa, dan 30,9% responden mengaku pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual.
Sesuai data-data sebelumnya dapat kita ketahui bahwa kekerasan dalam pacaran juga terjadi di kalangan mahasiswa UNS. Lantas, bagaimana perlakuan korban terhadap pacarnya setelah terjadi kekerasan dalam pacaran? Sesuai data yang kami peroleh sebesar 18,2% responden membiarkan, 12,6% responden lapor kepada seseorang, 52,8% responden meminta pacar agar tidak diulangi, 34% responden memaafkan, 18% responden memilih pasrah dengan keadaan, 28,3% memilih untuk mempertahankan hubungan, 43,4% responden memilih untuk putus hubungan, dan 23,9% responden memilih untuk membalas atau melawan.
Dari semua data yang kami peroleh dapat disimpulkan bahwa dalam berpacaran dapat menimbulkan kekerasan yang bisa menyebabkan hubungan menjadi toksik. Di sisi lain, dapat kita ketahui bahwa angka kasus kekerasan dalam pacaran di kalangan Mahasiswa UNS termasuk tinggi. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam pacaran, salah satunya budaya patriarki yang sudah mengakar pada kehidupan masyarakat. Sementara itu, hubungan yang mempunyai perasaan superior dan ingin menguasai pasanganya dapat membuat hubungan tersebut menjadi toksik. Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam pacaran maka perlu sebuah payung hukum guna melindungi dan menciptakan keadilan bagi korban, khususnya korban kekerasan seksual dalam pacaran. Harapannya dengan adanya riset ini, semoga dapat menjadi suatu bentuk dukungan agar RUU PKS segera disahkan.
Data: Tim Riset LPM Kentingan
Penulis: Ellen Pramesti Wijaya
Editor: M. Wildan Fathurrohman
ellenpw21@gmail.com