Universitas Sebelas Maret (UNS) menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang paling diminati di Indonesia. Daya tariknya tidak hanya terbatas pada calon mahasiswa dari Solo dan sekitarnya, tetapi juga merambah ke berbagai daerah di luar Jawa, hingga ke pelosok Nusantara. Tak jarang di kampus ini banyak ditemui mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru negeri, termasuk Jayapura, yang memperkaya keragaman di lingkungan akademik UNS.
Menjadi mahasiswa sekaligus anak rantau merupakan tantangan yang unik dan penuh dinamika. Mereka dihadapkan pada dualitas: bagaimana cara menghadapi permasalahan yang ada di dunia perkuliahan sambil menjadi sosok yang mandiri karena jauh dari orang tua. Pada dasarnya, setiap individu memiliki persoalan dan solusi yang berbeda pula. Lalu, bisakah mereka melewati hari-hari yang sepi dan ketakutan diri selama jauh dari orang tua? Bagaimana mereka mengontrol semua masalahnya sendiri? Apakah mereka mampu menghadapi lika-liku perkuliahan sebagai anak rantau?
Menyeberangi Pulau Demi Mengenyam Pendidikan di UNS
“Aku dari kecil sampai besar tinggal di Jayapura. Sembilan belas tahun aku hidup, ini pertama kalinya aku hidup sendiri dan jauh dari orang tua,” terang Natasya Maharani, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia yang berasal dari Jayapura.
Berkuliah di UNS adalah salah satu impian besar Natasya. Sebelumnya, ia sempat menempuh satu tahun perkuliahan di Jayapura. Ketika ada pemberitahuan mengenai beasiswa pendidikan ke Solo, ia mencoba kembali. Dan di sinilah ia saat ini, Natasya telah berhasil menjadi mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UNS.
Berpindah ke Solo tentu saja membawa banyak perubahan bagi Natasya, termasuk perasaan kesepian yang kerap dialami mahasiswa rantau. Dukungan besar dari orang tua dan kerabatnya membuat Natasya yakin, bahwa pilihannya untuk mengejar pendidikan ke Solo adalah langkah yang tepat. Meskipun harus jauh dari keluarga, Natasya tidak ragu untuk mengambil langkah dan memulai kehidupan barunya di kota ini.
“Aku kaget, di Solo semuanya terasa murah. Di Jayapura, lalapan ayam aja bisa sampai 28 ribu, di Solo 10-15 ribu udah dapat makanan dan enak. Di sana, uang 100 ribu kayak enggak ada apa-apanya,” ungkapnya.
Natasya mengakui, Solo memiliki akses transportasi umum yang baik dan segala hal terlihat mudah serta murah. Hal ini yang menjadikan Natasya sedikit boros karena membeli berbagai barang yang ia rasa mahal di Jayapura.
“Di Solo, kan, ada Gacoan, ya, dan harganya relatif murah. Kalau di Jayapura enggak ada Gacoan. Kalaupun ada itu juga homemade. Harganya bisa sampai 25 ribu-an,” lanjutnya.
Kesepian adalah Tantangan Terbesar bagi Mahasiswa yang Tinggal di Perantauan
Kesepian sering kali menjadi tantangan yang paling berat bagi sebagian besar mahasiswa rantau. Mereka harus terbiasa menjalani hari-harinya sendiri di perantauan. Sebelum menjadi anak rantau, mereka kerap melakukan banyak kegiatan bersama keluarga. Namun, sekarang mereka harus melakukannya sendiri karena jauh dari keluarga.
“Ada waktu tertentu di mana biasanya aku pergi sama keluargaku, entah itu ke rumah saudara atau ke mana. Tapi sekarang enggak bisa lagi. Kalau merasa sedih dan sepi, sih, pasti iya, tapi besoknya aku udah baik-baik aja,” tutur Natasya.
Luthfia Hardiatari, mahasiswa UNS asal Banjarnegara, juga merasakan dampak dari kesepian dan kesedihan yang menghampiri selama jauh dari kampung halaman.
“Tentu aku sedih karena apa-apa harus sendiri, jauh dari keluarga, enggak kenal siapa-siapa. Tapi untungnya, waktu pertama kali ngekos di Jogja, sebagian tetangga kosku usianya lebih tua, jadi berasa diemong. Ini juga yang bikin aku merasa nyaman. Waktu pindah ke Solo, aku jadi lebih ngerti apa saja yang harus aku lakukan,” ungkap Luthfia.
Berkabar dengan keluarga di rumah menjadi pelipur bagi rasa sepi yang kerap mereka alami. Meski tidak selalu sering atau lama, momen singkat berbincang dengan orang-orang tercinta sangat cukup untuk meredakan kesendirian dan memberikan ketenangan di tengah hiruk-pikuk kehidupan rantau.
“Alhamdulillah, ibu aku sering menelepon. Selalu nanya kabar aku gimana, sudah salat atau belum, minum vitamin atau enggak. Walaupun enggak tiap hari, tapi berhasil membuat aku ngerasa kalau jadi anak rantau ternyata enggak semengerikan itu jika disertai dengan dukungan orang tua,” terang Natasya.
Teman menjadi Penghibur bagi Anak Rantau
“Hubungan baik sama teman di tempat rantau itu juga penting banget menurutku, karena siapa yang mau bantu kita kalau bukan mereka. Kita, kan, jauh dari orang tua, ya. Main sama teman kos itu rasanya seru banget. Cuma kumpul aja buat main uno atau makan bareng, itu rasanya healing buat aku,” ungkap Luthfia.
Sama seperti yang dirasakan oleh Luthfia, Natasya mengaku kehadiran teman di perantauan adalah hal yang sangat dirinya syukuri.
“Aku kalau kesepian biasanya ajak teman aku main. Kalau mereka lagi punya kesibukan, aku juga bisa main sendiri. Teman-temanku sering main ke kos. Bahkan baju, bantal, guling, selimut mereka juga ada di kosku. Rasanya jadi kayak ngekos berdua, setidaknya ada yang nemenin. Mereka kayak belahan jiwa dan ragaku di rantau ini,” tutur Natasya.
Cara Anak Rantau Survive Menghadapi Lika-Liku Dunia Perkuliahan
“Setiap orang, kan, berbeda-beda, ya. Kalau aku, benar-benar menerapkan aku harus bersih-bersih. Kalau enggak bersih-bersih pasti berantakan. Selain itu, aku juga harus bisa mengatur waktu. Udah capek banget di kampus, banyak tugas, sampai kos harus tetap belajar. Belum lagi harus bersih-bersih, nyuci baju, jadi harus memaksimalkan waktu istirahat, sih,” ungkap Luthfia.
Perihal keuangan juga menjadi PR lain bagi mahasiswa rantau. Mengelompokkan uang saku yang diberikan dengan baik menjadi salah satu cara survive di tempat rantau.
“Waktu pertama kali ke sini, aku masih membawa harga-harga di Jayapura. Jadi, semua hal terasa murah. Aku sampai keteteran karena belanja-belanja terus. Makin lama, aku mulai beradaptasi dengan harga di Solo. Sekarang uang 20 ribu udah aku bilang mahal,” terang Natasya.
“Aku uang saku dikasih mingguan. Aku alokasikan buat kebutuhan yang paling penting, misalkan untuk air isi ulang sama bayar listrik. Kalau di satu waktu ada kebutuhan buat bayar buku, aku pisah dulu sebagian dan sisanya untuk makan sehari-hari. Menyesuaikan aja apakah di minggu itu lagi banyak pengeluaran atau enggak,” jelas Luthfia.
Lantas, bagaimana dengan makan sehari-hari?
“Buat makanan, kalau misalkan lagi senggang banget aku maunya masak sendiri, makanannya yang simpel aja. Tapi kalau lagi padat kuliahnya, aku cuma masak nasi aja, lauk dan sayurnya aku beli. Misalkan aku lagi repot banget sama kegiatan, ya, aku beli makan aja,” lanjut Luthfia.
Peristiwa Lucu yang Pernah Terjadi selama menjadi Mahasiswa Rantau
“Dulu awal ngekos, kamarku dan kamar temanku kayak gantian ketimpa bencana bergiliran gitu. Pertama, pas malam-malam gagang pintu kamarku copot dan enggak bisa masuk kamar. Pernah juga pintu kamarku kekunci jadi aku enggak bisa masuk kamar malam itu. Akhirnya, aku tidur di kamar temanku, deh. Kamar temanku juga pernah kebanjiran karena tempatnya di depan tangga. Waktu hujan, air dari atas turun dan banjir,” ungkap Luthfia.
Natasya pun kerap mengalami kejadian lucu selama menjalani kehidupan sebagai anak rantau. Salah satu kebiasaannya yang belum hilang adalah sering lupa membawa kunci kamar kos, hingga berkali-kali terpaksa harus menunggu di luar.
“Aku pernah sudah masuk kelas, tapi kunci kamarku, kok, enggak ada? Ternyata masih menggantung di pintu kos. Aku telepon temanku dan minta tolong buat ngambil kuncinya, jadi temanku singgah ke kos cuma buat cabut kunci kamarku,” tutur Natasya.
Pelajaran yang Bisa Dipetik setelah menjadi Mahasiswa Rantau
“Setelah hidup sendiri di kos, aku jadi sadar kalau kita harus pandai menjaga kebersihan. Sesimpel langsung buang sobekan bungkus makanan biar enggak bikin semut berdatangan dan kotor. Karena tanpa sadar kita bisa menimbun sampah itu kalau enggak dibuang langsung. Meskipun terlihat gampang, tapi itu susah,” jelas Luthfia.
Menjadi anak rantau bukan hanya soal beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi juga pembelajaran tentang tanggung jawab dan kemandirian. Setiap tantangan, mulai dari mengelola waktu hingga menjaga kebersihan, mengajarkan mereka hal-hal kecil yang nantinya berdampak besar pada kemampuan mereka untuk bertahan dan bertumbuh di tengah dinamika kehidupan.
Penulis: Firda Izzatu Mahya
Editor: Aldini Pratiwi