Ilustrasi: Nurul Dyah Anggar Lestari/ LPM Kentingan

Karya Seni yang Diharamkan: Pembredelan dan Pembungkaman Band Sukatani

2

Kebebasan berekspresi adalah hak setiap individu untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, atau informasi secara bebas, baik melalui lisan, tulisan, seni, maupun bentuk ekspresi lainnya, tanpa adanya tekanan atau intimidasi dari pihak manapun. Hak asasi manusia untuk dihormati, dipenuhi, dan dilindungi secara menyeluruh dapat dilihat melalui kebebasan berekspresi yang merupakan hak alami setiap individu sejak lahir, yang mencakup hak untuk menerima hak-haknya dari negara.

Pengakuan terhadap kebebasan berekspresi dalam hukum internasional tercantum dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa, setiap individu berhak memiliki dan mengungkapkan pendapat tanpa gangguan serta berhak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta pandangan dengan cara apapun tanpa adanya batasan. Di dalam hukum nasional,, hak ini juga tercantum dalam Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, ironisnya, kebebasan berekspresi di Indonesia akhir-akhir ini semakin terancam. Banyak suara, media, bahkan karya seni yang dibatasi melalui tindakan pembredelan atau pembungkaman dari berbagai pihak, yang mencerminkan kemunduran atas jaminan yang diberikan oleh undang-undang tersebut.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang bagi individu dan kelompok untuk menyampaikan pendapat secara bebas semakin menyempit. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya kebebasan berpikir dan berkreasi yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi. Salah satu contoh yang baru-baru ini mencuat adalah klarifikasi yang dibuat oleh band punk, Sukatani, terhadap karya seni mereka di media sosial.

 

Esensi Lagu “Bayar Bayar Bayar” 

Lagu “Bayar Bayar Bayar” oleh band Sukatani merupakan sebuah karya seni yang mengandung kritik sosial terhadap praktik suap, korupsi, dan ketidakadilan dalam masyarakat, khususnya yang melibatkan aparat penegak hukum, yaitu kepolisian. Lagu ini menggambarkan tindakan-tindakan yang merugikan keadilan dan menghambat penegakan hukum secara adil, serta mengungkapkan bagaimana perilaku tidak etis ini berdampak negatif pada kepercayaan publik terhadap institusi hukum tersebut.

 

Melalui liriknya, band Sukatani menyampaikan bahwa sistem sosial dan hukum di Indonesia, sebagaimana digambarkan dalam lagu mereka, sering kali terjerat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Contohnya, uang atau suap menjadi jalan keluar untuk berbagai masalah, mulai dari hal kecil seperti tilang lalu lintas hingga isu yang lebih besar, seperti korupsi atau konflik dengan aparat negara.

 

Seni Direpresi, Suara Dibungkam

Lagi dan lagi, represi dan pembungkaman terhadap karya seni terjadi di tanah air. Band punk Sukatani, dengan lagunya bertajuk “Bayar Bayar Bayar,” terpaksa di-take down karena dianggap menyinggung pihak KAPOLRI. Lagu berdurasi empat menit tersebut berisi kritik terhadap praktik pembayaran kepada polisi. Akibatnya, band ini diintimidasi dan dipaksa untuk merilis permohonan maaf kepada KAPOLRI.

Dalam video klarifikasinya, Muhammad Syifa dan Novi Citra menyampaikan permohonan maaf kepada KAPOLRI dan menjelaskan bahwa lagu tersebut ditujukan pada oknum polisi yang bekerja tidak sesuai aturan. 

Aksi menekan kebebasan berekspresi ini tentu sangat disayangkan. Karya seni yang seharusnya menjadi sarana bebas untuk mengekspresikan diri kini harus direpresi, dibredel, dan dibungkam oleh pihak-pihak terkait.

Seni seharusnya menciptakan ruang untuk berbagai perspektif, termasuk yang menentang status quo. Di sisi lain, karya seni yang kritis adalah salah satu cara untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dengan menciptakan ruang bagi kritik dan ekspresi ketidakpuasan.

Represi terhadap seni dapat memperparah polarisasi sosial dengan menciptakan jurang pemisah antara penguasa dan rakyat. Pembungkaman terhadap karya seni menimbulkan perasaan tidak didengar dan diabaikan, meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, memperburuk ketegangan sosial, dan menggagalkan upaya rekonsiliasi.

Pembungkaman terhadap karya seni yang mengkritik pemerintah berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi, karena mengurangi kesempatan bagi suara-suara oposisi. Dengan demikian, hal ini dapat berujung pada pemerintahan yang otoriter dan tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat.

 

Pemerintah yang Merasa Terancam

Idealnya, ketika pemerintah dikritik, langkah yang diambil seharusnya adalah introspeksi dan menunjukkan toleransi terhadap kebebasan berekspresi, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun, apa yang terjadi pada Sukatani kali ini justru mencerminkan ketidakmampuan aparat untuk menerima kritik.

Seakan sudah menjadi hal biasa jika suara masyarakat tidak didengar dan pemerintah sering kali menutup telinga. Tindakan ini mencerminkan adanya ketakutan akan perubahan dan tantangan terhadap kekuasaan.

Bagaimana tidak? Seni yang tajam dapat menggoyahkan status quo. Lalu, yang dilakukan pemerintah untuk merespons hal tersebut adalah dengan cara yang tidak etis, seperti merepresi dan membungkam, karena mereka menganggap hal itu akan memperburuk citra mereka. Perlu diingat, bahwa bagi mereka, citra lebih penting daripada moral.

 

Intervensi yang Membungkam Kritik

Intervensi dalam seni adalah usaha untuk mengubah, mengatur, atau memengaruhi karya seni dengan tujuan tertentu, yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau institusi. Intervensi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, baik yang dilakukan oleh pihak luar yang berusaha memodifikasi, membatasi, atau bahkan mendukung pesan atau estetika dari karya seni tersebut.

Pertanyaannya adalah, sejauh mana suatu tindakan dapat disebut intervensi terhadap karya seni? Sejauh mana intervensi ini dapat dibenarkan? Apakah intervensi berfungsi untuk melindungi rakyat, atau justru malah membungkam kritik?

Ketika karya seni yang mengkritik pemerintah atau aparat penegak hukum dilarang disebarluaskan, hal ini menunjukkan bahwa intervensi digunakan untuk menekan suara-suara yang berusaha mengungkap ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Sebuah negara yang membungkam seni berarti membatasi kebebasan berpikir dan mengurangi hak rakyat untuk mendapatkan akses terhadap informasi yang beragam dan objektif.

 

Apa yang terjadi pada band Sukatani, terlihat jelas bahwa saat ini karya seni dianggap lebih berbahaya daripada senjata. Segala bentuk seni yang kritis, yang menyuarakan ketidakadilan dan hak masyarakat, telah dibungkam. Kini, Sukatani menjadi korban, mungkin besok giliranmu atau orang-orang di sekitarmu. Tidak menutup kemungkinan bahwa aparat-aparat yang represif akan terus menargetkan Sukatani atau siapa saja yang dianggap mengancam kekuasaan. Faktanya, demokrasi telah lama mati, dibungkam oleh kekuatan yang berlabel institusi. Lalu, akankah sejarah kelam Orde Baru 1998 akan terulang kembali? Semua tergantung pada pilihan kita: pilih lawan atau bungkam? Pilih diam atau menyerang? Yang jelas, kenyataan Indonesia yang gelap semakin terasa.

 

Penulis: Estri Khoirul Amalia

Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah