DAB mendadak tertunduk letoi di bangku burjo tempatnya bernaung. Padahal, empat menit sebelumnya dia berjingkrak-jingkrak macam jaran goyang sampai magelangan yang ia pesan nyaris tumpah. Mang Ujang, aa’ burjo pembela Tottenham yang semula nyaris pulang kampung gegara Salah-nya Liverpool membikin gol cantik, kini gantian cengar-cengir sambil mencium logo klub kesayangan di kaos yang ia pakai.
“Kampret! Dasar Divingham Hoaxspurs!”
“Jangan nyalahin Tottenham, dong A’,” Mang Ujang masih cengar-cengir ngeselin. Semua keputusan kan wasit yang ngambil.”
“Ya tapi tetap aja, Mang. Penalti pertama buat Hoaxspurs, Harry Kane harusnya Sudah offside dulu itu. Untung Karius masih setangguh Abdull Rohim dan Wawan Hendrawan di bawah mistar gawang. Nah, penalti kedua ini paling kacau. Udah jelas-jelas Erik Lamela diving – pura-pura jatuh – eh si wasit sama hakim garis malah ngasih penalti. Gol di menit akhir kayak gini sakit, Mang. Sesakit ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya.”
“Wasit adalah Tuhan dalam pertandingan, A’,” Mang Ujang berujar sambil menggelengkan kepala dan mengelus dada.
“Menurut pengamatan saya nih, ini Cuma masalah sudut pandang aja. Kalau dari tayangan ulang, memang kelihatan kalau Lamela diving. Tapi kan si hakim garis melihat dari sudut pandang dia. Dan dari situ, memang kelihatan banget kalau seolah-olah Lamela dilanggar, A’.
“Waduh, jangan bawa-bawa Tuhan dong, Mang,” si Dab membalas berkomentar. Magelangannya tersisa setengah.
“Alah, enggak papa, A’. Di negeri ini, Tuhan kan selalu dibawa-bawa ke semua persoalan. Ahaaay!” Celetuk Mang Ujang sambil membersihkan meja.
“Toh si wasit udah berusaha sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, buat menentukan keputusan. Dia sampai ngobrol berunding dulu sama asistennya sebelum ngasih penalti. Enggak asal nunjuk titik putih kayak wasit-wasit lokal, A’.
“Paling si wasit kongkalikong sama bandar judi pengaturan skor. Biar Harry Kane kesampaian nyetak seratus gol di liga Inggris, terus para bandar judi yang menang untung, deh.”
“Jangan asal nyosor sembarangan, A’, kalau ngomong. Keputusan kontroversial kayak gini mah biasa dalam sepakbola. Begitu ada yang kontroversial kayak gini, pasti langsung dikaitin sama pengaturan skor, lah; mafia sepakbola, lah; pesanan partai, lah….”
“Kok pesanan partai, A’?” Dab balik bertanya keheranan.
“Lah itu, wasit kampus yang se-profesi sama Aa’. Waktu dia ngasih kartu kuning ke presiden kan banyak yang koar-koar, katanya kartu itu pesanan salah satu partai.”
“Udah jadi rahasia umum, Mang, kalau si wasit kampus itu juga simpatisan partai tertentu.”
“Tapi kan kita enggak bisa menghakimi begitu aja, A’. Kritik kayak gitu mah, biasa dalam pemerintahan demokratis sekarang ini,” Mang Ujang yang cuma lulusan SMP nyatanya bisa berpendapat lebih ngintelek daripada mahasiswa semester akhir. “Asal….”
“Asal apa, Mang?”
“Asal kritiknya enggak asal kritik. Masak sekelas mahasiswa mengkritiknya masih sebatas orasi-orasi sarat emosi di jalan. Harus udah dikaji secara ngintelek dan mendalam dong, A’.”
“Elu tahu apa sih soal intelektualitas, Jang?” Kang Rohim yang lagi asyik masak mi rebus ikut menimpali.
“Nih, Jang, A’, aing bilangin ya. Keilmuannya mahasiswa tuh enggak jauh beda sama cara wasit mengambil keputusan di lapangan.”
“Halah, sok tahu lu, Him. Jangan mentang-mentang pernah pacaran sama mahasiswi FISIP, elu jadi sok-sokan ngerti jagat kemahasiswaan.”
“Diem, lu, Jang! Gini ya. Dalam mengambil keputusan, mau itu pelanggaran, tendangan bebas, penalti, kartu kuning, bahkan sampai kartu merah pun, wasit punya beberapa metode buat memutuskan. Dia bisa mengambil keputusan berdasar pengamatan personalnya yang diusahakan se-objektif mungkin; dia bisa berdiskusi dengan hakim garis sebagai asisten; bahkan sekarang kan wasit bisa melihat ‘jejak sejarah’ dari tayangan ulang di pinggir lapangan. Ya kayak mahasiswa kalau nulis skripsi. Memang keputusan wasit enggak melulu akurat, tapi kalau udah melalui metode yang objektif, kita patut menghargai, dong.”
Mang Ujang bertepuk tangan. “Him, sekarang aing mengakui kalau elu temen aing yang paling pinter se-paguyuban burjo Solo.”
“Saya setuju sama Kang Rohim. Tapi masalahnya, kartu kuning si mahasiswa tadi udah dikeluarkan lewat usaha keilmuan yang mendalam belum nih, Kang?” Dab selesai menyantap magelangannya.
“Itu persoalannya, A’. Kalau cuma asal ngasih kartu kuning, entar nasibnya bakal sama kayak lampu kuning di Ngoresan. Sudah tak pernah disebut (ingat! Dalam kata bangjo tidak ada warna kuning), tak pernah dianggap pula. Kan sia-sia, A’.”
“Wah, Kang Ujang boleh juga nih. Berhenti kerja di burjo, Kang. Ikut pilkada aja sana di Jawa Barat. Nantang si Nagabonar. He-he.”
“Saya kerja di burjo aja, A’. Lebih meringankan pikiran. Toh pilkada kan enggak lebih bemartabat dari pil KB.”
“Wadaw! Kok bisa, Mang?” Dab dan Mang Ujang bertanya hampir bersamaan.
Setelah menaburkan bawang goreng di atas mi rebus, menaruh sendok dan garpu di mangkuk, lalu menghantarkan pesanan ke abang GoJek di pojok burjo, Kang Rohim berhambur ke tengah ruangan. “Bisa dong, A’. Pilkada kan sebelas dua belas sama pil KB. Bedanya: pilkada, kalau jadi… lupa. Pil KB, kalau lupa… jadi.
Seisi burjo terpingkal sampai sepertiga malam tiba.[]
Satya Adhi.
Pjalankaki. Hobi menyampul buku dan kerap membuang kata-kata ke pjalankaki.blogspot.com. Surel: adhii.satya@gmail.com