Kanan

Oleh: Na’imatur Rofiqoh

 

SUATU tempo, Sukarno berujar jumawa, “Dewa-dewa dari kajangan pun tidak bisa membantah adanja kenjataan kekuatan revolusioner: Islam—Nasional—Komunis” (Minggu Pagi, 4 Nopember 1962). Pidato itu menggema ke seluruh negeri, menjadi titah yang mesti dijalani tanpa tapi. Mereka yang kontra revolusi dimusuhi.

 

Di kampus, berpolitik menjadi bagian dari lakon keseharian mahasiswa. Mereka bergabung dalam berbagai perkumpulan: Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), lain-lain lagi. Peristiwa berasmara dan menjalani peran di keluarga tak luput dari cemaran udara politik yang kian menyesakkan.

 

Kehidupan bermahasiswa yang mahamenggelisahkan masa itu direkam apik oleh Marga T. dalam novel Gema Sebuah Hati (1975). Mahasiswa-mahasiswa kedokteran Universitas Res Publica (Ureca) kala itu mesti tawakal berkuliah dengan buku seadanya sebab buku-buku dari pengarang Barat amat sukar diperoleh. Diktat dibikin sendiri dengan stensil bersumber hasil perkuliahan di kelas.

 

Dalam pergaulan, mahasiswa berkesadaran diri sebagai golongan proletar atau bagian dari borjuis. Di kampus, para proletar CGMI yang merasa di atas angin bertindak sebagai penguasa. Disiplin kampus ditegakkan dengan ancaman ketakutan tertuduh kontra revolusi.

 

Sampai jatuhlah malapetaka itu: September 1965.

 

Ureca yang kadung bercap komunis sebab menjadi markas CGMI, berlidah api. Kita menyaksikan Monik, mahasiswa tingkat empat itu terpaku di halaman kosnya. “Monik memandang dan memandang dan memandang. Dia tidak dapat percaya. Di sini? Di mukanya? Dia menyaksikannya sendiri? Sekolahnya dibakar? Hari depannya? Satu-satunya harapannya? Impiannya? Kakinya dirasakannya panas dan gemetar. Dadanya terasa sesak”  (1975:177). Tak hanya gedung yang rubuh, tuduhan komunis merubuhkan pula masa depan dan segala cita-cita segenap mahasiswa kampus itu: yang Islam, nasionalis, komunis, atau tidak ketiganya.

 

Gedung menghitam menyisakan puing-puing luka yang tak bakal mudah tersembuhkan. Kita mendengar Martin merana: “ ‘Tidakkah mereka tahu, tidak semua mahasiswa Ureca itu komunis? Tidakkah mereka tahu, kita sebenarnya justeru dimusuhi anak-anak CG? Teman-teman kita diskors. Kalau Civic tidak lulus, diancam tidak naik. Belum cukup sengsarakah hidup kita dengan masa study yang tidak menentu? Apakah pembakaran ini karena Ureca isinya orang-orang tertentu melulu???!!!’ ”  (1975: 179). Tetapi, siapakah yang mendengar kemarahan yang segera lenyap ditelan angin sore itu, dan kemarahan-kemarahan serupa di benak ratusan ribu korban malapetaka yang lain… Korban yang komunis, tercap komunis, atau sekadar dianggap bertampang komunis.

 

Pada Pulang (2013) Leila S. Chudori, Ureca telah berganti nama jadi Trisakti. Di sanalah putra Aji Suryo—adik seorang tapol yang melarikan diri ke Paris, berperistiwa sebagai mahasiswa. Di antara saudara-saudaranya, ia memilih bersikap pragmatis dan bergaul dengan kalangan elit. Rama berhasil menjadi pegawai sebuah BUMN dan berkasih-kasihan dengan putri direktur berkat kelihaian menyembunyikan identitas sebagai keluarga eks-tapol.

 

Badai terjadi saat Rama tiba-tiba kembali ke rumah setelah sekian tahun absen dari keluarga itu.

 

‘ “Pa, saya ingin menikah dengan Rininta. Dan saya hanya ingin meminta Papa dan Mama menjadi orangtuaku.”

 

“Dan Papa juga ingin meminta kamu menjadi anak Papa. Akui sebagai anak Papa, Aji Suryo. Keponakan Dimas Suryo.” ‘ (2013: 351)

 

Dalam narasi besar penembakan mahasiswa Trisakti Mei 1998, kita disuguhi sepotong kecil kisah seorang (mahasiswa) yang sedari awal menentukan pilihan menjadi pragmatis dan memilih mengubur dalam-dalam segala pertautan dirinya dengan sejarah keluarga. Tetapi, kita tahu, kebenaran akan selalu menemukan celah pembebasan dari penjara kebohongan yang melingkunginya.

 

Ureca telah masuk liang kubur setengah abad silam. Nisannya adalah peringatan bagi kampus-kampus lain. Jangan coba-coba menoleh apalagi belok kiri! Peringatan itu hadir bersama seperangkat kekerasan budaya, kejahatan intelektual, dan politik bahasa beraroma mawar memabukkan.

 

Di perpustakaan-perpustakaan kampus hari ini, kita bakal rada kesulitan menemui referensi-referensi kiri atau buku-buku bermisi memberi gangguan pada arus sejarah dominan.  Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS) misalnya tidak (atau belum) memiliki koleksi narasi-narasi kiri dalam berbagai buku yang mestinya menjadi cemilan mahasiswa di sela-sela waktu kuliah. Padahal, gedung perpustakaan berlantai tujuh itu konon berambisi menjadi pusat literasi internasional.

 

Sulit membayangkan sebuah pusat literasi berlabel internasional tidak memiliki khazanah kepustakaan luas yang berasal dari pusparagam pemikiran dari berbagai sudut dunia. Kecuali melabeli perpustakaan bertaraf internasional semudah melabeli sejenis seminar: yang penting telah menghadirkan pembicara berasal dari luar negeri, meski cuma negeri tetangga!

 

Tetapi, siapakah… Siapakah mahasiswa yang sempat mengingat Ureca dan menyadari kenyataan getir warisan malapetaka 1965: kampus-kampus yang dikanankan sejak dalam pikiran.[]


naimaturrNa’imatur Rofiqoh. Penggarap sikiripisi (baca: skripsi), pendoa ulung. Surel: naimaturr@gmail.com.