Generasi muda menyandang gelar sebagai mayoritas pengguna media sosial dan pemilih yang mendominasi kontestasi politik 2024. Tak heran jika tren kampanye di media sosial semakin marak di kalangan para calon eksekutif dan legislatif. Meskipun begitu, media sosial sebagai medium berkampanye memiliki dua ujung tombak yang saling bertolak belakang. Bisa jadi memudahkan penyebaran informasi visi dan misi paslon, atau justru menjerumuskan dengan munculnya berbagai informasi hoaks. Hal inilah yang kemudian membuat para pemilih pemula rentan dalam menghadapi proses pengambilan keputusan.
Menjadi Pemilih Pemula
Jika membicarakan generasi muda, maka tidak dapat lepas dari pemilih pemula. Dengan rentang usia 17 hingga 21 tahun, mereka kerap mengalami kebimbangan dalam memposisikan diri. Pasalnya pemilu kali ini mungkin akan menjadi gerbang pertamanya untuk berpartisipasi di dalam pemilihan. Belum lagi mereka masuk kedalam golongan mayoritas pemilih sesuai dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yaitu 52% dari jumlah seluruhnya. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah ini mencapai 106.358.447 jiwa dengan rentang usia pemilih muda antara 17 hingga 40 tahun.
Menggendong beban sebagai mayoritas pemilih, mereka juga masuk menjadi target suara oleh para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Berbagai upaya kampanye dilakukan untuk menggaet lebih banyak pemilih muda. Salah satunya yang aktif gencar dilakukan adalah kampanye melalui media sosial.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengguna internet dalam tiga bulan terakhir pada Maret 2023 sebanyak 94,16% adalah generasi muda usia 16 hingga 30 tahun. Dari kelompok tersebut, yang paling banyak diakses adalah media sosial (84,37%), berita (84,28%) dan hiburan (83,78%). Oleh karena itu, kampanye di media sosial menjadi lapak jualan yang pas bagi para paslon untuk membuat dagangannya laris di pasaran.
Media sosial dengan kebaikan dan keburukannya, tentu tidak dapat ditelan mentah-mentah segala informasi yang ada di dalamnya. Pembaruan informasi yang terus bergulir membuat pemilih pemula mau tak mau harus selektif. Bukan tak mungkin jika mereka akhirnya malah terjerumus ke dalam genangan informasi-informasi hoaks yang ada. Dapat dikatakan bahwa media sosial tampil sebagai pengendara pilihan para pemilih pemula.
Swing Voters dan Undecided Voters
Pemilih pemula yang minim pengalaman, cenderung akan antusias dalam pemilihan pertamanya. Namun, sandaran dalam pengambilan keputusan yang masih cenderung tidak stabil, membuat mereka kebanyakan menjadi swing voters. Mereka adalah pemilih yang masih bisa berubah pilihan politiknya.
Undecided voters juga kerap disambangi oleh para pemilih pemula. Mereka adalah pemilih yang belum mempunyai pilihan politik atau masih menyembunyikan pilihannya. Baik swing voters maupun undecided voters menjadi sasaran untuk digaet oleh para paslon capres-cawapres. Biasanya mereka lebih berpikir rasional dalam memutuskan pilihannya, sehingga gagasan-gagasan para calon dapat sangat memengaruhi mereka hingga hari pencoblosan.
Dalam survei terbaru Litbang Kompas, jumlah undecided voters sekitar 28,7% dalam pemilihan presiden 2024. Tak hanya sampai di situ, swing voters juga terus mengalami peningkatan dari tahun pemilu sebelumnya. Tercatat pada pemilu 2009 sebanyak 28,3%, kemudian meningkat pada pemilu 2014 sebanyak 29,1%. Kini dilansir dari hasil survei milik Arus Survei Indonesia (ASI) pada 2024, swing voters meningkat hingga angka 44%.
Kampanye Ugal-Ugalan
Kemudian apakah lantas menjadi swing voters maupun undecided voters akan dianggap salah? Tentu tidak. Setiap warga negara indonesia berhak atas pilihannya. Hanya saja mengingat jumlah yang tidak sedikit, keduanya diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan bijaksana. Sebab bentuk kampanye yang semakin menggeser gagasan-gagasan para paslon seakan terus menggerus rasionalitas pemilihnya.
Beberapa waktu belakangan ini, kita telah mengenal branding-branding seperti: gemoy, slepet imin, hingga salam tiga jari. Kampanye yang semakin mengaburkan visi-misi yang mereka usung. Gaya lama tak ditinggalkan, gaya baru sama menjerumuskannya. Seakan cara yang paling mudah sekarang adalah yang penting relate dengan zaman. Asalkan bisa diidolakan hanya melalui video beberapa detik, segala bentuk narasi dimunculkan.
Masalahnya, pemilih pemula kerap kegocek dibuatnya. Ada saja yang alasan dalam memilih hanya sebatas karena gemoy semata. Dari segala bentuk rasionalitas dalam pemilihan, tentu salah satu alasan ini dapat direpresentasikan sebagai alasan remeh di saat pemilih pemula digadang-gadang lebih berwawasan. Kecuali, jika memang alasan ini dibarengi dengan gagasan yang dinilai sejalan.
Lebih lanjut, narasi-narasi yang kini muncul di media sosial sangat miris keberadaannya. Buzzer yang semakin merajalela memenuhi sesak informasi ke arah yang patut dipertanyakan kebenarannya. Bahkan kini sudah menjadi hal wajar jika masing-masing pendukung saling melempar kebencian. Sebuah “pembodohan” tercetak ketika pemilih pemula sudah masuk ke dalam perangkap para buzzer yang berlomba-lomba meraih keviralan. Ada yang bombardir misinformasi, ada yang sibuk membuat konten sedih untuk mendapatkan simpati, ada pula yang menutup jalan yang rusak ciptaan jagoannya.
Branding dan buzzer menjadi pasangan yang tak dapat dipisahkan. Namun di tengah hiruk-pikuk keduanya, gerakan-gerakan relawan organik juga mulai bermunculan. Sebut saja di Twitter akan dijumpai akun seperti @aniesbubble dan @timpenguinnas. Bentuk-bentuk gerakan ini dijalankan oleh masing-masing pendukung di luar tim suksesor yang secara natural menjadi relawan. Jika digunakan secara positif, gerakan-gerakan ini dapat membantu para pemilih pemula dalam menemukan gagasan atau visi-misi paslon dengan lebih interaktif dan menarik. Relatable dan juga mencerdaskan. Namun, di sisi lain, bisa jadi para pemilih pemula semakin kesulitan setelah mendapatkan informasi yang lebih luas cakupannya. Bahkan ada kemungkinan mereka malah pengen menarik diri saking sudah lelah dengan tumpukan informasi di kepalanya. Oleh karena itu, media sosial patut disebut sebagai arena di mana swing voters dan undecided voters akan diuji.
Yakin Suaramu Enggak Penting?
Pada akhirnya, menjadi pemilih pemula adalah sebuah gelar yang dilingkupi kerentanan. Jika mereka menjadi swing voters atau undecided voters, bukan tidak mungkin jika berujung golput. Bisa jadi karena meningkatnya ketidakpercayaan, atau terlalu lama menimbang. Namun, pemilih pemula dipercaya lebih memiliki wawasan yang terbuka mengingat perannya yang mendominasi internet.
Dengan beban yang digendongnya, pemilih pemula harus dapat lebih bijaksana dalam memutuskan pilihannya. Bagaimanapun media sosial adalah ruang yang merdeka. Manusia mungkin tidak bisa mengontrol informasi yang akan muncul di sana, tetapi selalu ada opsi untuk menyeleksi penerimaan informasinya. Ada baiknya, pemilih pemula dapat menyelami akun atau website resmi paslon yang komplit penjabaran visi-misinya dibanding terlalu banyak nge-scroll TikTok atau media sosial lainnya yang mudah dimanipulasi. Cek juga rekam jejaknya, baca berita-berita yang dapat dipercaya, putuskan pilihan setelah yakin gagasannya sejalan dengan cara berpikir kalian.
Pemilu tinggal menghitung hari. Jangan sampai karena terburu-buru jadi asal memilih saja. Masa menjelang kontestasi politik memang terlalu bising untuk diterima oleh pemilih pemula, tetapi bersikap apatis tentu juga bukanlah keputusan yang tepat. Satu suara mungkin terdengar tak ada impact-nya, hanya saja bayangkan jika semua pemilih pemula memiliki pemikiran yang sama. Apakah tidak eman-eman kalau sebenarnya masa depan yang jadi taruhannya? Mari gunakan hak pilih kita dengan bijaksana, bukan demi sesiapa, anggap demi dirimu sendiri di masa mendatang.
Alifia Nur Aziza. Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa yang masih biasa saja.
Editor: Aldini Pratiwi