Jurnalisme Investigasi

Jum’at siang di bulan Mei, tepat disaat angka 13 melekat erat pada tiap-tiap kalender yang terpampang di seluruh wilayah Indonesia, diselenggarakanlah sebuah ritual rutin yang diikuti oleh segenap pengurus dan anggota LPM Kentingan. Tak lain dan tak bukan, ritual tersebut adalah diskusi internal.

Entah karena bertepatan dengan tanggal sial atau bukan, diskusi kala itu diadakan ruang sidang grha yang terletak di lantai tiga gedung Grha UKM. Karpet yang sebelumnya telah disipakan pun berganti dengan lantai yang bertaburkan debu dan kotoran. Ruang kesekretariatan LPM Kentingan, tempat kami biasa melaksanakan diskusi, tengah dipenuhi oleh belasan dus buku dari berbagai penerbit untuk acara Solo Membaca. Saya hanya merasa heran, dengan kondisi sekre yang tidak karuan dan personel yang tengah berhamburan dengan berbagai kesibukan, mengapa diskusi internal tetap harus dilaksanakan? Jan… seregep tenan…

Setelah berhasil mengumpulkan beberapa orang anggota yang menganggur dan menggiringnya menuju ruang sidang, diskusi pun saya mulai dengan salam dan beberapa patah kata pembuka. Setelahnya, saya mempersilahkan sang pembicara untuk menyampaikan materi diskusi yang telah dipersiapkannya. Adapun topik diskusi yang diangkat kala itu adalah jurnalisme investigasi. Belum sepatah kata pun keluar dari mulut pembicara, tapi ruang sidang telah dipenuhi oleh gelak tawa para peserta diskusi. Luar biasa memang. Nampaknya, Wulan, pembicara dalam diskusi kala itu, memiliki pesona tersendiri.

Setelah sempat uring-uringan, dengan intonasi ala pembaca berita investigasi (atau ala mahasiswa yang sedang berorasi?), Wulan pun menyampaikan materi diskusi. Ia menjelaskan tentang pengertian dari jurnalisme investigasi. Tak lupa, ia pun menjelaskan perbedaan-perbedaan yang ada di antara seorang jurnalis investigasi dengan jurnalis biasa. Sebagai pelengkap, Wulan membeberkan sebelas langkah reportase investigasi yang dicetuskan oleh Paul N. Williams, seorang wartawan investigasi dari Omaha.

Sepanjang pemaparan materi, nampak jelas raut wajah para pesera diskusi merana menahan tawa. Sedapat mungkin mereka berusaha untuk berkonsentrasi pada jalannya diskusi. Adalah Diyah, dengan wajah dan matanya yang memerah dan basah, yang terlihat paling tersiksa menahan tawa.

Materi  telah habis dipaparkan oleh Wulan, sesi diskusi pun saya buka. Sepi, layaknya sesi awal dari diskusi yang sudah-sudah, meskipun samar terdengar suara hahahihi pada diskusi kala itu. Tak ingin diskusi mati suri, saya pun menembak Mia selaku pimpinan umum untuk buka suara. “Lumayan… kapan lagi gue bisa mencoba untuk menjatuhkan wibawa seorang PU kalau bukan dalam diskusi?” batin saya dalam hati.

Setelah sempat menolak, Mia pun akhirnya angkat bicara. Ia mengungkapkan bahwa penerapan dari teknik jurnalisme investigasi itu masih sangat langka di kalangan persma. Selain cukup sulit, teknik tersebut juga dibayang-bayangi oleh berbagai macam resiko. “Kira-kira, cocok nggak, sih, jurnalisme investigasi diterapkan oleh persma?” tanya Mia pada Wulan sebagai penutup dari komentar dan sedikit pandangannya tentang jurnalisme investigasi.

“Tidak, karena resikonya terlalu besar,” tukas Wulan menanggapi.

Ayu menanyakan pada forum apakah jurnalisme investigasi itu melanggar kode etik jurnalistik atau tidak, karena liputan investigasi itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tanpa izin.

Pembicaraan pun menjalar pada reportase investigasi yang banyak ditayangkan di televisi. Para peserta diskusi meyakini bahwasannya reportasi investigasi yang ditayangkan tersebut hanyalah rekayasa. Makelar kasus dalam peliputan reportase investigasi menjadi salah satu topik pembicaraan yang cukup hangat bagi peserta  diskusi.

Selang beberapa waktu, beberapa orang peserta meminta izin untuk pergi meninggalkan diskusi. Ada yang harus segera pulang ke rumah, tapi ada juga yang harus pergi untuk liputan. Hujan yang turun kemudian nampaknya cukup menjadi ganjaran bagi mereka yang izin pergi untuk meninggalkan diskusi.

Menurut Hanif, investigasi itu hanyalah teknik atau cara dalam peliputan. Investigasi tidak perlu mengikuti kode etik. Hal yang paling penting dalam peliputan investigasi adalah proses verifikasi. Pendapatnya tersebut menjawab pertanyaan yang diajukan Ayu di awal diskusi yang kemudian diamini oleh peserta diskusi lainnya.

Jam di ponsel saya menunjukkan pukul 15.07. Itu menandakan bahwa waktu untuk diskusi telah tujuh menit terlampaui. Setelah membacakan sedikit ringkasan hasil diskusi, saya pun menutup diskusi dengan salam seraya berdoa dalam hati, “Semoga Tuhan mengampuni kami yang mungkin telah membuat sang pembicara sakit hati karena menertawakannya sepanjang diskusi…”

Haris Amanatillah