Foto: Rohmah Tri Nosita/LPM Kentingan

Jejak Joko Pinurbo di Patjarmerah Solo

Patjarmerah, festival kecil literasi dan pasar buku keliling nusantara kali ini melabuhkan perjalanannya di Kota Solo. Ndalem Djojokoesoeman dipilih sebagai rumah temu antara penikmat literasi dengan sang peramu literasi. Bernafaskan gaung pemerataan akses literasi, patjarmerah menyihir ironi yang terjadi melalui lokakarya, gelar wicara, nonton bareng, serta pasar buku mulai tanggal 1-9 Juli 2023. Dalam rangkaian acaranya, patjarmerah menggandeng wajah-wajah penting dalam dunia literasi. Salah satunya penyair ulung Indonesia, Joko Pinurbo atau yang akrab disapa Jokpin.

Mantra Pengubah Sampah jadi Mutiara

Perjalanan Jokpin di patjarmerah Solo bermula pada lokakarya “Menjernihkan Sajak: Sebuah Resep Penyuntingan Puisi” yang digelar pada hari pertama. Senada dengan untaian diksi khas ciptaanya, Jokpin hadir dengan tampilan sederhana tapi sarat makna bagi setiap mata yang memuja. Ditemani gemercik air dan suara angin yang sibuk bergulat dengan dahan pohon, Jokpin mulai membagikan resep penyuntingan puisi miliknya. 

“Menyunting itu sebetulnya bukan sekadar pekerjaan teknis. Akan tetapi bagaimana anda memperbaiki kata, frasa, atau ungkapan. Menyunting yang penting itu menata sistem atau cara berpikir kita tentang kata,” bebernya membagikan mantra rahasia buah dari pengalamannya puluhan tahun menulis.

Tak melulu mengurai materi, Jokpin langsung membagikan sebuah draf puisi panjang milik salah seorang mahasiswa kepada seluruh peserta. Ia mengajak para peserta menyelam lebih dalam dan mengupas tuntas puisi berjudul “Rumah Sunyi” itu. 

“Semua puisi saya awalnya sampah. Tapi karena saya tekun dan sabar, sampah itu jadi mutiara. Menyunting puisi itu sebetulnya menjadikan sampah jadi mutiara,” ungkapnya menabur pesan tersirat kepada peserta. 

Menurutnya, penyuntingan puisi perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, puisi harus memuat satu ide saja sehingga arah puisinya jelas. Kedua, perlu memperhatikan koherensi makna antar bait dalam puisi. Jangan bertele-tele, buang bagian yang tidak perlu.

“Puisi kalau terlalu banyak menjelaskan itu sama dengan tidak menjelaskan apa-apa. Karena semua sudah dihabiskan oleh penulis. Pembaca juga harus diberi ruang imajinasi,” imbuhnya.

Ketiga, ada pertimbangan yang lebih penting, yakni keselarasan musikal. Koherensi bukan hanya sekadar kebertautan makna. Penting pula bermain-main dengan keselarasan musikal. Membangun keselarasan rima akan memberi nilai estetika ketika puisi dibaca.

Terakhir adalah kesan akhir. Jika kata pertama dalam puisi adalah kunci untuk menggugah dan menarik minat pembaca, maka kesan akhir akan memberikan nyawa yang menghidupkan sebuah puisi di hati pembaca. Penyuntingan puisi menjadi sebuah mantra yang menyulap draf puisi yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa. 

“Coba bersikap begini. Ketika anda menulis, anda adalah seorang penulis. Ketika anda selesai membuat draf puisi, anda adalah kritikus dan seorang editor. Setelah itu anda jadi pembaca bagi karya sendiri. Sebagai pembaca, anda membaca ini (puisi karya anda) nikmat ga? Kalo ga, diulang lagi. Anda harus kejam terhadap karya anda sendiri,” ucap Jokpin. 

Menjumpai Puisi dari Segala Sisi

Melanjutkan perjalanannya di patjarmerah, Jokpin kembali hadir pada gelar wicara “Ada Puisi di Antara Kita” yang dihadiri pula oleh Lodia K. Nisari dan Peri Sandi Huizche. Puisi-puisi yang lahir dari tangan Jokpin banyak bertalian dengan unsur-unsur domestik. Salah satunya adalah buku puisi legendarisnya berjudul Celana

“Saya melakukan semacam pencairan ruang lingkup puisi bahwa apapun bisa dipuisikan, termasuk toilet pun bisa,” ujarnya. 

Kesan sederhana kian lekat sebab unsur yang dipilih begitu dekat. Puisi miliknya mungkin terlihat sederhana, namun sebenarnya diksi-diksi yang ia rangkai tidak sesederhana itu. Puisi-puisinya merupakan jelmaan kompleksitas yang menyamar dalam kesederhanaan. 

Tak hanya dari unsur domestik yang ada di sekitar, puisi dapat pula lahir dari kegelisahan dalam jiwa. Entah karena putus cinta, atau drama-drama kehidupan yang memunculkan problematika. Puisi terlahir dari segala sisi yang ada di dunia, sekalipun sang penulis belum menguasai objeknya, observasi jadi jawabannya. Objek apapun pasti bisa menjelma menjadi untaian diksi yang bermakna.

Di balik puisi-puisinya yang kental akan unsur domestik dan kesederhanaan, terdapat pula emas yang menyelimuti setiap sajaknya.

“Saya ingin puisi saya bisa dinikmati oleh pembaca dari berbagai kalangan, bukan hanya dari kalangan sastra. Meskipun untuk bisa menyelami isinya harus mikir juga. Tidak sesederhana tampilannya,” ungkap Jokpin. 

Sama halnya dengan lagu dangdut yang mengandung nilai katarsis yang besar, bagi Jokpin peran puisi pun demikian. “Tugas puisi adalah membantu orang yang punya problem mental untuk terselamatkan. Kalau puisi bisa menyelamatkan orang dari tekanan mental itu sudah cukup. Bahkan jika yang diselamatkan adalah dirinya sendiri,” jelasnya. 

Suara Para Pemuja

Beranjak dari seluk beluk penyuntingan puisi dan obrolan tentang puisi, Jokpin membuka orbit baru ihwal perasaan dalam sebuah puisi. “Perasaan itu dilahirkan oleh kata-kata. Kata-kata yang anda rangkai bisa memberikan efek perasaan tertentu. Jangan merangkai kata karena dorongan perasaan. Nanti kalau anda lagi marah, puisinya isinya marah-marah,” ujar Jokpin yang dibalas gelak tawa yang memenuhi gendang telinga.

Ungkapan itulah yang membekas di hati Ratna, salah satu peserta lokakarya pagi itu. Sebagai penggemar berat Jokpin, ia mengaku senang dapat menjumpai sosok di balik sajak-sajak yang ia baca. 

“Yang pasti senang dan tadi dapat banyak quote dari pak Jokpin. Salah satunya yang itu. Ternyata ada benarnya juga, dari kata-kata bisa menggerakkan perasaan,” beber Ratna.

Tak hanya Ratna, Ifa juga mengaku senang dapat hadir dalam lokakarya tersebut karena sebelumnya belum pernah mengikuti acara serupa. Kepuasan batin yang dirasakan kedua peserta lokakarya itu terlihat jelas dari lengkungan senyum, serta mata mereka yang berbinar. 

“Sangat berkesan sekali bertemu pertama kali dengan Pak Jokpin. Beliau ini ternyata seorang praktisi yang saya rasa bisa juga menjadi akademisi, karena cara menerangkannya runtut, sehingga kita tertarik untuk menulis juga,” ungkap Ifa.

Gaung Pemerataan Akses Literasi

Menilik keberjalanan patjarmerah di Solo, Ola, salah satu pengunjung yang hadir di patjarmerah juga merasa kehadiran patjarmerah di Solo membumbungkan binar cahaya pada dunia literasi.

“Keren sih, udah bagus. Soalnya lumayan anak-anak dikenalkan sama budaya membaca dari kecil. Bener-bener itu mempengaruhi cara pola pikirnya anak-anak,” ujarnya. Terlihat beberapa orang tua memang mengajak anak-anaknya untuk berenang-renang di tumpukan buku yang ada.  

Hal tersebut menyiratkan keberhasilan patjarmerah yang ingin mendekatkan akses literasi bagi semua kalangan. Bahkan, patjarmerah menggandeng komunitas-komunitas untuk terlibat dalam rangkaian acara, salah satunya komunitas Difalitera yang bergerak pada akses literasi bagi tunanetra. Patjarmerah ingin mendobrak sekat yang memisahkan antara manusia dengan literasi, antara penikmat literasi dengan peramu literasi, serta melahirkan literasi yang inklusi.

“Kami gak percaya minat baca rendah—akses literasinya yang belum merata. Kami juga menjunjung kesetaraan. Patjarmerah ingin membuat semua yang datang ke patjarmerah setara. Jadi kami tidak ada ruang tunggu pembicara, karena kami ingin interaksi semuanya berjalan dengan porsi yang sama,” ungkap Koordinator Acara dan Komunikasi patjarmerah, Wahyu Novianto. 

Penulis: Rohmah Tri Nosita

Editor: Revy Anestasia