Puisi-puisi Dhiazwara Yusuf Dirga A
Jatuh Tempo
Yogya tak jauh berbeda
Kota yang padu dengan gemuruh rel dan desakan pundak purnawaktu
Gerbong-gerbong konstan itu turut berderik
Menagih letupan rindu yang sudah jatuh tempo
“Livin la vida loca,” pekik kondektur sambil merunut lajur
Seperti dendam rindu harus dibayar tuntas pulas
Bukan soal halaman-halaman novel yang kauanggap sial
Bukan pula celetukan murah menyiasati gusar
Americano terjerembab di hadapan tegas gincu merah jambu
Jangan salahkan Dosa, kota, kenangan yang menyeruak di keterbatasan
bahasa(n)
Kopi susu, fill in blue
Periksa lagi surat kaleng yang mulai usang
Narasi jemawa dari tandusnya ruang bercinta
Pugaran kegelisahan dari lingkar keterikatan junta smansa
Semburat eksistensimu mendekap malam yang pesat
di peremperan kedokteran hewan
Lengkap, lekat
Yang kau terlewat
Aku mengais residu dari secercah ingatan garis bibirmu
Sukarela menjadi bulan-bulanan sorot lampu Sayidan
Lanskap pijar ceria yang menakar putus asa di tengah gaduh sumpit yang beradu
Menjumput kepastian di seronok mi godog Pak Anto
Paripurna
Setidaknya kabar-kabar tentang pisah ranjang dan adu gagasan itu dapat kupastikan
Bunga tidur yang bergeliat itu kini tak lagi tercekat
Lagi lagi asu
Asu bukan sembarang aku
Asu yang sama yang kita bawa lima tahun lalu
Asu yang kita janjikan
Asu yang menyalak dalam bait guyonan
Ah, Yogyakarta… Kadaluarsa.
(Yogyakarta, 2024)
itinerari
Seharian bertafakur buah impulsif jerembab ketidakpastian yang masif. Buntut urang yang tak dikondisikan merintis jalan pulang. Aku turut mengitari poros kesusastraan ala Mahmoud Darwish cabang Gondomanan. Menjumput kaleng Khong Guan suguhan Jokpin Jogja. Jogja yang seyogyanya manis. Dengan p(em)ilu yang diromantisasi di bawah gidik aspal Jalan Suroto. Kenalan dong, sama Adrianne Lenker. Not a lot, just forever. Headset Samsung bernada parau jadi bebunyian nyeri sepanjang perjalanan. Perjalanan mencari kitab asem kencur bersama occur. Byuh. Apalagi itu yang Mitski. Katanya dia my love mine all mine. Ya all mine, your love dijual terpisah.
(Yogyakarta, 2024)
Simple notes for ancient broken students
Kota yang asu bukan kepalang. Mengitari riak-riak selaput kekuningan di atas keningmu. Menjadi aku dan kita adalah niscaya yang tertunda. Bukan lagi perihal pashmina kastanye dan garis bibir yang melebar. Nafsu berjelaga dengan kedua mata telanjang di pusaran Taman Sari. Kesumatku melaju di bawah ketakutan brotowali.
Yang kau banggakan. Sudut-sudut kota dengan pelicinnya di bawah sekat gerobak biru. Kanebo Pak Dibyo yang kau andalkan tak lagi mengeringkan tetesan gusar di tengah Beringharjo. Apa yang Tumini lakukan adalah sehat. Mencampur populis dalam suwir ayam yang meregang di atas sumpit itu.
Bukan semata femme fatale atau pikatan ala kembang desa sebelah. Adalah aku yang kalut. Hingga mengambil peran yang telah tanggal. Barangkali jadi selanjutnya. Mengamini seterusnya. Ah, Yogyakarta. Jadikan.
(Surakarta, 2023)
Dhiazwara Yusuf Dirga A. Mahasiswa komunikasi, yang hidupnya serba kadang-kadang.