Dicky Satriawan Rahardi/LPM Kentingan

Jatuh Tempo

14

Puisi-puisi Dhiazwara Yusuf Dirga A

Jatuh Tempo

Yogya tak jauh berbeda

Kota yang padu dengan gemuruh rel dan desakan pundak purnawaktu

Gerbong-gerbong konstan itu turut berderik

Menagih letupan rindu yang sudah jatuh tempo

“Livin la vida loca,” pekik kondektur sambil merunut lajur

 

Seperti dendam rindu harus dibayar tuntas pulas

Bukan soal halaman-halaman novel yang kauanggap sial

Bukan pula celetukan murah menyiasati gusar

Americano terjerembab di hadapan tegas gincu merah jambu

Jangan salahkan Dosa, kota, kenangan yang menyeruak di keterbatasan

bahasa(n)

Kopi susu, fill in blue

 

Periksa lagi surat kaleng yang mulai usang

Narasi jemawa dari tandusnya ruang bercinta

Pugaran kegelisahan dari lingkar keterikatan junta smansa

Semburat eksistensimu mendekap malam yang pesat

di peremperan kedokteran hewan

Lengkap, lekat

 

Yang kau terlewat

Aku mengais residu dari secercah ingatan garis bibirmu

Sukarela menjadi bulan-bulanan sorot lampu Sayidan

Lanskap pijar ceria yang menakar putus asa di tengah gaduh sumpit yang beradu

Menjumput kepastian di seronok mi godog Pak Anto

Paripurna

 

Setidaknya kabar-kabar tentang pisah ranjang dan adu gagasan itu dapat kupastikan

Bunga tidur yang bergeliat itu kini tak lagi tercekat

Lagi lagi asu

Asu bukan sembarang aku

Asu yang sama yang kita bawa lima tahun lalu

Asu yang kita janjikan

Asu yang menyalak dalam bait guyonan

Ah, Yogyakarta… Kadaluarsa.

(Yogyakarta, 2024)

 

itinerari 

Seharian bertafakur buah impulsif jerembab ketidakpastian yang masif. Buntut urang yang tak dikondisikan merintis jalan pulang. Aku turut mengitari poros kesusastraan ala Mahmoud Darwish cabang Gondomanan. Menjumput kaleng Khong Guan suguhan Jokpin Jogja. Jogja yang seyogyanya manis. Dengan p(em)ilu yang diromantisasi di bawah gidik aspal Jalan Suroto. Kenalan dong, sama Adrianne Lenker. Not a lot, just forever. Headset Samsung bernada parau jadi bebunyian nyeri sepanjang perjalanan. Perjalanan mencari kitab asem kencur bersama occur. Byuh. Apalagi itu yang Mitski. Katanya dia my love mine all mine. Ya all mineyour love dijual terpisah.

(Yogyakarta, 2024)

 

Simple notes for ancient broken students

Kota yang asu bukan kepalang. Mengitari riak-riak selaput kekuningan di atas keningmu. Menjadi aku dan kita adalah niscaya yang tertunda. Bukan lagi perihal pashmina kastanye dan garis bibir yang melebar. Nafsu berjelaga dengan kedua mata telanjang di pusaran Taman Sari. Kesumatku melaju di bawah ketakutan brotowali.

Yang kau banggakan. Sudut-sudut kota dengan pelicinnya di bawah sekat gerobak biru. Kanebo Pak Dibyo yang kau andalkan tak lagi mengeringkan tetesan gusar di tengah Beringharjo. Apa yang Tumini lakukan adalah sehat. Mencampur populis dalam suwir ayam yang meregang di atas sumpit itu.

Bukan semata femme fatale atau pikatan ala kembang desa sebelah. Adalah aku yang kalut. Hingga mengambil peran yang telah tanggal. Barangkali jadi selanjutnya. Mengamini seterusnya. Ah, Yogyakarta. Jadikan.

(Surakarta, 2023)

 

Dhiazwara Yusuf Dirga A. Mahasiswa komunikasi, yang hidupnya serba kadang-kadang.