Sebagai rakyat biasa yang berhak bersuara, agaknya saya cukup bergidik dengan “blunder”-nya RI 1 beberapa waktu belakangan ini. Lebih tepatnya semenjak kontestasi politik mulai terlihat hilalnya. Berbagai macam komedi yang beliau pertontonkan sangat mengocok perut saya yang kelaparan akan candaan pejabat elit negeri. Coba bayangin aja, deh, apa hal yang lebih lucu dari presiden ngebet ikut kampanye? Hmm, mungkin memang bukan cuma ngebet ikut kampanye kali, ya, tapi juga ngebet memperpanjang masa berkuasa. Mungkin, lho, ya.
Timeline Kesibukan Presiden
Oke, gimana kalau kita mulai dengan awal mula blunder ini terjadi. Tentu enggak semudah itu terang-terangannya. Coba intip lagi, deh, keseharian beliau dulu saat diwawancarai pers. Jangan malas, ya, abangkuh.
Kurang lebih gini, tanggal 22 Oktober 2023 beliau menyampaikan ketidakberpihakan dengan mengatakan sesuatu yang intinya mendukung semua paslon. Enggak sampai disitu aja bestie, beliau bahkan mewanti-wanti ASN (Aparatur Sipil Negara) untuk tetap netral di tengah gempuran menteri yang terang-terangan jadi tim sukses. Hal ini beliau sampaikan pada 30 Oktober 2023 dan diperkuat lagi di tanggal 30 Desember 2023, dengan catatan tambahan nge-mention TNI dan Polri.
Saat itu mungkin kita berpikir, “Respect banget sama beliau yang masih sempat-sempatnya meluangkan waktu buat ngasih wejangan saat sibuk menjalankan tugas kenegaraan di akhir jabatan.” Tapi, coy, lucunya enggak lama setelah itu kita seakan jadi korban akibat investasi bodong. Beliau melontarkan statement dengan gagah berani dan penuh percaya diri:
“Yang penting, presiden itu boleh, lho, kampanye. Presiden itu boleh, lho, memihak. Boleh, tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” katanya saat ditanya perihal beberapa menteri yang jadi timses pada tanggal 24 Januari 2024. Menariknya lagi, terlihat pula salah satu capres membersamainya. Loh? Ga bahaya, ta? Eh, bukan, deng, maksudnya menteri.
Punchline macam apa lagi yang beliau persiapkan, Pemirsa? Karena setelah banyak parpol dan netizen yang mengkritik langkah beliau ini, muncul pembelaan berupa sekilas info kutipan undang-undang yang khusus direkam. Bahkan sampai di print out dengan huruf kapital yang saya duga font size-nya lebih dari 20. Aduh, Pak, haus validasi, kah?
Masalahnya, rakyat kita enggak sebodoh yang dibayangkan para elit politik, justru akan lebih banyak celah yang bisa dimanfaatkan untuk meng-counter kembali pernyataan beliau. Upaya klarifikasi yang dilakukan oleh presiden hanya membawa problematika ini menjadi semakin suram. Pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 281 dan Pasal 299 misalnya, tidak sepenuhnya ditampilkan. Hanya masing-masing satu ayat dari dua pasal tersebut. Ini kalau diibaratkan sudah seperti mi goreng tanpa bumbu, enggak komplit. Nih, saya jabarin full-nya.
Pasal 299 UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai berikut:
- Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye.
- Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai Politik mempunyai hak melaksanakan Kampanye.
- Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan Kampanye, apabila yang bersangkutan sebagai:
- calon Presiden atau calon Wakil Presiden;
- anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU atau;
- pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
Kemudian Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai berikut:
- Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubenur, Wakil Gubenur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota harus memenuhi ketentuan:
- tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
- menjalani cuti di luar tanggungan negara.
- Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
Kalau sudah dibaca, bisa kalian tarik sendiri kesimpulannya. Walaupun memang beliau boleh berkampanye tanpa didaftarkan ke KPU, apakah pantas seorang pejabat tertinggi negara mendeklarasikan kemungkinan dirinya tidak lagi netral? Bahkan sampai saat melakukan kunjungan kerja pun ada saja kampanye terselubung yang beliau tunjukkan. Sekarang yang jadi pertanyaan, mana izin cutinya, Pak Presiden? Kami setia menunggu sebelum hari pencoblosan. Soalnya sulit banget, nih, Pak, buat mencari celah kecurangan yang enggak bisa disangkal saat Bapak sendiri satu kartu keluarga dengan salah satu calon wakil presiden.
Ya, gimana, ya, wajar, dong, kalau bapak kita sendiri mendukung anaknya dengan berbagai bentuk dukungan biar jadi orang sukses? Iya, kan?
Dua Kata Lucu: Presiden Kampanye
Sebenarnya fenomena presiden kampanye bukanlah hal yang baru di masa pemilu. Namun, entah saya yang mainnya kurang jauh, atau memang selama ini saya tahunya presiden yang masih menjabat melakukan kampanye karena ada kepentingan dua periode. Correct me if I’m wrong. Lalu mengapa bapak presiden kita ini memilih untuk ikut berkampanye di saat dirinya sudah on the way demisioner dengan keterbatasan tidak bisa nyalon lagi? Apa mungkin ambisi tiga periode dari awal sudah direncanakan dari plan A, plan B, sampai plan Z?
Kira-kira begini rencananya; secara underground mengisyaratkan keinginan kecil atas kemungkinan tiga periode; kalau gagal, gandeng yang dulunya lawan jadi kawan; kalau masih kurang, otak-atik sedikit keberjalanan konstitusi menggendong anaknya ke atas panggung; kalau kurang meyakinkan, saatnya turun tangan biar ada jaminan buat menang.
Penjabaran di atas hanya sebatas analisis sederhana, ya, mengingat saya juga cuma rakyat biasa. Namun, dengan berbagai gelagat beliau yang sangat meresahkan warga, bahkan kini para guru besar pun sampai berjejeran mengambil tindakan. Sudah bukan parpol lagi, coy, tapi guru besar! Amazing, bukan? Sivitas akademika yang pada hakikatnya sangat sibuk dengan urusan pendidikan kini sampai meluangkan waktunya untuk mengingatkan. Kalau masih tidak mawas diri, harus siapa lagi yang ambil suara?
Beneran, nih, Guru Besar?
Betul! Para guru besar berbagai universitas sudah angkat bicara soal keprihatinan mereka atas tindakan-tindakan menyimpang penyelenggara negara dari moral demokrasi. Memangnya sebanyak apa universitas yang ikut andil menyampaikan pesan ini?
Pertama-tama, pada akhir bulan kemarin, Bulaksumur Universitas Gadjah Mada (UGM) membacakan petisinya. Sebuah awal yang baik mengingat bapak presiden merupakan jebolan kampus tersebut. Syukurlah universitas yang sangat erat kaitannya dengan beliau mau mengawali sebuah pergerakan agar tidak semakin kebablasan. Not to mention, BEM KM UGM sudah lebih dulu menobatkan beliau sebagai alumni UGM yang paling memalukan. Dulu terdengar berlebihan, tapi, kok, sekarang jadi makin … terasa … masuk akal? Ya, mungkin berlebihannya karena bisa jadi memang bukan yang ‘paling’ memalukan, kali, ya?
Setelah UGM, pernyataan sikap para sivitas akademika berbondong-bondong disusul oleh Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, Universitas Lampung Mangkurat (ULM), Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Universitas Padjajaran, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Institut Pertanian Bogor, dan terpantau sampai saat saya menulis ini sepertinya akan terus berlanjut.
OMG, TBL TBL! Run, guys! Soalnya penduduk istana masih saja bebal cara berpikirnya! Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Enggak ada ada obat. Oke, memang betul jika ditanggapi hanya sebatas kebebasan berpendapat, tapi lantas apa tindak lanjutnya? Tidakkah terpikir untuk kembali ke jalan yang seharusnya? Kritik muncul dengan harapan adanya evaluasi, tapi kalau kenyataannya cuma gini-gini aja berjalan dengan masalah yang masih sama, apa guna?
Terakhir, Pak Presiden …
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya berharap bapak presiden berhenti menggelar pertunjukan. Sejujurnya saya sudah bosan. Candaan tak lagi terdengar mengasyikkan. Masalah yang itu-itu lagi, tanggapan yang itu-itu lagi, tak ada habisnya. Tidakkah bapak juga lelah? Saatnya beristirahat, pulang ke Solo dan menikmati masa pensiun di hari tua. Apalagi yang mau dicari ketika bapak sudah pernah merasakan menjadi orang tertinggi di sebuah negeri yang besar?
Berhenti melanjutkan berbagai pernyataan dan tindakan kontradiktif, berhenti menghalalkan segala cara demi ambisi semata, berhenti mempertontonkan praktik kecurangan di depan khalayak, bisakah bapak berhenti? Atau perlu saya membuat challenge di TikTok supaya viral dan akhirnya bapak mau mengambil tindakan?
Agaknya GTA San Andreas tidak cukup menarik, ada tempat yang lebih nyata untuk dapat dipermainkan. Jika ternyata tak ada yang berubah sampai akhir masa pemilu, mungkin saya akan kesusahan mengenang kebaikan di masa beliau menjabat. Btw, dalam tulisan ini saya banyak memunculkan kalimat tanya dengan harapan akan ada jawaban. Harapannya, sih, gitu.
Akhir kata, selamat datang di negara republik yang lebih terasa monarkinya! Eh.
Penulis: Alifia Nur Aziza. Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa yang masih biasa saja.
Editor: Aldini Pratiwi