TAHUN 1997, mahasiswa masih gagap teknologi (gaptek). Buktinya, Koperasi Mahasiswa (Kopma) UNS sampai-sampai kudu mengadakan Seminar dan Demo Internet. Bayangkan. Di tengah kesibukan demo jelang reformasi 1998, mahasiswa UNS malah sibuk mendemokan internet.
Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Saluran Sebelas merekam seminar dan demo ini. Di Saluran Sebelas edisi 02 tahun 1997 halaman sebelas, pembaca melihat gambar kerumunan orang mengerubungi sebuah komputer. Gambar itu jadi pelengkap berita berjudul Pasang Internet bukan untuk Lihar ‘Gambar’ Saja.
Sudah, akui saja. Awal mula mempelajari internet, hanya ada dua hal yang akan dilakukan. Pertama membuat surat elektronik (surel). Kedua membuka laman pencarian Google. Yang dicari di Google pasti gambar, Iya tho? Biasanya cari gambar apa hayo?
Konon, mata manusia Indonesia lebih melek kalau disuguhi gambar alih-alih tulisan. Belakangan, gambar benar-benar jadi bentuk informasi utama yang sering diakses di ruang maya. Di Facebook banyak gambar. Di portal berita sedikit tulisannya, banyak gambarnya. Di Instagram semuanya gambar.
Seminar yang dilangsungkan di ruang sidang IV, Sabtu 9 November 1997 itu jadi pelengkap agenda pembangunan di bidang teknologi. “… dalam dunia teknologi yang semakin canggih ini, mahasiswa sebagai calon intelektual perlu memahami, mengerti dan menguasai kehadiran internet tersebut, jika tidak ingin tertinggal dengan bangsa lain” (Saluran Sebelas 02, 1997).
Coba perhatikan tiga hal yang dituliskan ihwal internet tadi. Mahasiswa perlu (1) memahami, (2) mengerti, (3) menguasai kehadiran internet. Tidak mujurnya, tiga harapan itu tak ada yang terwujud. Para mahasiswa lebih sering ingin “dipahami” dan “dimengerti” oleh internet, sehingga curahan hati dan privasi diumbar di ruang maya. Kalau sudah begini, bukan mahasiswa yang “menguasai” internet. Mereka justru yang “dikuasai” internet.
Internet dan Politik
Internet bukan tak punya sumbangsih buat kejatuhan Orde Baru. “Satu dari pengganggu terbesar bagi tentara dan Deppen (Departemen Penerangan.pen) adalah sukses besar sebuah list diskusi lewat email ‘Indonesia-1’, lebih populer disebut apakabar” (Hill dan Sen, 2001: 234). Di apakabar, informasi bisa beredar bebas tanpa kekhawatiran akan sensor pemerintah. Sekitar akhir 1995, diperkirakan 13.000 orang, kebanyakan orang Indonesia yang tinggal di Indonesia, memiliki akses pada milis ini.
Apakabar jadi lebih cepat daripada media cetak – yang saat itu masih meraja. “Mingguan Gatra menulis, misalnya, bahwa berita penangkapan dan pembebasan beberapa aktivis terkemuka sudah ada di apakabar dalam beberapa jam, namun baru ada di koran lokal keesokan harinya” (ibid.). Bahkan, majalah Tempo yang dibredel tahun 1994 pun bisa tetap menerbitkan berita lewat situs Tempo Interaktif.
Nah, benarlah kata Restu Slamet, pengelola Wasantara-Net yang kala itu jadi pembicara seminar dan demo internet di UNS. Pasti pernyataannya ihwal manfaat internet sudah sering didengar. “… untuk kuliah jarak jauh, kemudahan informasi dan seluruh dunia, pertukaran berita antar pribadi, dan media informasi di dunia pendidikan.” Sungguh mulia manfaat internet. Sayang, mayoritas penggunanya terlaknat. Awas hoax!
Akhirulkalam, jangan sinis kalau melihat banyak orang menenteng ponsel berkamera ke tempat-tempat wisata, pusat-pusat perbelanjaan, kafe-kafe, ruang kelas, bahkan kamar tidur. Gambarnya sih di ruang maya. Tapi wabahnya menjalar sampai ke dunia nyata. Kalau boleh ber-suuzon, mereka adalah jenis pengguna yang menganggap internet memang untuk lihat ‘gambar’ saja.[]
Baca juga saluransebelas.com edisi “Geledah Arsip” lainnya!
Tulisan 1 : Tak Ada Malaikat Bernama “Pers”
Tulisan 2 : Pagar Itu Antagonis!
Tulisan 3 : Internet Masuk Kampus
Tulisan 4 : Ulang Tahun Tak Seromantis Dulu
[author title=”Satya Adhi” image=”https://i2.wp.com/saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/05/Satya-Adhi.jpg?w=618″]Mahasiswa yang gemar berjalan kaki. Surel: adhii.satya@gmail.com.[/author]