Oleh: Siwi Nur Wakhidah
BONEKA tentu tak akan bergerak sendiri, kecuali kalau kita membicarakan hal magis. Boneka akan bergerak sesuai dengan keinginan penggeraknya. Boneka tidak dapat mengembangkan gerakannya sendiri, karena boneka adalah benda mati. Berbeda dengan manusia. Mereka adalah makhluk hidup, bukan benda mati. Manusia memiliki otak, sedangkan boneka tidak. Otak adalah penggerak, mesin utama dalam tubuh manusia.
Seorang tokoh terkemuka pernah menyampaikan, manusia berkembang seperti saat ini karena melihat, lalu meniru, dan kemudian mengembangkan. Namun apabila ketiganya terpisah yang terjadi bisa saja plagiasi, lebih buruk lagi tidak akan ada pergerakan apa pun dari manusia. Diam dan kemudian mati. Dalam tiga hal tersebut, otak memiliki peran yang sangat penting. Otak sebagai mesin utama penggerak tubuh dibantu oleh pancaindra. Ketika pancaindra menerima rangsangan dari luar tubuh, maka saraf akan meneruskan rangsangan tersebut ke otak. Lalu, otak akan memberikan jawaban berupa respon yang akan disampaikan melalui tubuh. Entah itu berupa gerakan atau hanya diam. Gerakan hasil respon tubuh bisa saja, menirukan atau mengembangkan, karena sudah melewati tahap kreatif.
Ketiga tahapan tersebut, akan terhenti di tahap ke dua, ketika berada di sebuah industri media. Walau banyak yang menggembor-gemborkan, kerja di media terutama media hiburan haruslah kreatif. Tidak juga. Di media televisi, kekreatifan hanya berlaku di pra-produksi. Selebihnya, kru hanya akan menjadi boneka yang mematuhi perintah pemimpin eksekusi yang dalam dunia televisi disebut PD (Program Director).
Mengutip Raymond Williams dari bukunya yang berjudul Televisi, bahwa televisi adalah pancaran diri manusia, perpanjangan anggota tubuh dan indera manusia. Maka tak salah bila dikatakan bahwa layar kaca ialah manusia buatan, yang merupakan hasil karya para produser dan PD. Masih dalam buku yang sama, Williams menyebutkan bahwa tujuan awal dibuatnya televisi ialah untuk kepentingan politik dan militer. Jadi, jangan disalahkan pula jikalau kinerja di belakang layar kaca itu otoriter dan dikepung oleh sistem. Pergerakan tubuh dibatasi, bila tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat, maka adalah dosa. Semua pergerakan dipatenkan dalam sebuah konsep yang biasa disebut dengan shooting script (naskah syuting), yang berisi aturan main dalam sebuah program acara. Mulai dari di mana artis berdiri, bagaimana pergerakannya nanti hingga posisi kamera dan bagaimana kameramen harus mengambil gambar.
Layar kaca memang penuh dengan sandiwara, bahkan program berita sekalipun. Mungkin tak banyak yang tahu, di tengah sikap duduk atau berdiri para pembawa berita, mereka dihadapkan dengan aturan, entah itu aturan berpakaian, cara berbicara, hingga posisi berdiri atau duduk. Sama saja dengan program acara hiburan, lebih bodoh daripada program berita. Tepuk tangan hingga tertawa pun harus mengikuti aba-aba dari FD (Floor Director), sedangkan FD menunggu instruksi dari PD. FD adalah koordinator lapangan, orang yang berinteraksi langsung dengan para artis, bisa dikatakan FD adalah asisten PD.
Pernahkan mendengar nama Elly Sugigi? Bukan karena dia pernah muncul di TV dan sering kawin-cerai, tetapi mengenai profesinya sebagai koordinator penonton program acara di televisi. Pekerjaannya hanya mengatur sikap penonton, di mana harus duduk, kapan saatnya tepuk tangan dan tertawa. Namun, dengan pekerjaan tersebut dia dapat hidup dan menghidupi anak-anaknya, menjadi sosialita, bahkan untuk menikah berulang kali pun dia sanggup.
Televisi adalah representasi tubuh manusia, namun tubuh-tubuh yang ada di dalam layar kaca hanyalah rekonstruksi saja. Nyata fisiknya namun pergerakannya penuh sandiwara. Bisa dikatakan orang yang berada di balik layar kaca, hanyalah boneka. Entah konstruksi semacam apa yang ingin dibuat, hingga harus membuang kinerja pancaindra, atau lebih tepatnya membuang kinerja otak dalam memproses kehendak atau keinginan. Membatasi untuk mengembangkan apa yang mereka lihat. Seolah ketika masuk ke dalam studio, pancaindra manusia akan mati, dan yang hidup hanyalah naskah syuting yang sudah direncanakan selama pra-produksi.
Dengan pembatasan kinerja otak tersebut, maka terbentuklah sebuah kontruksi tubuh manusia dalam sebuah layar. Konstruksi itu akan mempengaruhi audiens yang menonton acara tersebut. Seperti yang telah dipatenkan Lasswell, who says what with which channel to whom with what effect. Televisi adalah media dalam berkomunikasi, tapi bukan sebagai pesan seperti yang disampaikan oleh McLuhan, “medium adalah pesan”. Media hanya jalan untuk pesan, seperti halnya saraf dalam tubuh yang mengalirkan rangsangan ke otak, juga membawa respon ke bagian tubuh tertentu. Terpenting adalah pesan yang disampaikan. Namun jika harus mengorbankan kemampuan ‘mengembangkan’ daripada kru ketika melakukan eksekusi pengambilan gambar, tentu sangat disayangkan.
Sepele memang, jika kita membicarakan proses. Ya, karena pandangan masyarakat hanya tertuju pada hasil. Hasil yang ada di layar kaca adalah serangkaian panjang produksi belakang layar. Untuk membuat satu menit video saja bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu jika dihitung dengan keseluruhan mulai dari pra-produksi. Pada tahap produksi, ide akan dikuras habis. Dan ketika eksekusi, tenagalah yang dikuras habis. Karena dalam tahap eksekusi, pengembangan ide sudah sangat dilarang dan dianggap buang-buang waktu. Maka itulah, kru hanya meniru apa yang ada di naskah dan menjelma sebagai boneka.[]
Siwi Nur Wakhidah. Perempuan yang merangkap mahasiswi semester enam di Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret. Redaktur majalah Kentingan. Surel: siwienwe@gmail.com.