Meskipun dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, tidak dapat disangkal bahwa memaki memiliki peran yang signifikan dalam ekspresi diri dan komunikasi sehari-hari. Memaki tidak hanya terbatas pada rasa marah dan ketidakpuasan, tetapi juga digunakan dalam konteks humor dan sebagai sarana memperkuat ikatan sosial. Meskipun memaki pada dasarnya melibatkan penggunaan kata-kata kasar atau menyakitkan untuk menyampaikan ketidakpuasan atau kemarahan, ada situasi di mana orang memaki dengan maksud melucu. Dalam tulisan ini, kami akan menjelajahi lebih dalam tentang fenomena memaki di Indonesia melihat dari pengaruhnya pada kehidupan sehari-hari, serta pertentangan budaya dan moral yang melingkupinya.
Dengan melanjutkan riset majalah 2013, riset ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang fenomena memaki di Indonesia. Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru tentang bagaimana memaki memengaruhi kehidupan sehari-hari dan bagaimana masyarakat menghadapi pertentangan budaya dan moral terkait dengan penggunaan bahasa yang kasar atau menyakitkan.
Metode Penelitian
Tim riset LPM Kentingan melakukan penelitian secara kuantitatif dengan melakukan penyebaran kuesioner daring yang disebar menggunakan metode simple random sampling. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, dimulai dari tanggal 23 Maret hingga 5 Mei 2023. Jenis pertanyaan yang digunakan dalam riset ini adalah pertanyaan tertutup.
Profil Responden
Jumlah responden dalam penelitian kali ini adalah delapan puluh tiga. Jumlah ini mengalami penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan 10 tahun yang lalu yang melibatkan enam ratus responden. Seluruh responden merupakan mahasiswa aktif baik yang berasal dari Universitas Sebelas Maret maupun dari universitas lain. Mayoritas responden yang diperoleh merupakan mahasiswa aktif Universitas Sebelas Maret. Tim riset LPM Kentingan melakukan perincian profil responden yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Deskripsi responden berdasarkan asal Universitas
Asal Universitas | Jumlah Responden | (%) |
---|---|---|
Universitas Sebelas Maret | 49 | 59% |
Universitas Lain | 34 | 41% |
Total | 83 | 100% |
Analisis Survei
- Frekuensi Memaki
Diagram di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak secara langsung memengaruhi keinginan seseorang untuk memaki. Fenomena memaki lebih kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti lingkungan sosial, budaya, dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan bahwa responden yang mengaku sering memaki mungkin memiliki motivasi atau alasan tertentu yang mempengaruhi perilaku mereka, yang tidak hanya didasarkan pada tingkat pendidikan mereka.
- Kondisi Memaki
Kondisi atau keadaan yang menyebabkan memaki dari 83 mahasiswa yang menjadi subjek penelitian, lebih dari 38% mengucapkan makian saat bercanda dengan teman. Hal ini berkebalikan dengan riset yang dilakukan tahun 2013 di mana 40,49% responden memaki saat keadaan marah. Salah satu yang melatarbelakangi kondisi di atas yaitu terjadi peningkatan toleransi terhadap penggunaan kata-kata makian dalam bentuk humor sebagai ekspresi diri dalam situasi santai, seperti saat bercanda dengan teman. Hal ini dapat mencerminkan perubahan dalam cara masyarakat memandang pentingnya keakraban dan interaksi sosial yang tidak kaku.
- Jenis Makian yang Digunakan
Dalam kebudayaan Indonesia, binatang sering kali digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan perilaku buruk, kebodohan, atau hal-hal yang tidak diinginkan. Penggunaan binatang sebagai kosakata makian dapat berfungsi sebagai cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan, merendahkan, atau mencela seseorang dengan mengaitkannya dengan sifat negatif yang dikaitkan dengan binatang tersebut.
- Pertama Kali Memaki
Dari jenjang pendidikan dari TK hingga Universitas, kategori TK-SD menjadi kategori paling banyak untuk pertama kali mengucapkan kata makian yaitu sebanyak 49,4 persen responden. Proses belajar bahasa yang aktif dan eksplorasi kosakata juga mendorong mereka untuk mencoba kata-kata yang tidak biasa, termasuk kata-kata makian dan belum memahami konsekuensinya. Lingkungan dan budaya sekitar, seperti keluarga, teman sebaya, dan media juga berpengaruh dalam membentuk penggunaan bahasa anak-anak pada kategori TK-SD. Lalu disusul kategori SMP-SMA sebanyak 44,6 persen dan 2,4 persen untuk Universitas. Sedangkan sisanya yaitu 3,6 persen memilih selain tiga kategori di atas.
- Bahasa Saat Memaki
Dari tiga bahasa yang digunakan dalam melontarkan kata-kata makian, bahasa daerah menjadi bahasa paling banyak digunakan yaitu sebanyak 51,8 persen responden Salah satu faktornya yaitu kesenangan dan ekspresi keakraban atau humor antar individu yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa daerah yang sama. Lalu diikuti bahasa Indonesia sebanyak 37,3 persen dan sisanya yaitu 10,8 persen responden menggunakan bahasa asing. Penggunaan kosakata memaki dalam bahasa asing ini dipengaruhi oleh budaya dari luar yang masuk, salah satunya melalui film-film asing yang mungkin ditonton pada masa kecil di mana mereka masih mengeksplorasi kosakata asing. Hal tersebut mendorong mereka untuk mencoba kata-kata yang tidak biasa, termasuk kata-kata makian.
- Pengaruh Budaya Memaki
Dari 83 mahasiswa yang menjadi subjek penelitian, sebanyak 61,4 persen responen mengaku bahwa budaya memiliki pengaruh signifikan terhadap maki-memaki dan mengaitkannya dengan aspek budaya yang lebih luas seperti faktor sosial, kebiasaan, dan tradisi yang sudah ada di masyarakat. Selain itu, sejumlah 32,5 persen responden berpendapat bahwa budaya hanya berpengaruh sedikit terhadap maki-memaki. Sedangkan 6 persen responden berpendapat bahwa maki-makian tidak dipengaruhi oleh budaya.
- Film (mengandung unsur makian)
Terkadang, terdapat beberapa film yang disisipi dengan kata-kata makian dan hal tersebut menimbulkan pro dan kontra. Misalnya terdapat kelompok pro yang menganggap penggunaan kosakata makian dapat memberikan dimensi emosional yang lebih mendalam, di sisi lain ada kelompok kontra yang menganggap penggunaan kosakata makian pada film dianggap tidak pantas dan membuat penonton merasa tidak nyaman. Sebanyak 10,8 persen berpendapat setuju dan 50,6 persen responden berpendapat bahwa hal tersebut biasa saja. Namun, ada sebanyak 38,6 persen responden yang menentang atau tidak setuju bahwa terdapat film yang mengandung unsur-unsur makian. Terdapat perbedaan pandangan di antara responden mengenai keberadaan, penerimaan, dan penolakan penggunaan kosakata makian dalam film. Hal ini mencerminkan keragaman perspektif dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat terkait dengan penggunaan bahasa kasar dalam konten hiburan.
- Pengaruh Film (terhadap makian)
Dari 83 mahasiswa yang menjadi subjek penelitian, sebanyak 85,5 persen responden berpendapat bahwa film dan sosial media memiliki pengaruh terhadap budaya memaki, sedangkan 14,5 persen sisanya berpendapat netral. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahwa film dan media sosial memiliki daya tarik yang kuat dalam membentuk persepsi dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Konten yang disajikan dalam film dan media sosial, termasuk penggunaan kosakata makian, dapat dengan mudah diakses dan ditiru oleh penonton atau pengguna lainnya. Dengan begitu, pengaruh film dan media sosial menjadi faktor penting dalam memperluas dan memperkuat penggunaan kosakata makian dalam budaya sehari-hari.
- Pandangan
Lingkungan sekitar memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap budaya memaki. Sebanyak 8,4 persen responden menganggap memaki merupakan hal yang wajar dan 36,1 persen berpendapat bahwa memaki masih bisa ditoleransi. Sedangkan 51,8 persen responden menganggap memaki sebaiknya dihindari bahkan 3,6 persen responden berpendapat bahwa memaki merupakan hal yang tabu. Makna yang bisa diambil adalah bahwa pandangan terhadap budaya memaki sangat beragam dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan perbedaan nilai, norma, dan penilaian individu dalam konteks sosial dan budaya yang berbeda. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seperti latar belakang budaya, agama, pendidikan, dan pengalaman pribadi.
- Hubungan Antara Frekuensi Memaki dengan Pandangan terhadap Makian
Analisis Bivariate
Tim riset LPM Kentingan melakukan uji Bivariate Spearman antara pandangan memaki dan frekuensi memaki responden. Fokus pengujian ini adalah koefisien korelasi spearman yang berkisar antara -1 hingga +1. Nilai positif menunjukkan hubungan searah, nilai negatif menunjukkan hubungan berlawanan arah, dan nilai nol menunjukkan tidak adanya hubungan. Selain itu, semakin angka koefisien mendekati satu, maka akan semakin kuat hubungannya. Tim riset LPM Kentingan memperoleh koefisien korelasi sebesar 0,389 dari uji bivariate spearman yang artinya terdapat korelasi atau hubungan antara frekuensi memaki dengan pandangan memaki. Data tersebut didukung oleh grafik scatter yang memiliki kemiringan positif dan cenderung landai. Berdasarkan semua hasil analisis yang diperoleh, tim riset LPM Kentingan dapat mengatakan bahwa ditemukan korelasi yang lemah dan positif antara frekuensi memaki dengan pandangan responden terhadap budaya memaki.
Berdasarkan hasil analisis Bivariate Spearmen yang telah dilakukan, Tim riset LPM Kentingan menyimpulkan bahwa responden yang memiliki tingkat frekuensi memaki yang rendah (jarang) cenderung menganggap bahwa memaki merupakan hal yang sebaiknya tidak dilakukan. Ini menunjukan bahwa persepsi seseorang terhadap makian dapat mempengaruhi frekuensi makian yang dilakukan oleh orang itu sendiri.
Penutup
Pada kenyataannya, memaki memang menjadi bagian dari budaya meski dianggap tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa memaki menjadi sarana untuk mengekspresikan diri, baik itu marah, jengkel, humor, dan ketidakpuasan. Sebagai hasilnya, memaki tetap menjadi alat penting dalam berkomunikasi dengan beragam tujuan dan efek yang dihasilkan.
Penulis: Alaudin Akmal, Rasyid Husain Alman Nuha
Editor: Wahyu Lusi Lestari