Oleh: Na’imatur Rofiqoh
DETIK ketika diri memilih menapaki jalan kata, maka langkah-langkah kaki berikutnya adalah langkah-langkah berhuruf. Hari demi hari bergerak dari buku ke buku. Pagi sarapan kata. Siang menyantap kata. Malam, tidur berselimut kata-kata. Kata-kata mengantarkan diri pada pertemuan-pertemuan tidak terduga, peruntungan intelektual tak disangka. Diri nekat berhuruf dan berkata.
Makhluk yang secara legal-formal didaulat sebagai manusia kata itu bernama mahasiswa, calon sarjana. Sejak kaki satu langkah memasuki gerbang kampus, maka mahasiswa menyaksikan dan ikut menanam huruf dan kata bergairah keilmuan di ruang-ruang kelas, perpustakaan, kantin, di bawah pohon rindang, ruang jurusan, di setiap sudut kampus, bersama dosen, teman-teman mahasiswa, tukang parkir, petugas kebersihan.
Pertaruhan amal kata-kata mencapai titik puncak saat mahasiswa mesti menunaikan ibadah skripsi, tesis, atau disertasi. Ibadah dengan pahala paling banyak ini menuntut panen kata yang telah ditanam sedari mula: daya pikir analitis, subjek penelitian yang apik, dan modal membaca berbuku-buku demi tugas akhir yang mulia.
Soal ibadah ini, penerbit kampus UNS sempat menorehkan catatan apik. Tahun 1995, penerbit UNS Press bekerja sama dengan Pustaka Sinar Harapan menerbitkan disertasi ampuh George McTurnan Kahin yang telah menjadi klasik, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
Hari ini, tidak tersiar satu kabarpun perayaan wisuda mahasiswa UNS dengan penerbitan hasil penelitian oleh penerbit kampus. Meski beberapa penerbit kampus lebih mendingan, sebagian besar bernasib sama sialnya. Penerbit kampus kesulitan mencari bahan terbitan karena dosen enggan melakukan kerja lapangan dan menerbitkan hasil penelitian. Lebih-lebih mahasiswa.
Penerbitan kampus yang tidak bergairah menjadi tanda kehidupan akademis yang sama layunya. Di koran-koran dan portal berita daring, berita pendidikan sering menyiarkan kabar duka mahasiswa mengakhiri hidup karena tak sanggup berhadapan dengan skripsi. Soalnya bukan perkara akademis-keilmuan—cara berpikir yang mesti diperbaiki, tak cukup referensi, atau penelitian tidak relevan—melainkan ihwal birokratis. Teman-teman mahasiswa akhir seringkali mengeluhkan perihal hubungan pelik dosen pembimbing-mahasiswa. Pertemuan dengan dosen gagal karena dosen sedang tidak mood, obrolan menggairahkan menyoal penelitian mahasiswa tidak terjadi, dan ada perbedaan perlakuan pada para mahasiswa sebab keeratan hubungan pribadi.
Bau anyir feodalisme nyatanya masih kuat tercium dari dinding-dinding akademis. Dosen-dosen bersikap elitis, mahasiswa mesti menunduk-nunduk saat berjumpa. Nalar akademis remuk ketika mahasiswa sampai pada ibadah skripsi.
Paragraf-paragraf di muka tulisan ini jelas utopis dan mengada-ada bagi kultur akademik Indonesia. Sedari mula, mahasiswa tidak pernah berhadapan dengan krisis esai di tugas-tugas mata kuliah. Dosen sangat jarang mewajibkan mahasiswa memiliki berbuku-buku dan membaca habis semuanya. Perkuliahan satu semester habis dalam rengkuhan teknologis proyektor, slide presentasi, dan fotokopi hasil cetak slide presentasi. Kita tentu tidak bisa mengharapkan ada gairah penerbitan skripsi, tesis, atau disertasi dari kultur akademik semacam ini.
Jika membaca narasi kehidupan para akademikus seperti Ben Anderson dalam Hidup di Luar Tempurung (2016), pembebasan kultur akademik dari feodalisme tidak bakal terjadi tanpa pertama-tama ada kesadaran dari para pengajar. Ben mencatat kultur akademik yang menyebabkan melejitnya Program Asia Tenggara di Universitas Cornell.
“Sesudah mengalami tradisi universitas di negeri mereka sendiri yang kerap otoriter, banyak mahasiswa asing di program ini kaget sekaligus senang oleh suasana yang akrab dan demokratis antara dosen dan mahasiswa. Mahasiswa didorong untuk mengungkapkan opini mereka sendiri dalam seminar-seminar, dan kerap menerima komentar rinci atas makalah-makalah mereka, tanpa pernah mendapatkan kesan tengah dieksploitasi sebagai asisten riset informal bagi proyek-proyek profesornya di negeri asal mereka” (2016: 47).
Bukan tak mungkin suatu saat si pungguk bakal sampai ke bulan. Tetapi, mendamba kultur akademik kampus Indonesia bakal seindah cerita Ben di Cornell bakal seperti menunggu Slank menerbitkan album religi: minimal butuh tiga dekade. Lha nggih?
Na’imatur Rofiqoh. Penulis Buku Asmara Bermata Bahasa (2016). Surel: naimaturr@gmail.com.