Ilustrasi: Nuha Maulana Ahsan/LPM Kentingan

Hutan Kalimantan, Tumbal Pembangunan Ibu Kota Baru

Dalam kegiatan sehari-hari kita tidak pernah lepas dari pengaruh hutan. Dari udara yang kita hirup sampai hasil hutan yang kita gunakan setiap harinya. Makan apa saja kamu hari ini?  Sudah berapa lembar kertas yang kamu gunakan hari ini? Dari dua pertanyaan itu kita bisa membayangkan betapa ketergantungannya hidup kita pada hutan.

Namun tahukah kamu bahwa hutan khususnya di Indonesia terus berkurang setiap tahunnya? World Wildlife Fund (WWF) memperkirakan 170 juta hektar hutan dunia akan hilang sepanjang 2010-2030. Sementara, menurut situs Forest Watch Indonesia (FWI), Selama 2013-2017,  jika dirata-ratakan, setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan alam seluas 1,4 juta hektare, atau setara dengan lebih dari 4 kali luas lapangan sepak bola setiap menitnya. FWI memproyeksikan deforestasi Indonesia tahun 2017-2034 sebesar 693 ribu Ha/tahun.

Dalam perspektif ilmu kehutanan deforestasi dimaknai sebagai situasi hilangnya tutupan hutan beserta atribut-atributnya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Pemaknaan ini diperkuat oleh definisi deforestasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD) yang dengan tegas menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia

Menurut kajian FWI, laju deforestasi di Kalimantan Timur meningkat hampir dua kali lipat dibanding periode sebelumnya dari 84 ribu hektare/tahun di tahun 2013 menjadi 157 ribu hektare/tahun di tahun 2016. Jika pemindahan ibu kota benar-benar dilakukan, maka akan berpotensi meningkatkan deforestasi di wilayah tersebut.

“Dengan laju deforestasi tertinggi, region Kalimantan bukanlah paru-paru dunia lagi”. Tegas Mufti Barri, Manager Kampanye dan Advokasi FWI

Pada April tahun lalu, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa. Pada 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ibu kota baru akan dibangun di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Kalimantan Timur. Ya, Kalimantan, pulau yang kaya akan hutannya dan termasuk salah satu paru-paru dunia.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menegaskan pemindahan ibu kota negara tidak akan mengurangi luas hutan lindung. Meski begitu, pernyataan Bambang Brodjonegoro tidak membuat kita lega. Jasmine Puteri, Juru Kampanye Senior Greenpeace, tetap khawatir akan dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat meningkatnya kebutuhan lahan terkait proyek tersebut. Di Jakarta, misalnya, pembangunan telah melebihi tata ruang yang direncanakan. Jasmine khawatir pembangunan ibu kota baru akan menambah kerusakan hutan akibat meningkatnya kebutuhan akan lahan baru

Guna meminimalisir deforestasi, pemerintah harus mengkaji secara mendalam lokasi yang akan ditempati ibu kota baru. Kerja sama dengan berbagai pihak sangat diperlukan agar pembangunan infrastruktur tidak mengorbankan banyak lahan hutan. Selain bekerja sama dengan kementerian dan badan-badan terkait, kerja sama dengan pemenang sayembara desain ibu kota juga diperlukan. Walaupun pemerintah berhak untuk tidak menerapkan seluruh desain, namun setidaknya bagian-bagian yang menunjang kelestarian hutan harus diterapkan.

Nagara Rimba Nusa adalah konsep desain calon Ibu Kota Negara (IKN) baru, sekaligus pemenang dari Sayembara Desain Ibu Kota baru. Nagara Rimba Nusa memiliki arti pemerintahan (Nagara), hutan (Rimba), dan pulau (Nusa). Konsep ibu kota baru karya Urban+ ini sangat mendukung kelestarian hutan di Kalimantan. Seperti narasi dalam video presentasi Nagara Rimba Nusa, “bahwa sungguh damai hidup berdampingan tanpa berseteru”. Namun, konsep inti dari Nagara Rimba Nusa hanya menyerap lahan sebesar 2.000–3.000 hektar. Sementara, akan ada 40.000 hektar lahan yang dijadikan kawasan induk ibu kota baru dan 180.000 hektar untuk pengembangan kota. Disinilah peran masyarakat hadir untuk selalu mengawal dan mengawasi proses pembangunan ibu kota baru.

Tidak bisa dipungkiri memang, pasti ada yang dikorbankan dalam pembangunan ibu kota baru. Tidak bisa dibayangkan berapa manfaat hutan yang akan hilang akibat adanya potensi deforestasi. Tidak hanya hutan, bila pusat aktivitas pemerintahan dipindah ke Kalimantan, kemungkinan penduduk akan banyak yang pindah. Lahan yang tadinya hutan akan berubah menjadi bangunan pemukiman atau industri seiring bertambahnya penduduk. Penduduk lokal yang mata pencahariannya bergantung pada hutan juga terancam nasibnya. Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3).  Lalu, apakah pengorbanan hutan untuk pembangunan ibu kota baru di Kalimantan timur berorientasi pada kemakmuran rakyat? []

 

Ilustrasi: Nuha Maulana Ahsan

Penulis: Nuha Maulana Ahsan