Honoris Causa: Pemberian atau Pembelian Gelar?

Ditulis oleh Ayu Ahsanu Amala

Pemberian gelar Honoris Causa (H.C) menjadi permasalahan yang sering diperbincangkan belakangan ini. Salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia dinilai memberikan gelar tersebut tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya nilai dari gelar penting itu menjadi berkurang.

Honoris Causa atau Gelar Kehormatan adalah sebuah gelar kesarjanaan yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi/universitas yang memenuhi syarat kepada seseorang, tanpa orang tersebut perlu untuk mengikuti dan lulus dari pendidikan yang sesuai untuk mendapatkan gelar kesarjanaannya tersebut. Gelar Honoris Causa dapat diberikan bila seseorang telah dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Seseorang yang telah menerima gelar Doktor Kehormatan, mendapatkan hak yang sama seperti para penerima gelar yang lainnya misalnya, dapat mencantumkan tanda kedoktorannya pada awal nama (Dr. xxx) namun khusus untuk yang menerima gelar Doktor Kehormatan, dapat mencantumkan tanda khusus Doktor Kehormatannya dengan singkatan H.C (Dr. H.C xxx) (wikipedia.org).

Dari pengertian di atas jelas bahwa penganugerahan gelar H.C tidak diperuntukkan bagi sembarang orang. Selain itu bukan sembarang universitas pula yang bisa memberikan gelar tersebut. Dalam kasus Universitas Indonesia baru-baru ini, gelar Doktor Honoris Causa bidang Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diberikan kepada Abdullah bin Abdul Aziz. Bahkan gelar Doktor itu diberikan secara langsung ke istana Raja Arab Saudi tersebut.

Jika kita tilik kembali berbagai kasus pelanggaran terhadap buruh migran Indonesia seperti pembunuhan, pelecehan seksual, penyiksaan, dan yang terakhir adalah hukuman mati terjadi di Arab Saudi. Tindakan-tindakan negeri minyak itu banyak menuai protes masyarakat Indonesia. Belum pulih luka Ruyati yang hampir dihukum mati, pemberian Gelar Kehormatan bidang Kemanusiaan justru diberikan kepada Raja Arab.

Dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu dipertanyakan apakah Raja Arab berdedikasi terhadap perkembangan iptek? Sementara  ITB Bandung sebagai kampus candradimuka pengembangan iptek di Indonesia memiliki Pertimbangan Pemberian Gelar Doktor Kehormatan yang antara lain adalah seseorang yang dinilai telah menunjukkan:

Pertama, karya nyata yang mengandung nilai inovatif; atau pemikiran dan gagasan; atau penelitian dan pengembangan konsep-konsep yang orisinal dan mendasar. Serta terbukti bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat, perkembangan kebudayaan bangsa dan kemanusiaan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; Kedua, kebajikan dan kearifan dalam pemanfaatan karyanya bagi perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya; Ketiga, secara taat azas selalu berusaha dan berupaya mengembangkan pengetahuannya.

Dari perspektif keilmuan di atas, alangkah aneh apabila UI (rektor UI) memberikan gelar Doktor HC bagi raja Abdullah. Jika beliau berjasa di bidang iptek maka ironis karena Arab Saudi bukan negara yang menjadi inovasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika di bidang perdamaian, apa peran raja Arab Saudi dalam perdamaian di timur tengah?

Tidak hanya Raja Abdullah saja yang menerima penghargaan dari UI, tapi beberapa pemimpin negara lain juga pernah menerima gelar Doktor HC, diantaranya presiden Iran dan Sutan Brunei Darussalam. Hal itu menyiratkan bahwa UI seakan memberikan gelar kepada para pemimpin negara untuk memperluas hubungan. Dengan begitu, UI akan dengan mudah menjalin kerjasama dengan negara yang bersangkutan. Jika memang benar seperti itu, lalu apakah sebenarnya arti gelar Doktor Honoris Causa tersebut? Siapakah yang berhak menilai seseorang untuk mendapatkan gelar tersebut?

 Disampaikan dalam Diskusi Internal LPM Kentingan UNS

Jumat, 16 September 2011