Heterofobia, Yang Lain “di antara” Kita

Heterofobia merupakan gejala ketakutan akan perbedaan, dalam hal ini gejala tersebut terjadi pada sekelompok masyarakat. Secara sederhana gejala ini merupakan ketakutan akan keragaman yang terjadi, padahal keragaman tersebut sudah ada sebelum rasa ketakutan tersebut muncul.

Ketakutan tersebut muncul karena berbagai faktor yang ada, salah satunya adalah sedemikian masifnya budaya kolonial yang tertancap dalam diri kita. Kolonialisme (bedakan dengan kolonialisasi) memberi kita watak untuk membedakan satu kelompok masyarakat dengan masyarakat yang lain.

Pembedaan ini bisa berdasar pada kelompok agama, suku, ras atau etnis. Situasi politik yang terjadi tidak akan dengan mudah membalikkan sikap heterofobia. Yang terjadi heterofobia masih bergelanyut dalam alam bawah sadar kita, tetapi mungkin posisi antar kelompok yang berganti.

Kita bisa mencontohkan pada sejarah bangsa kita sendiri, yaitu politik segregasi yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda kemudian terulang kembali setelah Indonesia merdeka. Dalam pemerintahan Hindia Belanda terdapat tiga golongan penduduk yaitu Eropa, Timur Jauh dan Pribumi. Kelompok Eropa yang kebanyakan terdiri dari bangsa Belanda sendiri mendominasi seluruh posisi social dan politik yang paling atas. Mereka menduduki jabatan yang tinggi, memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan dengan kelompok lain, punya pengaruh dalam keputusan politik tingkat tinggi.

Sementara itu masyarakat Timur Jauh lebih banyak diwakili oleh kelompok masyarakat Tionghoa, yang rata-rata bergerak di wilayah bisnis atau perdagangan. Ada beberapa orang Tionghoa menekuni politik dan bidang lain seperti pendidikan, tetapi jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan yang menekuni bisnis.

Pribumi mungkin yang paling banyak menderita dan berada dalam strata paling bawah dibandingkan dua kelompok yang lain. Walau pun di kalangan pribumi sendiri juga terdapat pembagian kelompok untuk tingkatan bangsawan sampai masyarakat biasa. Tetapi pribumi tetap saja sebagai masyarakat yang paling tertindas dalam politik segregasi ini. Beruntung kemudian Politik Balas Budi Van Deventer memberikan semacam pencerahan untuk perubahan yang lebih baik, dan berakhir dengan kemerdekaan. Tapi kemerdekaan tidak serta merta menghapuskan rasa pembedaan bagi masyarakat. Bahkan dalam kondisi merdeka semangat meliyankan tersebut semakin tersistematis.

Ternyata memang alam bawah sadar kita masih memiliki nuansa heterofobia, saat ini heterofobia ditandai dengan stigmanisasi yang kuat terhadap berbagai macam simbol yang ada. Kita membedakan yang ada dihadapan kita dengan stigma-stigma tertentu yang coba dikaitkan dengan latar belakang kelompok yang ada. Sebagai sebuah contoh kalau kita mengingat saudara-saudara kita yang Tionghoa maka dalam pikiran kita adalah pelit, kikir, kerja keras dan kaya. Padahal stigma tersebut terbukti tidak benar. Demikian juga dengan simbol-simbol yang terkait dengan agama atau kelompok, anda tentu akan berpikir sesuatu yang negatif  bila berhadapan dengan seseorang dengan wajah yang berjenggot.

Selain faktor cara berpikir yang kolonial tadi, hal lain yang juga mempengaruhi adalah ideologisasi  yang menyertai hidup kita. Ideologisasi ini bisa memasuki berbagai lembaga seperti agama, keluarga dan kelompok masyarakat itu sendiri. Ideologisasi yang meliyankan orang justru paling susah untuk dihilangkan, karena selalu tertutup dan memiliki reaksi yang destruktif terhadap pemikiran yang terbuka.

Nah..persoalannya adalah bagaimana ideologisasi tadi tidak begitu saja tertanam dalam diri masyarakat ? Ini adalah pekerjaan rumah yang sangat rumit bagi bangsa ini, karena menghilangkan heterofobia tidak bisa dilakukan hanya dengan indoktrinasi soal keragaman, tapi tidak ada keadilan atau kebersamaan yang semu. Dialog yang membumi dibutuhkan setidaknya untuk menemukan cara yang tepat untuk melihat persoalan ini perlu pemecahan. Dialog yang dibutuhkan tentu saja harus dibebaskan dari kepentingan politik kelompok atau golongan.

Ditulis oleh Yunanto Sutyastomo  

*) disampaikan untuk pembuka diskusi di LPM Kentingan UNS, Jumat , 1 Juli 2011