Hatta: Ketika Sejarah Datang dalam Bentuk Sastra

Judul               : Hatta Aku Datang Karena Sejarah (Sebuah Novel)

Tahun              : Cetakan I, 2013

Pengarang       : Sergius Sutanto

Tebal               : 354 halaman

… Setelah DPR yang terpilih rakyat mulai bekerja dan konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

     Segera, setelah konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi.

Begitulah surat Mohammad Hatta kepada DPR atas hasil pemilihan umum 20 Juli 1956 yang dikutip menjadi sebuah prolog pembuka cerita pada novel Hatta Aku Datang Karena Sejarah. Nada-nada ketegasan atas kegalauan Hatta pada pemerintahan Indonesia kala itu tampak jelas dari prolog tersebut. Cerita pada novel ini bermula dari kepulangan Hatta ke kediamannya di Jalan Diponegoro 57, kala itu. Kepulangannya setelah menyatakan mundur dari jabatannya di istana negara. Pada bagian pertama tersebut, cerita masih seputar Hatta dan alasannya mundur dari kursi wakil presiden yang disampaikan secara tersirat dan sepintas. Alasan-alasan itulah yang akhirnya mengantarkan alur cerita Hatta yang mundur melalui kenangan-kenangan. Hatta semasa kecilnya di tanah minang, lalu maju secara berturut-turut hingga masa sekolahnya di Belanda, ke masa perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia, pengasingannya di Banda Neira, hingga pengunduran dirinya tersebut.

Setiap peristiwa penting yang dialami Hatta sedari kecil diceritakan dengan baik melalui sudut pandang orang ketiga dengan menarik. Penyebutan tokoh dengan nama tokoh bisa jadi semacam “dikte” yang ampuh untuk imajinasi pembaca. Dengan demikian, pembaca secara otomatis akan membayangkan sosok Mohammad Hatta sebagai tokoh atau pelaku cerita dalam imajinasi mereka ketika membaca novel tersebut. Banyak pula disebutkan nama-nama tokoh besar yang memang bersinggungan dengan cerita hidup seorang Hatta, sebut saja Soekarno, Sjahrir, Soekarni, Soetardjo, Fatmawati, dan lain sebagainya, turut menghadirkan sosok mereka dalam imajinasi pembaca.

Dialog-dialog antartokoh pun disampaikan dengan bahasa lisan yang sederhana sehingga mudah dipahami. Kata-kata yang sederhana, struktur kalimat dalam setiap dialog, dan narasi yang sederhana membuat novel ini cocok atau dapat dibaca oleh siapa saja, tanpa harus ada segmentasi pembaca berdasarkan kategori tertentu. Terlebih, bagi pembaca yang tertarik pada sejarah, khususnya sejarah hidup Mohammad Hatta. Novel ini dapat menjadi refrensi bacaan yang pas.

Novel sejarah memang bukanlah hal yang baru dalam sejarah dunia sastra Indonesia. Sebuah novel sejarah dapat menjadi terobosan menarik dalam mempelajari sejarah. Begitu pula, dalam novel yang satu ini, pada bagian belakang, setelah cerita kehidupan Hatta di akhiri pada pertemuan terakhirnya bersama Soekarno, Sergius Sutanto, sang penulis menjelaskan proses kreatif dibalik penulisan novel sejarah tersebut. Sang penulis terlebih dahulu melakukan riset mengenai Mohammad Hatta melalui berbagai cara di antaranya dari buku sejarah Muhammad Hatta (Memoir)—yang merupakan tulisan dari Mohammad Hatta sendiri— hingga melalui wawancara langsung dengan pihak keluarga Hatta. Oleh karena itu, tak mengherankan jika apa yang diceritakan dalam novel ini dapat dikatakan relevan dengan apa yang ada dalam sejarah sebenarnya. Bahkan, untuk hal-hal yang perasaan pribadi Hatta pun dapat digambarkan secara baik oleh penulis dalam novel tersebut. Itu semua diperoleh penulis melalui riset yang mendalam tersebut.

Agaknya, memang seperti itulah seharusnya sebuah karya diciptakan. Melalui proses riset yang panjang dan mendalam, sehingga terciptalah karya yang tidak hanya menghibur tapi juga bermanfaat—dalam pembelajaran misalnya. Seperti novel ini yang memberikan pembelajaran tentang sejarah hidup seorang tokoh bapak bangsa, Mohammad Hatta. (Puput)