Fayza Suksma Nairaputri

GURU DAN TENAGA KESEHATAN: ANTARA PENGABDIAN DAN KESEJAHTERAAN

4

Indonesia kerap kali berkaca pada negara-negara di luar sana mengenai bagaimana mereka dapat berhasil menjadi negara maju dengan kualitas hidup yang tinggi. Dalam hal ini, isu pendidikan dan kesehatan menjadi konsentrasi utama yang harus kita selesaikan supaya kita tidak terjebak dalam bayang-bayang negara berkembang. Namun, sayangnya, cita-cita kemajuan yang didambakan bangsa ini belum kunjung tercapai meski sudah hampir 80 tahun merdeka.

Ketertinggalan yang dirasakan bangsa merupakan buntut dari kurangnya perhatian terhadap guru dan tenaga kesehatan yang menjadi tombak dan pilar utama dalam membangun sumber daya masyarakat yang cerdas. Ketika pendidikan yang ditempuh tidak layak, kita tidak dapat memiliki masyarakat yang cerdas, dan ketika masyarakat tidak berasal dari keluarga yang sehat, tidak mungkin pula generasi emas bangsa dapat terlahir. Tanpa peran besar keduanya, mustahil kita dapat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Meskipun begitu, ironisnya, masih banyak masyarakat yang memandang rendah dan melabeli kedua profesi tersebut dengan kata pengabdian. Masyarakat lupa bahwa pahlawan pengabdian tersebut juga harus diperhatikan menggunakan kacamata kemanusiaan. Ketidakadilan yang diperoleh guru dan tenaga kesehatan dapat menurunkan semangat serta kualitas kerja mereka. Hal ini dapat berdampak langsung terhadap kesuksesan pembangunan sebuah negara.

Pengabdi juga memiliki kebutuhan ekonomi

Kata pengabdi sangat melekat pada profesi guru dan tenaga kesehatan. Sering kali kata pengabdi disalahartikan dan melenceng dari definisi sebenarnya. Pengabdi adalah orang yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi dalam menggeluti suatu bidang, bukan pemangku tugas gratisan yang rela jiwa raganya dieksploitasi habis-habisan dan hanya dibayar dengan seulas senyuman. Mereka memiliki jasa yang begitu besar dan patut mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya.

Guru dan tenaga kesehatan selalu memberikan pelayanan yang penuh dengan dedikasi dan tanpa pamrih. Meskipun begitu, sangat tidak adil ketika sebagian besar masyarakat masih memiliki persepsi bahwa pengabdi yang tulus dan ikhlas tidak pantas menuntut balas. Kita harus ingat bahwa guru dan tenaga kesehatan adalah agen perubahan bangsa yang membentuk pola pikir, kesehatan, dan kesejahteraan. Guru tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan pola pikir generasi muda. Tenaga kesehatan pun tidak semata-mata berperan merawat pasien saja, tetapi juga berperan dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Persepsi bahwa guru dan tenaga kesehatan adalah pengabdi tidak sepenuhnya salah. Namun, bukan berarti pemerintah dan masyarakat dapat abai atas kesejahteraan ekonomi mereka. Bukan berarti hal tersebut dapat dijadikan pembenaran atas ketidaksesuaian antara hak yang mereka peroleh dengan kewajiban yang telah mereka laksanakan. Pemenuhan hak dan kewajiban harus tetap terlaksana supaya penghargaan atas dedikasi yang telah diberikan oleh guru dan tenaga kesehatan dapat dirasakan secara nyata.

Guru, tenaga kesehatan, dan gaji yang terpinggirkan

Gaji yang diperoleh mereka yang bekerja di sektor pendidikan dan kesehatan dinilai belum mencapai standar layak karena tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Mereka yang belum mendapatkan status kepegawaian negara kerap kali terombang-ambing dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonominya sehari-hari.

Hasil survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa menyatakan bahwa 74 persen guru honorer meraih kurang dari Rp 2 juta tiap bulannya, dan sebanyak 20,5 persen di antaranya memperoleh gaji yang sangat rendah, yaitu di bawah Rp 500 ribu. Sedangkan, dilansir dari portal berita pemerintah provinsi Jawa Tengah, untuk tenaga kesehatan honorer, khususnya perawat, hanya memperoleh Rp 400-700 ribu bagi yang mengabdi di Puskesmas dan Rp 1,2 juta bagi yang mengabdi di RSUD.

Kenyataan pahit tersebut membuktikan bahwa terjadi ketidakadilan sosial antara profesi guru dan tenaga kesehatan dengan profesi-profesi lain di luar sana yang tidak kalah pentingnya. Upah yang mereka terima tidak sebanding dengan tanggung jawab besar yang mereka emban. Jika kita terus membiarkan guru dan tenaga kesehatan bekerja dalam kondisi yang tidak ideal, maka kedua profesi ini akan semakin terpinggirkan.

Fenomena buruknya distribusi penghasilan keduanya berbuntut pada turunnya minat masyarakat untuk berkecimpung dalam dunia pendidikan dan kesehatan beberapa tahun ke belakang. Terdapat anggapan bahwa waktu yang dihabiskan untuk menempuh pendidikan tinggi tidak sebanding dengan besaran gaji yang didapatkan setelah lulus. Sebagian besar masyarakat menghindari jurusan keguruan dan kesehatan dengan berbagai kekhawatiran, seperti kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat dan tidak adanya jaminan masa depan.

Demi mengupayakan bangsa yang maju dan cerdas, pemerintah harus memprioritaskan sektor pendidikan dan kesehatan dalam alokasi anggaran negara. Selain itu, guru, tenaga kesehatan, dan segenap keluarga harus merasakan kesejahteraan, jaminan sosial, dan pengakuan atas segala bentuk dedikasinya kepada bangsa dan negara. Langkah ini diharapkan dapat menarik minat generasi muda untuk berkarir di kedua bidang tersebut, sehingga kualitas sumber daya manusia Indonesia semakin meningkat.

Supaya usaha memprioritaskan sektor pendidikan dan kesehatan berhasil, masyarakat harus berperan aktif dalam menghargai guru dan tenaga kesehatan sebagai profesi yang terhormat dan penting keberadaannya. Lingkungan kerja yang kondusif dan mendukung juga bagian dari tanggung jawab bersama yang wajib terpenuhi. Jika seluruh pihak bersinergi, sejatinya langkah ini akan mempercepat terwujudnya cita-cita Indonesia menjadi negara maju.

Penulis: Marsa Anggita Fairuza

Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah