“Bapak njaluk pangapura, le…,” kata Bapak kepada anak sulungnya, Andra. “Banu ra duwe Bapak, Asih ra duwe Bapak. Ibuk karo aku sing ngopeni nganti Banu bisa kaya ngene, nganti Asih bisa sekolah. Nganti tak rewangi pedot sekolah, getih, karo kringetku kanggo ngopeni. Bajingan kaya kowe apa pantes diceluk bapak?” jawab pemuda itu.
Malam yang sunyi dan damai, terdengar siaran berita di televisi tabung dari ruang tamu. Andra duduk serius menonton kabar terkini peningkatan kasus Covid-19 bersama adiknya, Asih yang duduk sambil bermain handphone. Ibu kemudian datang lalu berbincang dengan anak bungsunya, Asih. Anak itu bertanya mengenai seorang pria tua yang mengendarai mobil warna merah di rumah Mas Supri. “Oalah bapake Mas Supri nduk kae bar bali soko Kalimantan,” sahut Ibu. Lalu Asih menanyakan bapaknya yang tak kunjung pulang. Ibu hanya bisa meminta anaknya untuk bersabar menunggu waktu yang tepat agar mereka dipertemukan.
Ibu terlihat sedih dan hanya bisa berharap sambil memandangi baju Bapak yang ia jahit sendiri kendati tidak cukup uang untuk membelikan baju baru, tetapi hingga sekarang belum kesampaian Bapak memakai baju itu lantaran sudah pergi lama tanpa kabar. Andra yang melihat itu mencoba mengalihkan pembicaraan. Mereka lantas membicarakan pekerjaan Banu yang akan dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta. Namun, Ibu terlihat khawatir mendengar hal itu. “Ibu ora pengen Banu kaya Bapakmu. Ibu wedi yen Banu lungo neng Jakarta bakal lali omah koyo Bapak. Bapak lungo ket meteng Asih nganti saiki ra bali-bali.”
Banu pulang dari kerja lemburnya dan membawa hadiah untuk Ibu, Andra, dan Asih. Mereka berempat berkumpul di ruang tamu. Banu kemudian mengeluarkan sebuah surat pernyataan dari kantor bahwa ia akan dipindah ke Jakarta. Ibu tampak khawatir sekaligus bahagia untuk Banu. Ia menyuruh Banu untuk mempersiapkan semuanya. Lantaran sedang hujan lebat, Asih berteriak memanggil Ibunya yang tampak melamun seraya memegang surat tadi. Mereka lantas meletakkan baskom-baskom untuk mewadahi air hujan yang menetes dari atap rumah.
“Kula nuwun, assalamualaikum,” ucap pria tua penampilan lusuh. Terkejut dan merasa ketakutan terlihat saat Asih membuka pintu rumahnya. “Buk.. ibuk.. enek wong edan buk.. buk ee.. buk..,” teriak Asih. Ibu menuju ke ruang tamu dengan ekspresi terkejut lalu menghampiri pria tua itu dan berkata :
“Mas Saleh…Iki Mas Saleh to?”
“Iyo Tina, Aku Saleh,” sahut Mas Saleh. Perasaan sedih, senang, dan rasa bersalah yang bercampur aduk terlihat dari sorot mata Bapak. Banu datang dan Ibu menegaskan kedua anaknya, Banu dan Asih bahwa pria tua lusuh adalah Ayahnya. Mereka bertiga berpelukan bersama sang Bapak sedangkan Andra hanya duduk di pojokan sambil menatap tajam.
Bapak bercerita bahwa selama ini tokonya telah bangkrut sebab Covid-19 hingga beliau terpaksa berjudi. Lama kelamaan uangnya habis hanya untuk kesenangan pribadi hingga tidak tenang hidupnya lantaran dikejar-kejar utang cukup banyak.
Adegan kembali memanas ketika Andra berkata “Aku ra nduwe Bapak, bapak wes mati. Koe sopo ngaku-ngaku Bapakku?”. Andra marah besar, Bapak yang menyaksikannya tak tahan lalu pergi meninggalkan rumah. Seluruh orang menahannya agar tak pergi lagi, tetapi sia-sia. Hingga akhirnya Banu berlari keluar dari rumah mencari keberadaan sang bapak.
Di tengah hujan lebat dijalan raya yang cukup ramai kendaraan. Terlihat kerumunan orang-orang dipinggir jalan sambil mencari pertolongan. Ibu, Andra, Banu, dan Asih mendekatinya tak disangka-sangka ternyata Bapak ditemukan berlumuran darah dan menghembuskan napas terakhirnya. Rintih tangisan histeris di tengah hujan lebat yang cukup membuat penonton meneteskan air mata dengan diakhiri tepukan terharu penonton menggema seisi ruangan, kemudian pementasan berakhir.
Pentas Laborat 2021 merupakan ajang pementasan drama dari Kelompok Peron Surakarta. Acara ini disebut sebagai kesempatan sekaligus percobaan bagi anggota baru Kelompok Peron Surakarta. Pentas Laborat 2021 sendiri dilaksanakan selama dua hari, yakni pada 24 – 25 Januari 2022 secara luring di Aula Gedung F FKIP UNS. “Hal yang kami persiapkan dari awal mulai dari aktor, musik, setting, dan masih banyak lagi membutuhkan waktu sekitar 3 bulanan, kalau untuk pementasan kurang lebih 1 bulan,” tutur aktor yang memerankan tokoh Andra.
“Untuk pementasan di hari pertama dan kedua tidak ada perbedaannya, ya hanya euforianya saja. Di hari pertama ya masih grogi, nervous gitu, tapi pas hari kedua udah nggak terlalulah,” ujar aktor yang berperan sebagai Banu.
Sutradara dari pementasan ini, Effendy Irawan, menyebutkan jika dalam penyelenggaraan kali ini mengambil dari naskah asli karya Usmar Ismail tahun 70-an berjudul “Ayahku Pulang” yang kemudian digubah menjadi “Nilap”. Ia juga menjelaskan jika terdapat hal yang diubah dari naskah asli seperti berita Covid-19, adegan bermain handphone, dan mengubahnya menjadi bahasa Jawa. Ia menambahkan jika melewati pementasan ini Effendy ingin membawa teater lebih dekat kepada masyarakat melalui dialog, adegan, sekaligus keadaan yang relatable. “Pentas teater juga harus diperbaharui seperti film yang semakin dekat dengan penonton,” ungkapnya saat ditemui di akhir pementasan.
Pementasan ini pun tak hanya dihadiri oleh penonton dari dalam kota, tetapi juga dari berbagai daerah. “Pementasan ini menarik sih, aku mengapresiasi Kelompok Peron kali ini karena para pemain berhasil mengaplikasikan naskah dan mengadaptasikannya menjadi pentas yang keren banget menurutku,” tutur Radit dari Teater Terjal, UGM. Tak hanya itu saja, Juenita mengaku rela pergi dari Semarang ke Solo hanya untuk menyaksikan pementasan ini saja. Adapun amanat yang bisa dipetik dari pementasan ini, “Seburuk-buruknya orang tua, tetapi dia tetap orang tua kita. Jadi kita tetap harus menyayanginya, seburuk apapun itu,” pungkasnya.
Penulis: Angelica Tiara dan Putri Faradila I
Editor: Rizky Fadilah