Foto: Ayu Meliana S /LPM Kentingan

GAYA HIDUP SEHAT MENJAGA KESEHATAN MENTAL DI ERA DIGITAL

Sabtu (25/9), Standing Committee on Public Health Center for Indonesian Medical Students Activities (SCOPH CIMSA) Fakultas Kedokteran UNS Surakarta merayakan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia dengan menyelenggarakan acara webinar bertajuk RAMEN (Raising Awareness of Mental Health) melalui Zoom Meeting. Webinar yang dipandu oleh Sasha dan Tania Silalahi ini mengangkat tema “Healthy Online Lifestyle for Mental Health” yang berfokus pada hubungan media sosial dengan kesehatan mental. Kegiatan ini terdiri dari beberapa rangkaian, yakni kegiatan training, air campaign, webinar, dan podcast dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan mental.

Hanif Ahmad Aulia selaku Local Coordinator (LOCO) menyampaikan bahwa isu kesehatan mental merupakan salah satu isu yang relevansinya terus meningkat di tiap tahunnya, baik dari tuntutan pekerjaan maupun kehidupan, terlebih akibat konsekuensi adanya pandemi.

Sylvia Adriana, pembicara pertama, menyampaikan materi dengan judul “Go Through Quarter Life Crisis with Digital Minimalism”. Ia menyinggung bahwa keadaan remaja saat ini sangat berkaitan erat dengan Quarter Life Crisis (QLC). Dalam materinya, Sylvia memaparkan bahwa QLC merupakan krisis emosional di rentang usia 18-30 tahun yang melibatkan perasaan terisolasi, mulai meragukan diri sendiri, dan biasanya ada rasa takut atau gagal. Penyebab dari keadaan ini dipicu oleh adanya harapan dari diri sendiri, terlalu banyak pilihan, dan konflik kepentingan. Menurutnya terdapat 4 fase dalam QLC, fase tersebut antara lain fase locked in, separation, time out dan rebuilding. “Di fase rebuilding ini motivasi sudah terbangun, komitmennya sudah baik, dan ada rencana langkah-langkah kedepannya,” jelasnya.

Sylvia juga mengungkapkan mengenai kecenderungan seseorang di masa pandemi untuk membandingkan dirinya terhadap orang lain di media sosial. Ia menjelaskan bahwa keadaan tersebut memicu timbulnya rasa tidak nyaman karena adanya kontras antara hal yang terjadi dan hal yang seharusnya terjadi. Kontras inilah yang menjadikan seorang individu kehilangan kebahagiannya karena merasa tertinggal dari yang lainnya.

Dalam menghadapi arus media sosial yang membawa pada gejolak QLC, Sylvia menyarankan bahwasanya akan lebih baik apabila seseorang dapat memfokuskan tujuan dan prioritas hidupnya. “Kita memang tidak bisa mengendalikan apalagi menyalahkan orang lain untuk memposting sesuatu di media sosial, tetapi kita bisa mengendalikan persepsi kita dan apa yang ingin kita lihat di dunia maya,” ungkapnya menanggapi sikap yang perlu diterapkan dalam menghadapi QLC.

Annisa, selaku pembicara kedua, menjelaskan mengenai cyber bullying. Menurut pemaparannya, selama dua tahun terakhir kasus cyber bullying yang terjadi di Indonesia meningkat sekitar 40-85%. “Cyber bullying bisa terjadi dimana saja tanpa perlu bertemu. Bahkan anonim pun bisa menyebabkan korban menjadi tidak berdaya karena tidak mengetahui siapa pelaku sebenarnya,” jelas Annisa.

Banyak orang yang tidak sadar jika mereka sedang melakukan atau menjadi korban cyber bullying. Hal ini karena bentuk cyber bullying tidak terlihat secara nyata sehingga dianggap tidak riil. Tipe cyber bullying ada 2, yaitu direct dan indirect bullying, direct contohnya main calling atau ancaman yang langsung diutarakan kepada korban. Inderect contohnya ada seseorang yang menyebarkan rumor tanpa si korban mengetahuinya yang nanti dampaknya si korban dijauhi. “Bentuk cyber bullying ada banyak, seperti negatif comment, hate group, berpura pura menjadi seseorang, memposting, mempermalukan seseorang, body shaming, serta pelecehan. Cyber stalking juga termasuk kedalam cyber bullying,” jelas Annisa.

Annisa juga menjelaskan mengapa seseorang melakukan cyber bullying. “Pertama, seseorang ingin balas dendam karena pernah menjadi korban cyber bullying. Kedua, pelaku ingin mendapatkan kekuatan, dihormati dan mendapatkan pengakuan bahwa pelaku lebih hebat. Ketiga, rasa bosan mendorong seseorang melakukan cyber bullying untuk mencari perhatian. Selanjutnya ada, rasa cemburu atau jealousy terhadap korban. Terakhir low empathy seorang pelaku perundungan,” pungkasnya.

Di lain kesempatan, Prasasti selaku panitia webinar RAMEN mengatakan bahwa tujuan kegiatan ini selain untuk meningkatkan kesadaran kesehatan mental mahasiswa dan masyarakat juga untuk melatih member SCOPH CIMSA UNS dalam berorganisasi dan berkomunikasi dengan SCOPH nasional.

Penulis: Michelle Zalika dan Lintang Mukti P.
Editor: Aulia Anjani