Gawai-isme Asmara

 

AWAL SEMESTER masih hangat. Si Dab yang sedang dalam puncak gairahnya sebagai mahasiswa, segera terbang dari kampung halaman ke Solo. Di tengah perjalanan, ia sempatkan mampir ke warung persalinan.

 

Di sana, KRS dicetak. Disalin. Disimpan rapat di dalam tas. Lumayan. Semester ini, Si Dab mengambil 23 SKS.

 

Mahasiswa yang satu ini memang rajin betul. Pukul 07.30 tepat, ia sudah ada di ruang dosen. PA-nya, Bu Prof, yang terkenal disiplin, sudah kongkang-kongkang di kursi panas. Melihat Si Dab masuk, Bu Prof langsung mengeluarkan KHS mahasiswanya semester lalu.

 

“Anda ngapain aja semester kemarin?” Tanya Bu Prof sengak.

 

“Ya, kuliah Bu.”

 

“Heh! Ba-bu-ba-bu. Emangnya saya Ibu Kosmu?! Panggilnya yang lengkap dong. Bu Prof.”

 

“Iya deh, Bu Prof,” bibirnya merengut dua senti.

 

“Kalau anda kuliah, kenapa IP-mu jelek begini? Why? Setahu saya, anda mahasiswa yang rajin dan disiplin.”

 

“Saya juga enggak tahu, Bu Prof. Padahal saya kuliah enggak pernah bolos. Tugas, saya kumpulin terus. Malah ada temen saya yang enggak pernah ngumpulin tugas, nilainya lebih bagus dari saya.”

 

“Mulai kan. Jangan suka mengkambinghitamkan dosen.”

 

“Bukan mengkambinghitamkan, Bu Prof. Cuma sulit dibilang putih aja.”

 

Bu Prof melepas kacamatanya. Membetulkan letak kerudungnya. Misuh dalam hati. Lalu melanjutkan obrolan.

 

“Anda punya personal problem? Keluarga, keuangan, kebatinan? Ehm, asmara mungkin?

 

Si Dab mak njegagik kaget. “Keluarga saya baik-baik aja, Bu Prof. Tiap bulan saya juga masih dikirimi uang hidup yang cukup. Nafkah batin saya juga masih tercukupi oleh diri saya sendiri. Lalu…?”

 

“Lalu apa?” Ekspresi Bu Prof mendadak dimanis-maniskan bak Dian Sastro di film AADC.

 

“Lalu…” Si Dab berkata canggung. “Saya jomblo, Bu Prof. Itu yang bikin saya enggak termotivasi kuliah.”

 

“Ah, problem klasik mahasiswa. Terus, kenapa enggak cari pacar?”

 

“Saya enggak setuju dengan ideologi asmara yang dianut mayoritas mahasiswa Indonesia, Bu Prof?”

 

Byadalah! Anda ini mau cari pacar kayak nyari organisasi pergerakan aja. Ribet bener. Ideologi gimana maksudnya?”

 

“Gawai-isme, Bu Prof.”

 

“Gawai-isme?”

 

“Iya, Bu Prof. Mulai dari pendekatan, pemepetan, perapatan, sampai penaklukkan, semuanya tergantung gawai, Bu Prof.”

 

“Gawai, apaan sih?”

 

“Walah, Bu Prof ini mentang-mentang ngambil Sarjana di Singgapur, Master di Amrik, Ph.D di Australi, lupa sama bahasa sendiri. Gawai itu gadget, Bu Prof.”

 

Sorry, son. Hehehe. Lanjutkan teori anda tentang ideologi asmara tadi.”

 

“Gini, Bu Prof. Saya perhatikan teman-teman saya yang PDKT sama cewek, pasti pakai gawai sebagai senjata utama. Cinta mereka maya, Bu Prof. Enggak nyata.”

 

“Bukannya itu memudahkan komunikasi?”

 

“Iya, sih Bu. Tapi pacaran lewat gawai itu kayak pake topeng. Malemnya mereka sayang-sayangan lewat chat, paginya saling ngucapin ‘Selamat Pagi,’ bahkan mendadak religius sampai ngingetin sholat segala. Tapi begitu ngobrol berdua, obrolannya cetek. Enggak beda jauh sama obrolan mbok-mbok kalau lagi belanja sayur di perempatan gang.”

 

“Anda ini bagaimana sih. Pakai topeng di zaman sekarang itu penting. Sometimes, wajah kita harus dihias topeng aneka rupa. Biar terlihat lebih indah. Lihat itu para superhero, semuanya bertopeng kan. Power Rangers, Ultraman, P-Man, sampai Super Dede yang enggak jelas itu, semuanya pakai topeng. Manusia Indonesia lebih suka topeng yang indah daripada wajah asli yang menjenuhkan. Catat itu!”

 

“Tapi kalau saya jadi cewek, Bu Prof, saya enggak bakal mau sama cowok-cowok yang pendekatan, pemepetan, perapatan, sampai penaklukkan, cuma ngandalin dunia maya. “Bayangin aja, Bu Prof. Cowok kalau udah ngegombal itu bahayanya kelewatan. Apalagi kalau ngegombal pakai topeng bergawai. Saya akan merasa direndahkan oleh dunia maya, Bu Prof!”

 

“Itu kan kamu. Pertama, kamu bukan cewek. Kedua, sependek pengamatan saya sebagai dosen, profesor, dan Ibu para mahasiswa-mahasiswi, para cewek mau-mau aja tuh dideketin pakai dunia maya.”

 

“Ini masalah nyali, keberanian, dan eksistensi sebagai lelaki, Bu Prof.”

 

“Kamu mau ndeketin cewek apa ikut Ninja Warrior?”

 

“Dua-duanya mirip, Bu Prof. Cewek dan Ninja Warrior. Perlu kecepatan, ketepatan, ketangkasan, juga ketekunan tinggi. Nah, kalau pakai dunia maya, akan banyak rintangan yang terlewatkan, Bu Prof.”

 

“Contohnya?”

 

“Misalnya. Bagaimana cara tepat menatap wajah si dheke. Bagaimana menahan getaran suara canggung saat ngobrol sama dheke. Bagaimana memilih tempat ketemuan yang kondusif. Semua itu perlu keahlian khusus, Bu Prof.”

 

“Satu lagi Bu Prof. Dunia maya itu bikin pasangan yang putus susah bergerak ke depan.”

 

“Kan tinggal jalan maju. Apa susahnya?”

 

“Maksud saya, move on, Bu Prof…”

 

Sorry, son. Hehehe. Lanjutkan pemaparan anda.”

 

“Jadi, Bu Prof. Pasangan yang udah putus kan maunya melanjutkan kehidupan masing-masing dengan tenang. Nah, gawai ini bikin keinget mantan terus. Mau unfriend atau unfollow, takut dikira lebay. Tapi kalau enggak unfriend-unfollow, si dheke muncul terus di notifikasi kita.”

 

“Berarti yang merendahkan itu bukan dunia maya, Dab. Yang merendahkan itu ya para pengguna dunia maya sendiri. Kalau para lelaki PDKT pakai gawai terus si perempuannya mau, siapa yang salah? Kalau orang-orang pamer kemesraan di Instagram, itu kan hak mereka? Kalau para pria kesepian mau move on lalu keinget terus sama dheke gegara kecanduan gawai, siapa yang labil? Hayo…”

 

“Kalau gitu, saya punya usul bagus Bu Prof. Bu Prof harus ikut serta sebagai dosen pembimbing di usulan saya ini.”

 

“Usulan apa lagi?”

 

“Selama ini kan Mata Kuliah Umum (MKU) kita menjenuhkan, Bu Prof. Pendidikan Agama, udah diajarin dari kecil. Pancasila, pengajarannya warisan Orde Cendana. Kewirausahaan, entar ujung-ujungnya para mahasiswa belok arah jadi motivator. Kita usulin aja satu MKU baru.”

 

What is it?”

 

“Dasar-Dasar Berasmara.”[]

 


[author title=”Satya Adhi” image=”https://i2.wp.com/saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/05/Satya-Adhi.jpg?w=618″]Mahasiswa yang gemar berjalan kaki. Domisili maya : adhii.satya@gmail.com.[/author]